FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Dua tokoh yang pernah berseteru keras, Susno Duadji dan Mahfud MD membuka ulang salah satu bab paling kontroversial dalam sejarah penegakan hukum Indonesia.
Keduanya saling berbincang jujur, menyingkap ulang kejadian yang selama bertahun-tahun hanya dipahami publik dari potongan peristiwa dan narasi media.
Mahfud MD, yang pada 2009 menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, mengakui bahwa saat itu ia mengambil posisi membela KPK dalam kasus “Cicak vs Buaya”.
Ia bahkan menyebut Susno sebagai sosok yang berpotensi melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
“Kita menudingnya salah satu biang yang mau merusak KPK,” ujar Mahfud, mengenang ketegangan masa lalu dikutip dari tayangan di Youtube, Senin (29/12).
Kala itu, dua pimpinan KPK dijadikan tersangka, dan KPK hampir lumpuh karena hanya tersisa dua komisioner aktif. Rekaman percakapan yang diputar di MK saat itu menjadi pemicu konflik besar antara institusi kepolisian dan KPK.
Di sisi lain, Susno menjelaskan bahwa tudingan tersebut menjadi awal dari kriminalisasi terhadap dirinya. Ia menilai berbagai peristiwa yang terjadi setelahnya bukan sekadar akibat perbedaan pendapat, melainkan rangkaian proses yang diarahkan untuk menjatuhkannya.
“Saya dihukum dengan berkas yang bukan berkas saya. Berkas orang lain, perempuan lagi,” ungkapnya, menyoroti kejanggalan dalam proses hukum yang menjeratnya.
Mantan Kabareskrim Polri itu juga membantah anggapan bahwa dirinya menjadi arsitek pelemahan KPK.
“Saya sangat bersahabat dengan orang-orang KPK. Saya ikut menyusun Undang-undang KPK,” Susno menegaskan.
Pernyataan itu merujuk pada keterlibatannya dalam penyusunan landasan hukum pemberantasan korupsi sebelum ia menjabat Kabareskrim.
Momen paling menentukan dalam hubungan keduanya muncul ketika Susno, dari balik tahanan, mengirimkan surat kepada Mahfud.
Surat itu berisi kepasrahan sekaligus permintaan agar Mahfud tetap melanjutkan perjuangan menegakkan hukum. Mahfud mengaku tersentuh.
“Saya dulu menghantam dia habis-habisan. Tapi dia kirim surat dan saya sangat berempati,” ujar Mahfud.
Sejak saat itu, Mahfud mulai melihat kasus yang menimpa Susno dari sudut pandang baru. Ia menyebut bahwa ada kejanggalan dalam kriminalisasi yang terjadi, sebuah kondisi yang membuatnya ikut mempertanyakan proses hukum yang dijalankan.
Setelah menjalani masa hukuman, Susno tidak kembali ke panggung birokrasi. Ia pulang ke kampung halaman dan memilih hidup sebagai petani.
Kendati demikian, ia tetap menyuarakan pandangannya mengenai penegakan hukum. “Saya tidak menyesal jadi polisi,” tegasnya, merangkum seluruh perjalanan kariernya dari puncak jabatan sebagai Kabareskrim hingga masa ketika ia harus dipenjara dan kehilangan semuanya.
Kini, keduanya sepakat bahwa pengalaman tersebut menjadi pelajaran penting agar sistem hukum Indonesia tidak kembali terseret dalam kriminalisasi. Dan melalui dialog yang lebih jernih, Susno dan Mahfud menunjukkan bahwa perseteruan paling panas sekalipun dapat berakhir pada titik saling memahami. (Pram/fajar)



