FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Konsultan Hukum, Hadi Saputra, merespons narasi dugaan sabotase baut pada jembatan bailey di Teupin Mane, Provinsi Aceh.
Ia menegaskan, di tengah duka bencana yang melanda Sumatera, publik justru disuguhi cerita yang terkesan sarat drama dan miskin nalar.
“Di tengah duka bencana yang menyapu Sumatera, kita justru disuguhi drama baru, sabotase baut,” kata Hadi di X @ethadisaputra (29/12/2025).
Pernyataan tersebut merespons sikap Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Maruli Simanjuntak yang menyebut adanya ‘tangan-tangan biadab’ yang sengaja melepas baut jembatan bailey.
Namun, menurut Hadi, narasi itu menyisakan banyak lubang logika jika ditelaah dengan akal sehat.
Ia menyebut setidaknya terdapat tiga kejanggalan besar. Pertama, soal kejelasan tempat kejadian perkara.
“Jenderal Maruli menyebut niat pelaku luar biasa. Tapi anehnya, lokasi persisnya dirahasiakan,” imbuhnya.
Hadi sontak mempertanyakan mengapa lokasi sabotase tidak dibuka ke publik.
“Bagaimana mungkin sebuah sabotase terhadap objek strategis nasional dilaporkan ke publik namun TKP-nya menjadi misteri?,” timpalnya.
Kata Hadi, tanpa transparansi lokasi, narasi sabotase tersebut berpotensi hanya menjadi rumor yang dipaksakan sebagai fakta.
Kejanggalan kedua, lanjut Hadi, terkait klaim peringatan dini dari Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya.
Ia menekankan pernyataan bahwa potensi sabotase telah tercium sebelumnya justru menimbulkan pertanyaan baru.
“Jika intelijen kita sudah sepresisi itu mencium aroma hilangnya baut di tengah kekacauan bencana, mengapa sabotase itu tetap terjadi? Apakah peringatan itu hanya untuk bahan konferensi pers, bukan untuk pencegahan?” timpalnya.
Adapun kejanggalan ketiga, kata Hadi, terletak pada logika sabotase itu sendiri. Ia mengatakan, merusak jembatan di wilayah bencana bukanlah strategi politik atau militer yang rasional.
“Menghancurkan jembatan di daerah bencana adalah strategi paling bodoh. Pelakunya otomatis menjadi musuh rakyat, bukan pahlawan oposisi,” tegasnya.
Lanjut dia, lebih masuk akal jika peristiwa tersebut disebabkan oleh faktor lain, seperti kelalaian teknis, pencurian material oleh oknum kecil, atau lemahnya pengawasan kualitas pekerjaan.
“Jauh lebih masuk akal jika sabotase ini hanyalah kambing hitam untuk menutupi kelalaian teknis atau buruknya quality control,” tambahnya.
Hadi bilang, masyarakat korban bencana membutuhkan solusi nyata, bukan narasi yang menurutnya bersifat teatrikal.
“Rakyat di pengungsian butuh jembatan yang kokoh, bukan dongeng sabotase. Jangan sampai demi sebuah panggung pencitraan, nalar publiklah yang sengaja dilepas bautnya hingga goyah dan runtuh,” kuncinya. (Muhsin/fajar)





