Tahun 2025 ditutup dengan narasi ganda bagi perempuan Indonesia. Di satu sisi, data menunjukkan peningkatan keberanian perempuan-perempuan korban dalam melapor kekerasan yang dialami. Namun di sisi lain, ancaman kekerasan, terutama yang berbasis jender dan siber makin nyata dan mengerikan.
Situasi ini makin menegaskan, perjuangan menuju ruang aman dan setara masih jauh dari kata usai. Di tengah upaya meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan perempuan, berbagai tantangan struktural menghadang, dan ancaman baru terus bermunculan.
Analisis Mendalam Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 yang diluncurkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pada 4 Desember 2025 di Jakarta, menggambarkan lebih mendalam bagaimana kekerasan masih menjadi ancaman nyata di ranah domestik.
Berdasarkan hasil survei terseut, satu dari sepuluh perempuan Indonesia (10 persen) pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan selama hidupnya.
Selain itu 1 dari 6 perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia selama hidupnya pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh selain pasangan. Prevalensi perempuan yang mengalami kekerasan seksual, lebih tinggi dibandingkan kekerasan fisik oleh selain pasangan dalam setahun terakhir maupun selama hidup.
Menteri PPPA, Arifatul Choiri Fauzi menyebutkan 28 persen dari perempuan yang mengalami kekerasan fisik maupun seksual oleh pasangan melaporkan menderita cedera.
Di antara perempuan yang mengalami cedera, 40 persen di antaranya mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual beberapa kali (2 hingga 5 kali), 38 persen mengalaminya sekali, dan 20 persen mengalami lebih dari lima kali bentuk kekerasan.
Selain itu di antara perempuan yang menderita cedera, mayoritas mengalami goresan, lecet, dan memar, dengan hampir 85 persen pernah mengalaminya.
Dampak kekerasan lainnya seperti keseleo, luka bagian dalam, gendang telinga rusak, cedera mata, luka sayat, patah tulang, luka karena bacokan, patah gigi dan luka bakar. “Luka fisik ini meninggalkan bekas trauma mendalam,” ujar Menteri PPPA yang akrab disapa Arifah Fauzi.
Selain itu hampir satu dari dua perempuan pernah mengalami kekerasan psikologis oleh pasangan, dengan pembatasan perilaku sebagai bentuk paling dominan. Prevalensi kekerasan oleh pasangan ini bahkan ditemukan lebih tinggi di wilayah perdesaan.
Hasil analisis dari SPHPN tersebut menunjukkan bahwa ancaman kekerasan hadir di setiap ruang hidup kaum perempuan, baik di ranah privat maupun publik.
Ancaman paling signifikan yang muncul yakni Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE). Bentuk kekerasan ini mencakup penerimaan pesan seksual yang tidak diinginkan melalui media sosial dan platform komunikasi lainnya. Data ini diperkuat oleh laporan dari berbagai lembaga.
Di antara kasus-kasus kekerasan fisik, seksual, psikis, dan penelantaran menimpa perempuan, tahun 2025 diwarnai serangkaian kasus femisida (pembunuhan pada perempuan karena ia perempuan) yang menunjukkan tingkat kekejaman mengkhawatirkan. Komnas Perempuan mencatat femisida adalah puncak kekerasan berulang, bukan kejadian tunggal.
Kasus-kasus menonjol pada 2025 jadi pengingat brutal antara lain, tragedi mutilasi Padang Pariaman pada Juni 2025, berbentuk pembunuhan sadis terhadap SA (25) yang ditemukan termutilasi pada Juni 2025. Pelaku, yang juga membunuh dua perempuan lain sebelumnya, menunjukkan pola eskalasi kekerasan yang brutal dan terencana.
Komnas Perempuan menggarisbawahi bahwa pembunuhan-pembunuhan ini kerap dianggap sebagai kriminalitas biasa, padahal merupakan femisida yang berakar pada kebencian jender. Pola baru femisida, yang melibatkan kekerasan digital dan menargetkan anak perempuan, menuntut perhatian khusus penegak hukum dan masyarakat.
Berbagai kekerasan yang terus menimpa perempuan menunjukkan tantangan perlindungan tak hanya terletak pada kuantitas kasus, tapi juga terhadap mutu penanganan.
Sementara implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) masih menghadapi hambatan struktural, terutama dalam memastikan akses keadilan dan pemulihan yang layak bagi korban di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).
Kondisi ini memperpanjang siklus kekerasan dan mencerminkan terjadinya pengikisan capaian pemajuan hak perempuan, seiring dengan melemahnya dukungan dan perlindungan negara.
Komnas Perempuan mencatat banyak perempuan berjuang saat ini merebut ruang aman di tengah struktur pemiskinan dan penggunaan instrumen hukum yang represif. Suara perempuan yang menuntut keadilan kerap dihadapkan pada stigma, pelaporan balik, ancaman struktural, hingga konflik horizontal.
Sepanjang tahun 2025 Komnas Perempuan telah menerima 25 pengaduan kasus kriminalisasi terhadap Perempuan Pembela HAM (PPHAM). Selain itu, tercatat empat perempuan menghadapi proses hukum karena menyuarakan kritik dan pendapat pada Agustus 2025.
Ratusan perempuan, khususnya ibu dan istri yang terdampak peristiwa unjuk rasa pada periode yang sama, masih menghadapi trauma. Ribuan pengungsi hidup dalam ketidakpastian, sementara lima perempuan jurnalis mengalami tindak kekerasan sepanjang tahun 2025.
Dalam banyak kasus yang dilaporkan, korban mengalami viktimisasi berlapis, proses hukum yang bias jender, kuatnya budaya menyalahkan korban, serta minimnya pemulihan yang komprehensif.
“Kondisi ini memperpanjang siklus kekerasan dan mencerminkan terjadinya pengikisan capaian pemajuan hak perempuan, seiring dengan melemahnya dukungan dan perlindungan negara,” ucap Komisioner Komnas Perempuan Chaterina Pancer Istiyani, bertepatan dengan peringatan Hari Ibu 2025.
Sementara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terus mendera perempuan. Kasus demi kasus menimpa perempuan di dalam rumah tangga, bahkan ada kasus kekerasan fisik yang sampai berakhir pada penghilangan nyawa perempuan.
Perjuangan mengegolkan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) juga menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai.
Di tengah bayang-bayang kekerasan, tahun 2025 juga menunjukkan titik terang dari inisiatif pemberdayaan perempuan di akar rumput. Program-program berfokus pada penguatan ekonomi perempuan jadi strategi pencegahan kekerasan yang efektif, sejalan dengan temuan Kementerian PPPA bahwa faktor ekonomi memicu pemicu tingginya kekerasan.
Kolaborasi Kementerian PPPA dengan sejumlah kementerian/lembaga, melalui program Ruang Bersama Indonesia (RBI), menawarkan model sinergi yang menjanjikan, jika benar-benar berjalan di lapangan dan menyentuh perempuan-perempuan di tingkat akar rumput.
Adapun RBI mengintegrasikan pemberdayaan ekonomi perempuan di desa dengan inisiatif ketahanan keluarga, sekaligus menjadi garda perlindungan perempuan dan anak di desa.
Perempuan, yang menjalankan sekitar 60 persen UMKM nasional, didorong untuk "naik kelas" melalui sejumlah program seperti pelatihan keterampilan digital dan pendampingan untuk perempuan desa, yang terbukti meningkatkan daya saing produk di pasar .
Di tingkat desa, keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan di tingkat desa seperti kepala desa atau badan permusyawaratan desa yang makin banyak jumlahnya, membawa pembangunan yang lebih inklusif dan peduli terhadap isu perempuan dan anak.
Sementara upaya untuk mengatasi keterbatasan akses permodalan, terutama bagi ibu rumah tangga, menjadi fokus utama untuk memastikan perempuan memiliki kemandirian finansial.
Keberhasilan program-program ini, seperti direplikasi di Desa Plakat Tinggi (Sumatera Selatan) dan Morotai (Maluku Utara) lewat diversifikasi olahan perikanan, menunjukkan, investasi pada perempuan tak hanya soal keadilan. Investasi pada perempuan jadi katalisator pertumbuhan ekonomi dan ketahanan sosial komunitas, melawan patriarki, dan mengamankan ruang digital.
Tak hanya berhenti pada tahun 2025, perempuan diperkirakan menghadapi berbagai tantangan dan ancaman tahun 2026. Melawan akar budaya patriarki yang jadi pemicu utama kekerasan dan ketidaksetaraan, masih menjadi tantangan terbesar yang dihadapi pada tahun 2026.
Hal ini terjadi karena budaya tersebut masih terus termanifestasi dalam stigma terhadap korban, minimnya keberpihakan aparat, dan normalisasi kekerasan di masyarakat. Penegakan hukum belum membawa keadilan bagi para korban.
Untuk menjawab tantangan ini, sinergi data antara Kementerian PPPA, Komisi Nasional Antikerasan terhadap Perempuan, dan Forum Pengada Layanan perempuan korban melalui sistem interoperabilitas data (SIMFONI PPA, SintasPuan, dan Titian Perempuan) menjadi langkah krusial.
Data yang akurat dan terintegrasi adalah fondasi untuk menyusun kebijakan tepat sasaran, mulai dari program pemberdayaan ekonomi yang inklusif hingga peningkatan kapasitas penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan.
Indonesia berada di persimpangan jalan. Kemajuan dalam pemberdayaan perempuan di negeri ini harus berjalan beriringan dengan perlindungan yang efektif.
Karena itu, mengamankan ruang digital dari kekerasan berbasis jender, mempercepat implementasi UU TPKS, mendorong penegakan hukum yang berpihak pada korban, serta menguatkan kemandirian perempuan merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Harapannya, tahun 2026 benar-benar akan menjadi tahun yang lebih aman, adil, dan setara bagi seluruh perempuan Indonesia.




