Upaya negara dalam menertibkan kawasan hutan terus mendapat perhatian berbagai kalangan. Di tengah urgensi pemulihan lingkungan, muncul pandangan bahwa keberhasilan penertiban tidak hanya diukur dari penguasaan kembali lahan, tetapi juga dari kepastian tata kelola hukum dan keuangan negara agar aset tersebut benar-benar memberi manfaat jangka panjang.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menilai pembentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) merupakan langkah yang relevan dalam menghadapi kondisi darurat ekologis.
Namun, ia mengingatkan pentingnya disiplin tata kelola agar keberhasilan di lapangan tidak menimbulkan persoalan administratif di kemudian hari.
“Penertiban kawasan hutan adalah langkah penting. Tetapi negara juga perlu memastikan, setelah lahan berhasil ditertibkan, status hukum dan pengelolaan asetnya jelas, tercatat, dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Iskandar, Senin (29/12/2025).
Menurutnya, sejak awal perlu dipahami bahwa Satgas PKH dibentuk melalui Instruksi Presiden dan kebijakan administratif Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan mandat utama penertiban dan pengamanan kawasan hutan.
Baca Juga: Prabowo Tegaskan Penertiban Kawasan Hutan Dilakukan Tanpa Pandang Bulu
Satgas ini bukan lembaga penegak hukum yang memiliki kewenangan penyidikan atau perampasan aset secara pidana.
Dalam sistem hukum Indonesia, kewenangan penyitaan dan penetapan status hukum suatu aset berada pada aparat penegak hukum dan pengadilan melalui proses yang sah.
Karena itu, Iskandar menekankan pentingnya menjaga agar penertiban administratif tidak bergeser menjadi penguasaan dan pengalihan pengelolaan aset tanpa mekanisme hukum dan keuangan negara yang lengkap.
Ia menyoroti perlunya koordinasi antarlembaga, khususnya ketika kawasan hutan yang telah ditertibkan akan dimanfaatkan kembali.
Dalam rezim keuangan negara, kawasan hutan merupakan kekayaan negara yang tunduk pada prinsip Barang Milik Negara (BMN), sehingga setiap perubahan pemanfaatan wajib melalui Penetapan Status Penggunaan (PSP) oleh Menteri Keuangan melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).
“Dengan mekanisme ini, aset negara dapat dinilai, dicatat, diawasi, dan dipastikan memberi kontribusi yang jelas bagi negara,” jelasnya.
Iskandar menilai tantangan ini sejatinya bukan hal baru. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama bertahun-tahun kerap mencatat persoalan aset negara yang belum sepenuhnya tertib secara administratif, meskipun secara fisik telah dikuasai negara.
Pola tersebut muncul pada berbagai kasus, mulai dari aset eks kredit bermasalah hingga aset hasil penegakan hukum.
Menurutnya, kondisi tersebut menjadi pengingat penting agar penertiban kawasan hutan ke depan dapat menjadi contoh praktik tata kelola aset negara yang baik, bukan sekadar penguasaan fisik semata. Dengan tata kelola yang rapi, penertiban justru dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap kinerja negara.
Iskandar menegaskan, solusi yang ditawarkan bukanlah menghentikan Satgas PKH. Sebaliknya, ketegasan dan kecepatan tetap dibutuhkan dalam menghadapi ancaman kerusakan lingkungan. Namun, seluruh proses perlu dijalankan dengan pembagian peran yang jelas dan konsisten antarlembaga.
“Darurat lingkungan tidak boleh dijawab dengan praktik darurat hukum. Kekuatan negara hukum justru terlihat dari kemampuannya mencatat, mengelola, dan mempertanggungjawabkan setiap aset milik rakyat,” ujarnya.
Ia berharap Satgas PKH dapat menjadi simbol ketegasan negara yang selaras dengan prinsip konstitusi dan tata kelola yang baik.
“Sehingga penertiban kawasan hutan tidak hanya memulihkan lingkungan, tetapi juga memperkuat fondasi pengelolaan aset negara secara berkelanjutan,” pungkasnya.


