Jakarta (ANTARA) - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pertumbuhan kredit perlu didongkrak sebesar dua kali lipat dari realisasi saat ini guna mewujudkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen.
“Laju kredit harus lebih akseleratif. Kalau mau (ekonomi) tumbuh 6 persen, harus berani menargetkan kredit kita dua kali lipat dari capaian saat ini,” kata Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto dalam Diskusi Publik Indef di Jakarta, Senin.
Merujuk pada laporan Bank Indonesia (BI), pertumbuhan kredit perbankan pada November 2025 tercatat 7,74 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 10,79 persen (yoy).
BI menargetkan pertumbuhan kredit dapat menyentuh level 8 persen pada Desember 2025.
Baca juga: BI proyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik pada triwulan IV
Sementara, menurut Eko, pertumbuhan kredit pada rentang tersebut hanya mampu menjaga pertumbuhan ekonomi pada level sekitar 5 persen, sebagaimana jejak historis dalam 10 tahun terakhir.
Eko menjelaskan, sekitar 70 persen likuiditas masih ditentukan oleh sektor perbankan, sehingga pertumbuhan akan sulit ditingkatkan bila perbankan tidak mengencangkan penyaluran kredit.
“Sekitar 70 persen likuiditas ditentukan oleh mengucur atau tidaknya dana perbankan ke sektor riil. Dulu, ketika (ekonomi) tumbuh 6 persen, sektor riil dikucuri kredit dengan laju 20 persen. Sekarang, dengan target 8-12 persen yang berarti tengahnya 10 persen, susah berharap (ekonomi) 6 persen,” ujar dia.
Untuk mencapai target pertumbuhan kredit, Eko menyarankan bank sentral untuk mengombinasikan kebijakan ekspansi moneter dengan optimalisasi kebijakan makroprudensial.
Dia menilai masih ada ruang optimalisasi kebijakan makroprudensial yang bisa menopang sektor riil, terutama dari aspek jaminan atas ketidakpastian ekonomi.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan permintaan kredit yang masih tertahan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu perilaku wait and see dari pelaku usaha, optimalisasi pembiayaan internal oleh korporasi, serta penurunan suku bunga kredit yang masih lambat.
Baca juga: Kemendagri: Manfaatkan program Pusat dongkrak pertumbuhan ekonomi
Meski demikian, Perry mengatakan bahwa minat penyaluran kredit perbankan umumnya masih cukup baik yang tercermin pada persyaratan pemberian kredit (lending requirement) yang semakin longgar, kecuali pada segmen kredit konsumsi serta usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Walaupun kinerja intermediasi perbankan menghadapi tantangan, BI memastikan ketahanan industri perbankan nasional tetap kokoh.
“Laju kredit harus lebih akseleratif. Kalau mau (ekonomi) tumbuh 6 persen, harus berani menargetkan kredit kita dua kali lipat dari capaian saat ini,” kata Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto dalam Diskusi Publik Indef di Jakarta, Senin.
Merujuk pada laporan Bank Indonesia (BI), pertumbuhan kredit perbankan pada November 2025 tercatat 7,74 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 10,79 persen (yoy).
BI menargetkan pertumbuhan kredit dapat menyentuh level 8 persen pada Desember 2025.
Baca juga: BI proyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik pada triwulan IV
Sementara, menurut Eko, pertumbuhan kredit pada rentang tersebut hanya mampu menjaga pertumbuhan ekonomi pada level sekitar 5 persen, sebagaimana jejak historis dalam 10 tahun terakhir.
Eko menjelaskan, sekitar 70 persen likuiditas masih ditentukan oleh sektor perbankan, sehingga pertumbuhan akan sulit ditingkatkan bila perbankan tidak mengencangkan penyaluran kredit.
“Sekitar 70 persen likuiditas ditentukan oleh mengucur atau tidaknya dana perbankan ke sektor riil. Dulu, ketika (ekonomi) tumbuh 6 persen, sektor riil dikucuri kredit dengan laju 20 persen. Sekarang, dengan target 8-12 persen yang berarti tengahnya 10 persen, susah berharap (ekonomi) 6 persen,” ujar dia.
Untuk mencapai target pertumbuhan kredit, Eko menyarankan bank sentral untuk mengombinasikan kebijakan ekspansi moneter dengan optimalisasi kebijakan makroprudensial.
Dia menilai masih ada ruang optimalisasi kebijakan makroprudensial yang bisa menopang sektor riil, terutama dari aspek jaminan atas ketidakpastian ekonomi.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan permintaan kredit yang masih tertahan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu perilaku wait and see dari pelaku usaha, optimalisasi pembiayaan internal oleh korporasi, serta penurunan suku bunga kredit yang masih lambat.
Baca juga: Kemendagri: Manfaatkan program Pusat dongkrak pertumbuhan ekonomi
Meski demikian, Perry mengatakan bahwa minat penyaluran kredit perbankan umumnya masih cukup baik yang tercermin pada persyaratan pemberian kredit (lending requirement) yang semakin longgar, kecuali pada segmen kredit konsumsi serta usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Walaupun kinerja intermediasi perbankan menghadapi tantangan, BI memastikan ketahanan industri perbankan nasional tetap kokoh.





