AMAN: Sepanjang 2025 Ada 135 Kasus Perampasan Wilayah Adat

katadata.co.id
8 jam lalu
Cover Berita

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, sepanjang 2025 terdapat 135 kasus perampasan wilayah adat di seluruh Indonesia, dengan luas mencapai 3,8 juta hektare. Hal tersebut berdampak pada 109 komunitas masyarakat adat di dalamnya. 

Dalam laporannya, AMAN menguraikan beberapa proyek yang terlibat dalam penguasaan wilayah adat. Dari total kasus, 69 kasus di antaranya merupakan sengketa masyarakat adat dengan proyek pertambangan. 

Kemudian, 34 kasus terkait proyek perkebunan, sebelas kasus terkait proyek infrastruktur, sebelas kasus terkait konsesi kehutanan, lima kasus terkait proyek energi, tiga kasus terkait proyek pariwisata, serta dua kasus terkait proyek pertanian. 

Konflik agraria yang tak kunjung usai ini, dinilai semakin parah pasca Undang-Undang Cipta Kerja ditetapkan. 

“UU Cipta Kerja yang secara sistematis melegitimasi perampasan wilayah adat untuk kepentingan investasi,” tulis AMAN dalam laporan ‘Di Tengah Krisis Berlapis: Masyarakat Adat Bertahan, Negara Mengabaikan’ yang dikutip Senin (29/12). 

UU Cipta Kerja membuat penetapan kawasan hutan negara dilakukan secara sepihak dan menciptakan ekspansi berbagai perizinan di wilayah adat. Akibatnya, masyarakat adat justru terusir dari ruang hidupnya. 

Mengubah Paradigma Negara

Dalam laporannya, AMAN mengungkapkan konflik agraria tak akan selesai tanpa perubahan paradigma negara: dari penguasaan negara, ke pengakuan hak masyarakat adat; dari ancaman ke perlindungan; dari pembangunan yang mengeklusi ke pembangunan inklusif bagi masyarakat adat. 

“Penyelesaian sejati konflik agraria di wilayah adat hanya dapat dilakukan jika negara memiliki kemauan politik sepenuh hati untuk mengakui, melindungi, dan memenuhi hak masyarakat adat,” kata AMAN dalam laporan tersebut. 

Sejauh ini pemerintah baru menetapkan 6.372.307 hektare wilayah adat di seluruh Indonesia. Padahal, total wilayah adat yang telah dipetakan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencapai 33,6 juta hektare.

Wilayah adat seluas 24.686.173 hektare lainnya, memiliki status pengakuan berupa ‘pengaturan’. Artinya, sudah ada produk hukum daerah tentang tata cara pengakuan masyarakat adat, namun belum ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah. 

Kemudian, ada 2.588.016 hektare wilayah adat lainnya yang belum memiliki status apapun. 

Di samping itu, dari total wilayah adat yang telah dipetakan, wilayah seluas 7,3 juta hektare di antaranya bahkan masih tumpang tindih dengan konsesi. 

Rinciannya: seluas 4,1 juta ha lahan tumpang tindih dengan logging (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dalam Hutan Alam) dan 1,6 juta ha tumpang tindih dengan kebun kayu (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dalam Hutan Tanaman). Kemudian, ada 891.886 ha tumpang tindih dengan perkebunan (Hak Guna Usaha), serta 756.928 ha tumpang tindih dengan Izin Usaha Pertambangan.

Menantikan Kontribusi Putusan MK 181/2024

Mahkamah Konstitusi dalam putusan MK.181/PUU-XXII/2024 mengabulkan sebagian permohonan uji materiil UU No.18 Tahun 2013 sebagaimana telah diubah dengan UU No.6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU. Permohonan ini diajukan oleh Sawit Watch.

Dalam putusan tersebut, MK memperbolehkan masyarakat hukum adat (MHA) untuk berkebun di hutan tanpa izin pemerintah. 

Sebelumnya, Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran UU Cipta Kerja mengatur bahwa “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat.”

Kemudian, berdasarkan permohonan dari Sawit Watch, MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum jika tidak dimaknai, “Dikecualikan untuk masyarakat adat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.”

Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat Kementerian Kehutanan Julmansyah, menyatakan pihaknya tetap menghormati putusan tersebut. Akan tetapi, sejumlah terminologi perlu dirincikan.

“Terminologi yang kemudian disampaikan sebagai bagian dari Putusan MK 181, soal tidak bersifat komersial, kemudian turun temurun, dan masyarakat di sekitar kawasan hutan, itu yang akan kami jelaskan dalam surat edaran Menteri Kehutanan,” kata Julmansyah kepada para wartawan, pada Oktober lalu.

Meskipun begitu, AMAN tetap menantikan penegakan hukum terhadap Putusan MK ini, melihat banyaknya masyarakat adat yang dikriminalisasi. Sebab, wilayah adatnya bertumpang tindih dengan kawasan hutan negara.

Pemerintah Fokus Tetapkan 1,4 Juta Hutan Adat

Julmansyah menekankan, Kementerian Kehutanan tengah fokus menyelesaikan peta jalan percepatan hutan adat seluas 1,4 juta hektare untuk empat tahun ke depan. 

“Kita sudah bersepakat, teman-teman di CSO, AMAN, BRWA, HuMa, JKPP, kemudian Kementerian Kehutanan, akan menjadikan itu sebagai basis satu data,” jelasnya. 

Hingga saat ini, baru ada 366.955 hektare yang ditetapkan sebagai hutan adat oleh pemerintah dan telah diberikan kepada 169 masyarakat hukum adat.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Tragis! Pekerja Tewas Tersetrum Saat Pengecatan Kapal di Batam
• 4 jam lalurctiplus.com
thumb
Cak Imin Dukung Kepala Daerah Dipilih DPRD: Itu Sikap PKB
• 10 jam lalukumparan.com
thumb
Cuaca Ekstrem Ancam Libur Akhir Tahun, DPR Minta Pemerintah dan Wisatawan Utamakan Keselamatan
• 4 jam lalupantau.com
thumb
Persib Nyaman di Puncak Klasemen BRI Super League, Eliano Reijnders Tak Mau Lengah
• 15 jam lalubola.com
thumb
Mendagri Ungkap 22 Desa Hilang Tersapu Banjir Sumatera, Aceh Paling Banyak
• 6 jam lalukompas.com
Berhasil disimpan.