Serikat Pekerja Kampus dan dua orang dosen menggugat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta agar aturan mengenai gaji guru dan dosen disetarakan dengan upah minimum regional (UMR).
Gugatan itu teregister dengan nomor 272/PUU-XXIII/2025 tertanggal 24 Desember 2025. Penggugatnya adalah Serikat Pekerja Kampus yang diwakili Rizma Afian Azhiim; dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Isman Rahmani Yusron; dan dosen Universitas Halim Sanusi PUI Bandung, Riski Alita Istiqomah.
Dalam gugatannya, para pemohon mempersoalkan Pasal 52 ayat 1, 2, dan 3 UU Guru dan Dosen. Pasal berbunyi:
Pasal 52
(1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
(2) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
"Bahwa ketidakpastian hukum mengenai parameter 'Kebutuhan Hidup Minimum' dalam UU Guru dan Dosen telah berdampak fatal bagi kesejahteraan dosen," kata para pemohon dalam permohonannya, dikutip pada Senin (29/12).
Para pemohon menilai, UU Guru dan Dosen tak mengatur secara eksplisit terkait kewajiban untuk memberikan upah dengan standar UMR yang telah ditentukan. Karenanya, mereka menilai, ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya eksploitasi.
"Ketika norma undang-undang gagal menjamin kepastian pembayaran upah yang layak, maka hak konstitusional dosen untuk hidup sejahtera terancam," tulis pemohon.
Para pemohon juga membandingkan gajinya dengan UMR yang ditetapkan. Untuk Isman, mengaku hanya mendapat gaji pokok sejumlah Rp 2.567.252.
Sementara, Riski Alita menerima penghasilan dengan rincian: upah kerja Rp 1.500.000; uang makan Rp 20.000 per kehadiran; dan tunjangan peningkatan kinerja Rp 500.000.
Para pemohon mengakui, nilai ini tak jauh beda dengan Upah Minimum Provinsi Jawa Barat 2025 senilai Rp 2.191.238. Namun, jauh dari Upah Minimum Kota Bandung 2025 yang bernilai Rp 4.209.309.
Karenanya, para pemohon meminta agar aturan mengenai gaji dosen diubah dan disetarakan menjadi UMR di masing-masing regional perguruan tinggi.
"Apabila MK memeriksa dan mengabulkan permohonan para pemohon, maka para pemohon berpotensi memperoleh pemulihan hak konstitusional terkait dengan hak atas penghidupan yang layak, hak untuk mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, hak untuk memperjuangkan kepentingan kolektif untuk kesejahteraan dan jaring pengaman dosen, serta hak untuk memperoleh jaminan, pelindungan, dan kepastian hukum yang adil," ungkapnya.
Berikut petitum lengkap gugatan mereka:
1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
2. Menyatakan Pasal 52 ayat (1)Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik indonesia Tahun 2005 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok yang sekurang-kurangnya setara dengan upah minimum regional yang berlaku di satuan pendidikan tinggi berada, yang didukung dengan kompensasi lainnya untuk memenuhi kebutuhan produktif dan profesional dosen yang bersifat tetap, yaitu tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi'.
3. Menyatakan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586) sepanjang kata "...gaji" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "Gaji pokok yang sekurang-kurangnya setara dengan upah minimum regional yang berlaku di satuan pendidikan tinggi berada, yang didukung dengan kompensasi lainnya untuk memenuhi kebutuhan produktif dan profesional dosen yang bersifat tetap, yaitu tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi".
4. Menyatakan Pasal 52 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 151 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586) sepanjang kata "...gaji" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "Gaji pokok yang sekurang-kurangnya setara dengan upah minimum regional yang berlaku di satuan pendidikan tinggi berada, yang didukung dengan kompensasi lainnya untuk memenuhi kebutuhan produktif dan profesional dosen yang bersifat tetap, yaitu tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi".
5. Memerintahkan putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki pendapat lain, mohon untuk diputus yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).



