Tiga minggu lamanya, seorang ibu di Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara, menanti pemeriksaan kehamilan yang tak ia dapat sejak daerahnya porak poranda karena bencana. Puskesmas Langkahan tempat ia memeriksa kesehatan sempat lumpuh terkena banjir bandang pada 26 November 2025.
Saat tim medis Universitas Padjadjaran akhirnya tiba di Langkahan pada pekan ketiga Desember, ibu itu tak luput diperiksa dengan alat doppler. Kenyataan memilukan terungkap: detak jantung janin di kandungannya tak lagi terdengar.
“Baru terdeteksi saat dokter kandungan kita memeriksa. Jadi selama dua minggu itu gerakan bayinya, denyut jantung janinnya, sudah nggak ada. Terindikasi intrauterine fetal death (IUFD) atau kematian janin di dalam kandungan ibu,” ujar Dani Ferdian, Ketua Tim Tanggap Bencana Fakultas Kesehatan Unpad kepada kumparan, Kamis (24/12).
Dengan akses yang masih sulit, sang ibu akhirnya dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk diperiksa insentif melalui metode USG. Jarak ke RS memakan waktu sekitar 1,5 jam.
Dani menyatakan, kasus yang menimpa ibu hamil tersebut terjadi karena ia tak bisa mendapatkan pemeriksaan rutin (antenatal care) pasca-bencana. Apalagi puskesmas di Langkahan sempat dipenuhi lumpur yang merusakkan alat-alat kesehatan dan obat-obatan.
“Kondisi ibu hamil yang pemeriksaannya mestinya rutin, ketika gerakan janinnya melambat atau denyut jantung janinnya melemah, itu seharusnya sudah bisa diintervensi,” ucapnya.
Kasus kematian janin dalam kandungan (IUFD) yang tidak terdeteksi ini menjadi potret lumpuhnya layanan kesehatan dasar di wilayah terdampak bencana di Sumatera.
Terjangkit ISPA hingga Penyakit KulitBencana yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah menewaskan lebih dari seribu orang. Bencana itu juga menimbulkan krisis kesehatan bagi warga yang selamat, khususnya mereka yang berada di pengungsian.
Aklimi, warga Aceh Timur, mengatakan anaknya yang berusia 3 tahun mengalami demam, flu, dan batuk setelah bencana melanda. Ia menduga penyakit-penyakit itu muncul karena anaknya sempat minum air bekas banjir di awal bencana.
“Airnya keruh sekali. Saya kasih minum itu karena nggak ada makanan dan air putih,” kata Aklimi pada kumparan, Selasa (23/12).
Marhamah, warga Aceh Timur lain, mengatakan bayinya yang baru berusia 4 bulan kini terkena sakit kulit akibat air banjir. Namun, sakit kulit itu tak seberapa dibanding penyakit bawaan serius yang diidap bayinya: hidrosefalus.
Bayi Marhamah yang hidrosefalus harus rutin kontrol pasca-operasi ke RSUD Zubir Mahmud. Namun ia tak bisa membawa bayinya kontrol karena ketiadaan biaya imbas hilangnya pekerjaannya usai bencana.
“Kami butuh uang jalan. Kalau kondisi kayak gini, orang tuanya—kami—enggak bisa cari uang, enggak ada pekerjaan,” kata Marhamah.
Maimunah, warga Aceh Tamiang, mengatakan sudah sepekan terakhir batuk disertai meriang. Untungnya kini sudah ada posko kesehatan di kantor bupati sehingga ia bisa berobat.
Data Kementerian Kesehatan hingga 28 Desember mencatat lebih dari 90 ribu warga di Aceh, Sumut, dan Sumbar terjangkit penyakit pasca-bencana. Mulai dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), diare, demam, campak, hingga penyakit kulit.
Dari 90 ribuan warga yang terjangkit penyakit itu, mayoritas didominasi ISPA sebanyak 41 ribu kasus (46%), disusul penyakit kulit sebanyak 28 ribu kasus (31%), dan diare sebanyak 5 ribu kasus (6%).
“Situasi bencana meningkatkan risiko penularan penyakit menular, terutama PD3I (penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi). Karena itu surveilans dan pelayanan imunisasi harus tetap berjalan untuk melindungi kelompok rentan dan mencegah terjadinya KLB (kejadian luar biasa),” ujar Dirjen Penanggulangan Penyakit Kemenkes, drg. Murti Utami, dalam keterangannya, Rabu (17/12).
Wakil Sekretaris IDI Aceh, Iziddin Fadhil, menyebut kasus ISPA disebabkan oleh debu lumpur pasca-banjir yang mengering. Sementara penyakit kulit seperti dermatitis diakibatkan paparan air banjir yang mengandung virus dan bakteri.
Terlebih akses air bersih bagi warga masih terbatas. Mereka tak bisa mandi dan mencuci dengan air bersih. Selain itu, muncul pula kasus diare, sebab tak jarang korban bencana seperti Aklimi minum dari air bekas banjir.
“Kebutuhan air bersih masih kurang, sehingga itu pasti akan memengaruhi tingkat kesehatan,” kata Iziddin pada kumparan, Jumat (26/12).
Warga Aceh Tamiang, Hamidah, mengatakan air bersih amat berharga, sampai-sampai terasa seperti berlian. Ia rela mengejar-ngejar kendaraan pengangkut air bersih dan memanggul galon demi tak kena penyakit.
“[Lihat] air bersih kayak lihat berlian, dikejar terus,” ucap Hamidah.
Dani Ferdian, Ketua Tim Tanggap Bencana FK Unpad, menyebut selain penyakit yang menyerang fisik, para pengungsi juga terkena masalah mental.
Di Bener Meriah, misalnya, tim medis FK Unpad menemukan banyak pengungsi mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD). Alhasil, meski timnya tak membawa psikolog, mereka bersama Koramil setempat mengadakan trauma healing sederhana.
“Itu (PTSD) karena kejadian bencana yang mengakibatkan banyak hal, entah kehilangan keluarga, harta benda, dan sebagainya,” kata Dani.
Kemenkes juga mewaspadai merebaknya leptospirosis—penyakit zoonosis akibat bakteri Leptospira yang ditularkan melalui urine hewan terinfeksi, terutama tikus. Penularannya bisa melalui air, lumpur, tanah, atau makanan yang terkontaminasi.
Murti Utami, Dirjen Kemenkes, meminta warga tak mengabaikan gejala awal penyakit tersebut. Ia berpesan, “Jika mengalami demam, nyeri otot, sakit kepala, atau mata merah setelah terpapar air banjir atau lumpur, segera periksa ke fasilitas kesehatan. Jangan menunggu sampai kondisi memburuk.”
Prof Tjandra Yoga Aditama, eks Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, mengatakan leptospirosis biasanya muncul di daerah yang terdampak banjir biasa seperti Jakarta. Sementara di daerah yang terkena banjir bandang, kemungkinan yang muncul tak cuma bakteri, tapi juga dengan membawa parasit maupun amoeba.
“Yang demam-demam belum tentu pneumonia karena bakteri atau virus. Bukan tidak mungkin [itu] karena parasit,” ucap Tjandra.
Tjandra pun menyoroti kasus ISPA yang mendominasi. Ia menyarankan Kemenkes untuk mengambil sampel warga yang terdampak bencana guna memastikan apakah virus ISPA yang melanda pengungsian terkait atau tidak dengan merebaknya virus influenza tipe A (H3N2) yang melonjak di ASEAN maupun Indonesia sejak Oktober lalu.
“Kenapa itu penting? … [Supaya] kalau terjadi KLB, dari awal kita tahu virus atau bakteri apa yang sedang merebak,” ujar mantan Dirjen Pengendalian Penyakit Kemenkes itu.
Mencegah Bencana KeduaKrisis kesehatan yang menimpa warga diperparah dengan hancurnya sejumlah fasilitas kesehatan seperti puskesmas, klinik, apotek, maupun RS imbas banjir bandang.
Puskesmas pembantu (Pustu) di Desa Sekumur, Aceh Tamiang, misalnya, hancur dan dipenuhi lumpur. Padahal pustu tersebut melayani masyarakat dari tiga desa, yakni Desa Sekumur, Tanjung Kupang, dan Pematang Durian.
“Kondisinya sangat tidak layak,” ucap Siti Aisyah, Kepala Pustu Sekumur, pada kumparan Senin (22/12).
Itu sebabnya jika ada warga yang sakit keras, ia harus dirujuk ke RS yang memadai di kota Langsa atau Binjai, Sumatera Utara. Masalahnya, jaraknya makan waktu dan bukannya tanpa risiko, sebab dari Desa Sekumur harus menyeberang sungai terlebih dahulu, lalu menempuh perjalanan darat sekitar tiga jam hanya untuk sampai ke Kuala Simpang, belum ke tujuan akhir.
Siti menyebut seorang warga Sekumur yang memiliki komorbid diabetes meninggal dunia ketika dirujuk ke Langsa.
Dani Ferdian dari tim medis Unpad menceritakan, puskesmas di Langkahan, Aceh Utara, lumpuh karena penuh lumpur. Ia singgah ke sana pada 14 Desember. Akhirnya tim medis Unpad dan UNS dibantu Koramil setempat membersihkan Puskesmas Langkahan agar bisa kembali aktif.
Upaya pembersihan makan waktu sekitar sepekan karena tebalnya lumpur.
“Ketika tempatnya sudah bersih, lumpur-lumpurnya sudah nggak ada, mulai bisa dijadikan tempat pelayanan kesehatan,” ucapnya.
Berbeda dengan di Langkahan, Puskesmas Pante Bidari di Aceh Timur sejauh ini belum bisa beroperasi. Dokter relawan Kemenkes, Indra Sunarli, mengatakan baru ruangan UGD Puskesmas saja yang dibersihkan, sedangkan ruangan lain masih penuh lumpur.
Namun demikian, upaya jemput bola ke desa-desa dan pelayanan kesehatan terbatas masih bisa dilakukan di aula dekat puskesmas. Indra menilai, butuh 2–3 bulan lagi agar puskesmas tersebut bisa beroperasi normal.
Di Aceh Tamiang, menurut Iziddin, baru 3 dari 15 puskesmas yang aktif melayani masyarakat secara normal. Ia kebetulan ditugaskan IDI Aceh untuk mereaktivasi Puskesmas Karang Baru di Aceh Tamiang.
Iziddin menyatakan, tujuan mengaktifkan kembali puskesmas untuk menangani masyarakat yang sebelum bencana sudah mengidap penyakit-penyakit kronis seperti hipertensi maupun tuberkulosis (TBC).
Jika tidak segera diaktivasi, ia khawatir akan muncul gelombang kedua bencana dari sisi kesehatan. Apalagi jika pengidap penyakit kronis sulit mendapatkan obat dan sanitasi di lingkungan sekitar yang masih buruk.
“Misalnya pasien hipertensi yang tadinya tidak gagal ginjal, karena tidak terkontrol akan jadi gagal ginjal. Tadinya tidak stroke, bisa jadi stroke karena hipertensinya tidak terkontrol. Ini yang kita takutkan, sedangkan kesanggupan pelayanan kesehatan, faskes, masih belum optimal,” jelasnya.
Prof Tjandra berpendapat, perlu upaya keras dari Kemenkes untuk merevitalisasi faskes, khususnya RS. Merujuk jurnal berjudul "Hospitalization risks associated with floods in a multi-country study”, Prof Tjandra menyebut risiko rawat inap penyakit sebagai dampak banjir bandang bisa berlangsung 210 hari atau hampir 7 bulan setelah bencana.
Kemenkes menyadari gentingnya peran faskes, khususnya bagi pengungsi dan kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia. Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan, setelah proses revitalisasi RS di wilayah terdampak berjalan, pemerintah kini fokus merevitalisasi sekitar 800 puskesmas terdampak bencana di Aceh, Sumbar, dan Sumut.
“Puskesmas sangat penting untuk menjaga kesehatan masyarakat di rumah-rumah dan pengungsian sehingga mereka tidak perlu ke rumah sakit,” ujar Budi di Bener Meriah, Jumat (19/12).
Ketersediaan Obat dan Alkes GentingTak hanya operasional faskes, ketersediaan obat dan alat kesehatan (alkes) juga perlu diperhatikan. Kemenkes menyebut stok obat di RS di lokasi-lokasi bencana masih aman dan tercukupi. Namun tak begitu bagi Dharma Tafsia, pengungsi di Aceh Tamiang yang mengalami pembengkakan jantung. Ia belum memperoleh obat yang harusnya ia dapat sebulan sekali.
Apotek di Kuala Simpang tempat Dharma biasa mendapatkan obat kini hancur tersapu banjir. Sementara ketika beberapa kali ia meminta obat untuk penyakitnya ke dokter relawan yang tiba di pengungsian, hasilnya tetap nihil. Padahal tanpa obat itu, tubuh Dharma terasa lemas.
Ketersediaan obat yang menipis juga dialami Dani. Ketika hendak mencari obat-obatan untuk penyakit diare dan kulit di Lhokseumawe, Dani mendapati stok di seluruh tempat kosong sehingga mau tak mau ia meminta tim medis FK Unpad yang hendak berangkat ke Aceh untuk membawa stok obat dari Bandung.
“Waktu di Aceh Utara mau cari obat-obatan diare, kulit, itu sempat se-Lhokseumawe kosong,” kata Dani.
Iziddin merasakan hal yang sama. Menurutnya, obat yang krusial bagi penderita TBC maupun kelainan bawaan sempat menipis di Aceh Tamiang.
Indra Sunarli, dokter relawan Kemenkes, mengatakan pelayanan di tempatnya bertugas juga terbatas karena kurangnya stok obat dan rusaknya alat kesehatan. Ia telah meminta Kemenkes mengirim stok obat dan alkes agar pelayanan puskesmas kembali normal. Selain itu, ia butuh ambulans untuk pelayanan jemput bola ke masyarakat.
Michelle Maylangkay, Ketua Tim Medis Kapal RS Apung Laksamana Malahayati PDIP, menilai bahwa ketersediaan obat memang krusial bagi lansia yang punya penyakit kronis seperti darah tinggi, gula, kolesterol, dan asam urat.
Ia mencontohkan, jika lansia dengan riwayat diabetes mengalami luka tapi obatnya tidak tersedia, lansia tersebut bisa mengalami infeksi luka yang makin parah. Untuk itu ia berharap Kemenkes bisa memberikan stok lebih bagi mereka yang menderita penyakit gula, kolesterol, darah tinggi, dan asam urat.
“Bagi orang-orang yang harus minum obat rutin ini, jadi agak repot. Apalagi pasien-pasien dengan riwayat sakit jantung,” ucap Michelle yang kini melayani pengungsi di Aceh.
Prof Tjandra berpendapat, ketersediaan obat yang menipis, khususnya bagi pasien TBC, bisa memicu sumber penularan baru. Apalagi jika alkes untuk mendeteksinya juga rusak.
Bagaimanapun, menurutnya, segala upaya untuk memastikan kesehatan warga terdampak bencana akan efektif jika kebutuhan dasar korban terpenuhi dan akses antardaerah sudah diperbaiki.
“Kesehatan enggak mungkin jalan sendiri. Sebanyak apa pun dokter mau dikirim, kalau situasi begitu-begitu terus ya enggak akan beres-beres,” ujarnya.
Iziddin pun mengusulkan agar para pengungsi direlokasi ke tempat atau hunian sementara yang layak dan dilengkapi segala kebutuhan dasarnya seperti sanitasi serta fasilitas kesehatan.
“Sehingga mereka bisa hidup lebih manusiawi. Saya melihat sudah ada upaya itu, walaupun maaf, kami menganggap itu terlambat, tidak sejak awal,” tutupnya.



