Darurat Sampah Nasional Bukan Sekadar Masalah Infrastruktur, Tapi Krisis Perilaku Masyarakat

suara.com
2 jam lalu
Cover Berita
Baca 10 detik
  • Darurat sampah nasional akhir 2025 disebabkan krisis struktural akibat rendahnya kesadaran kolektif masyarakat mengelola limbah.
  • Fasilitas pengelolaan sampah seperti TPST Bantargebang dan TPA Cipeucang dilaporkan kolaps karena kelebihan kapasitas.
  • Keberhasilan pengelolaan sampah negara lain bergantung pada kedisiplinan publik dalam pemilahan sampah sejak dari sumber.

Suara.com - Darurat sampah nasional yang melanda berbagai daerah di Indonesia pada akhir 2025 dinilai tidak bisa semata-mata disalahkan sebagai kegagalan teknis pemerintah daerah.

Pengamat Kebijakan Publik Yanuar Wijanarko menegaskan, krisis sampah mencerminkan persoalan struktural yang berakar pada rendahnya kesadaran kolektif masyarakat dalam mengelola limbah hasil konsumsi sehari-hari.

“Dalam perspektif kebijakan publik, persoalan sampah adalah ketidakseimbangan antara laju produksi limbah dengan kapasitas sosial masyarakat dalam mengelolanya. Selama tanggung jawab sepenuhnya dibebankan kepada negara, sementara perilaku konsumsi warga tidak berubah, sistem apa pun akan selalu berada dalam kondisi defisit,” ujar Yanuar, Senin (29/12/2025).

Situasi tersebut terlihat jelas dari kolapsnya sejumlah fasilitas pengelolaan sampah di berbagai wilayah. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Jakarta, kini menerima lebih dari 8.000 ton sampah per hari dan telah melampaui kapasitas ideal.

Timbunan sampah dilaporkan mencapai lebih dari 50 meter, memicu antrean truk pengangkut hingga belasan jam.

Kondisi serupa terjadi di Tangerang Selatan. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang mengalami kelebihan beban hingga 100 persen dan berpotensi mencemari Sungai Cisadane.

Di Jawa Barat, TPA Sarimukti terpaksa membatasi operasional akibat ancaman longsor.

Sementara itu, TPA Piyungan di Daerah Istimewa Yogyakarta direncanakan tutup permanen pada Januari 2026 karena sisa kapasitasnya tinggal di bawah 10 persen.

Menurut Yanuar, titik lemah utama pengelolaan sampah nasional terletak pada rendahnya praktik pemilahan sampah sejak dari sumber, terutama di tingkat rumah tangga.

Baca Juga: Sampah, Bau, dan Mental Warga yang Disuruh Kuat

Tanpa pemilahan awal, seluruh rantai pengelolaan mulai dari pengangkutan hingga pemrosesan akhir menjadi tidak efisien dan membutuhkan biaya tinggi.

“Pemilahan sampah harus diposisikan sebagai kebijakan berbasis perubahan perilaku, bukan sekadar imbauan moral. Negara-negara yang berhasil mengatasi persoalan sampah menunjukkan bahwa disiplin warga menjadi fondasi utama sistem,” ujarnya.

Ia mencontohkan Jepang sebagai negara yang berhasil membangun sistem pengelolaan sampah berbasis kedisiplinan publik.

Di wilayah seperti Kamikatsu, warga diwajibkan memilah sampah hingga puluhan kategori. Hasilnya, lebih dari 80 persen limbah dapat didaur ulang atau diolah kembali sebelum masuk ke fasilitas pembuangan akhir.

“Teknologi di Jepang bekerja optimal karena input sampahnya sudah terpilah dengan baik sejak dari rumah. Tanpa kesadaran itu, teknologi secanggih apa pun tidak akan efektif,” kata Yanuar.

Selain Jepang, Swedia juga dinilai sukses mengurangi ketergantungan pada TPA.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
80 Kardus Air Mineral Bantuan Relawan Malang yang Tertahan di Gudang BPBD Sumut Hilang
• 1 jam lalutvonenews.com
thumb
Daftar 25 Pemain Timnas Futsal Indonesia untuk Persiapan Piala Asia 2026
• 9 jam lalukumparan.com
thumb
Jordi Cruyff Siap Jadi Direktur Teknik Ajax hingga 2028, Masih Rangkap Jabatan di Timnas Indonesia
• 21 jam lalupantau.com
thumb
Persija Jakarta Naik 1 Peringkat di Klasemen Sementara Super League 2025/2026, Pepet Persib Bandung
• 4 menit lalutvonenews.com
thumb
Air Meluap di Pandrah Bireuen, Penumpang Ojek Meninggal Terseret Arus
• 10 jam lalurealita.co
Berhasil disimpan.