FAJAR, MAKASSAR — Perjuangan masyarakat adat mempertahankan ruang hidupnya menjadi sorotan utama dalam Ma’REFAT Informal Meeting (REFORMING) ke-29 yang digelar Ma’REFAT Institute Sulawesi Selatan, Minggu, 28 Desember 2025.
Diskusi bertema “Perjuangan Masyarakat Adat Mempertahankan Ruang Hidup dan Ikhtiarnya Menjaga Kelestarian Lingkungan” ini menghadirkan Baso Arsyad, Pemuka Masyarakat Adat Banua Lemo Kabupaten Luwu sekaligus aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), serta Andi Manarangga Amir, aktivis pemberdayaan komunitas dan Co-Founder Lembaga Inisiasi Lingkungan dan Masyarakat (LINGKAR) Sulawesi.
Diskusi menempatkan persoalan masyarakat adat bukan semata isu kebudayaan, melainkan persoalan struktural yang berkaitan erat dengan kebijakan negara, tata kelola ruang, dan pengelolaan sumber daya alam. Para pemantik menilai, negara kerap gagal memahami cara hidup masyarakat adat yang selama ratusan tahun terbukti mampu menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Baso Arsyad mengawali pemaparannya dengan menegaskan posisi historis masyarakat adat di Nusantara.
“Sebelum negara berdiri, masyarakat adat telah eksis dengan sistem kerajaan, adat istiadat, serta relasi yang kuat dengan ruang hidupnya,” ujarnya.
Menurut Baso, masyarakat adat memiliki keterikatan utuh dengan hutan, sungai, dan lahan pertanian, lengkap dengan sistem sosial serta tata kelola wilayah yang mengatur hubungan manusia dan lingkungannya.
Namun, kehadiran negara dengan sistem administrasi modern justru kerap menempatkan masyarakat adat dalam posisi yang tidak jelas. Baso menilai pemerintah sering memisahkan masyarakat adat dari masyarakat desa, seolah keduanya entitas yang berbeda.
“Padahal secara faktual, tidak ada perbedaan mendasar. Keduanya sama-sama ingin menjaga adat dan lingkungan tempat hidupnya,” kata Baso.
Ia juga menyoroti belum tuntasnya pengakuan negara terhadap masyarakat adat lebih dari dua dekade pascareformasi.
“Di mana ada masyarakat adat yang kuat, di situ penjagaan lingkungan akan berjalan, karena mereka punya keterikatan langsung dengan wilayah adatnya,” tegasnya.
Sementara itu, Andi Manarangga Amir membedah persoalan masyarakat adat dari sudut pandang pengelolaan sumber daya alam. Ia menjelaskan bahwa masyarakat adat sejak lama mengelola sumber daya secara komunal dengan mekanisme turun-temurun.
“Mereka sebenarnya sudah punya tata kelola sendiri terhadap sumber daya yang dimiliki,” ujarnya. Dari mekanisme tersebut, lahir norma-norma yang mengatur pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan.
Manarangga menegaskan, masyarakat adat bukanlah komunitas baru. “Masyarakat adat itu adalah masyarakat yang secara turun-temurun mengelola lingkungannya, membangun pola pengorganisasian sendiri, dan hidup dengan norma yang mereka jaga bersama,” katanya.
Namun, berbagai kebijakan negara dinilai justru melemahkan sistem adat, dengan menjadikan sumber daya sebagai kewenangan penuh negara dan memosisikan masyarakat adat hanya sebagai mitra pasif.
Ia menyinggung data kerusakan lingkungan di Sulawesi Selatan. Dalam periode 2019–2023, lebih dari 620 ribu hektare tutupan hutan hilang.
“Artinya, kira-kira satu hektare hutan hilang setiap jam,” ungkapnya.
Menurut Manarangga, kondisi ini tidak lepas dari melemahnya sistem adat. Bahkan, dalam beberapa kasus, kepala adat terlibat transaksi lahan bukan semata karena faktor individu, melainkan karena sistem pengendalian adat telah runtuh.
“Mereka tidak lagi punya kekuatan sebagai sistem untuk mengontrol wilayahnya sendiri. Pilihan paling realistis akhirnya adalah menjual lahan,” pungkasnya.
Menanggapi pertanyaan peserta soal sikap masyarakat adat terhadap kebijakan pemerintah, khususnya terkait deforestasi dan bencana ekologis, Manarangga menegaskan bahwa masyarakat adat sejak awal tidak pernah berkompromi dalam urusan lingkungan.
“Ketika konsesi diberikan dan masyarakat merasa lingkungannya terancam, mereka melakukan penolakan. Dialog justru baru dibuka setelah itu, padahal seharusnya dilakukan sejak awal,” jelasnya.
Baso Arsyad menambahkan bahwa bencana alam tidak bisa dilepaskan dari kerusakan lingkungan. Ia mencontohkan banjir berulang di Luwu yang, menurutnya, sudah lama diperingatkan melalui pengetahuan lokal.
“Nenek moyang kita mewariskan cara membaca alam, termasuk larangan membangun rumah di dekat sungai,” ujarnya.
Diskusi ditutup dengan satu benang merah: kerusakan lingkungan bukan hanya kerusakan alam, tetapi juga kerusakan sosial dan norma. Ketika hutan dibuka tidak sesuai peruntukan, yang hancur bukan hanya ekosistem, melainkan juga sistem hidup masyarakat adat yang selama ratusan tahun menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Forum ini berlangsung dinamis dan dihadiri berbagai kalangan, mulai dari ASN, mahasiswa, dosen, aktivis lingkungan, hingga pelaku usaha dan karyawan swasta. (*)




