Pantai sebagai Ruang Pelarian dari Riuh Kehidupan

kumparan.com
3 jam lalu
Cover Berita

Pada awal semester tiga, ditemani oleh tujuh temanku, aku memilih untuk membuang “sial” hidupku ke Pantai Parangkusumo, Yogyakarta. Siapa sangka, pantai, tempat yang dulunya adalah tempat favoritku untuk berlibur dan bersenang-senang, sore itu justru menjadi ruang sunyi untuk menunjukkan sisi lemahku. Di hadapan samudera yang seperti tidak ada ujungnya, diiringi oleh suara deru ombak dan angin yang berhembus kencang, aku membawa air mata dan isi hati yang penuh sesak.

Sore itu di sepanjang bibir pantai, suasana terasa lebih sepi dari biasanya. Beberapa pengunjung memilih untuk duduk di pasir, sembari menatap laut dalam diam, seolah masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ada yang datang berkelompok namun memilih diam, seperti aku, dan ada pula yang datang dengan pasangannya. Langkah kakiku memilih untuk menyusuri pasir dengan diiringi suara ombak yang datang dan pergi, menciptakan ritme yang konstan dan menenangkan.

Tidak banyak obrolan yang ada di sore itu. Yang ada hanyalah tatapan kosong ke arah laut, dengan perasaan hampa yang dibiarkan hadir tanpa dipaksa pergi. Tanpa disadari, pantai bukan hanya sebagai tempat untuk berkumpul, tetapi juga ruang untuk pelarian, dan tempat dimana perasaan lelah dilepaskan secara perlahan, tanpa perlu penjelasan.

Ada rasa ketenangan yang sulit untuk dijelaskan ketika berada di tepi laut. Mungkin saja karena luasnya pandangan, atau bisa juga karena suara ombak yang tak pernah benar-benar berhenti. Suasana itu memberi ruang untuk siapa pun berpikir tanpa adanya tekanan. Pantai menciptakan jarak antara manusia dengan masalahnya—cukup jauh untuk bernapas, tetapi cukup dekat untuk merenung. Di hadapan laut yang terbentang luas, perasaan lelah dan kecewa terasa lebih kecil, seolah diberi ruang untuk kedamaian sesaat sebelum kembali dihadapkan dengan realitas kehidupan.

Dalam diamnya, pantai menawarkan ruang tanpa tuntutan. Tidak ada yang memaksa seseorang untuk segera baik-baik saja. Waktu terasa berjalan lebih lambat, seolah membiarkan pikiran untuk beristirahat sejenak dari hiruk pikuk kehidupan yang sering kali melelahkan dan menyakitkan. Di ruang terbuka itu, tidak ada penilaian, tidak ada pertanyaan. Pantai menjadi saksi bisu yang menerima segala emosi dengan apa adanya dan tanpa menghakimi. Dalam kesunyian itu, aku belajar berdamai, meski hanya untuk sementara waktu.

Duduk menghadap laut, membiarkan angin dan suara ombak mengambil alih pikiran yang sempat kacau. Untuk beberapa saat, cukup diam dan menerima bahwa lelah juga bagian dari perjalanan. Aku tidak mencari jawaban ataupun solusi. Aku hanya ingin memberi ruang bagi diriku untuk lebih sadar akan apa yang dirasakan oleh diri sendiri. Aku sadar, bahwa kesedihan tidak selalu harus dilawan, kadang ia hanya perlu untuk ditemani dan dirasakan. Pantai mengajarkanku bahwa diam dan menerima bukan berarti lemah dan menyerah, tetapi ialah cara lain untuk bertahan.

Pengalaman ini membuatku menyadari bahwa ruang publik memiliki makna yang berbeda bagi setiap orang. Bagi sebagian orang, pantai adalah tempat untuk bermain dan berlibur. Namun bagi yang lain, ia menjadi ruang aman untuk menenangkan diri, tempat untuk singgah bagi perasaan yang sedang tidak baik-baik saja. Aku bukanlah satu-satunya orang yang datang dengan membawa beban. Di sekelilingku, ada banyak orang yang memilih untuk duduk sendiri dan memandangi laut tanpa percakapan. Tanpa disadari, pantai menampung beragam cerita yang datang silih berganti, meskipun tidak semuanya diucapkan dengan kata-kata, tetapi bisa juga dengan air mata.

Saat matahari perlahan turun dan warna langit berubah semakin gelap, aku tahu pantai bukanlah tempat untuk menyelesaikan masalah. Ia hanya ruang untuk memberi jeda. Setelahnya, hidup tetap harus berjalan, dan aku harus tetap menjalani dengan segala rumit dan kesedihan-kesedihan berikutnya. Namun, aku pulang dengan kesadaran, bahwa jeda sekecil apapun bisa memberi kekuatan untuk menghadapi hari-hari berikutnya. Karena terkadang, yang dibutuhkan manusia bukanlah hanya solusi instan, melainkan ruang untuk berhenti, dan bernafas sebelum kembali lagi untuk melangkah.

Pantai tidak mengubah hidupku secara drastis pada hari itu, bahkan hingga saat ini. Ia hanya menjadi tempat untuk singgah. Tempat dimana aku belajar menerima rasa lelah tanpa perlu merasa kalah. Di sana, aku juga belajar bahwa bertahan tidak selalu berarti harus terus berjalan, tetapi juga berani berhenti dan beristirahat. Dan bagiku, itu sudah lebih dari cukup.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Foto: Korut Luncurkan Rudal Jelajah Strategis
• 9 jam lalukumparan.com
thumb
Wisata Bahari Jakarta Membeludak, Kepulauan Seribu Diserbu Hampir 6 Ribu Wisatawan saat Libur Natal
• 16 jam lalutvonenews.com
thumb
Harga iPhone Air Turun Hingga Rp3,25 Juta di Indonesia, Ini Daftar Terbarunya!
• 6 jam lalumediaindonesia.com
thumb
Polda Banten bangun 49 SPPG dukung program Makan Bergizi Gratis
• 4 jam laluantaranews.com
thumb
Ekspor Kendaraan Listrik China ke Seluruh Dunia Naik 87% pada November 2025
• 1 jam lalubisnis.com
Berhasil disimpan.