Natal di Palangka Raya, dari Elit Global hingga Misteri Kolor Hilang

kumparan.com
3 jam lalu
Cover Berita

Tulisan ini adalah lanjutan dari cerita “Natal dan Ayam Bersyahadat di Palangka Raya”

--- --- ---

Kenyang menyantap ‘Ayam Bersyahadat’ di rumah Bang Anchu ternyata bukan penutup malam, melainkan sebuah gerbang menuju dimensi lain.

Kala itu Natal 2011, sebuah era yang kini terasa begitu purba namun romantis. Zaman di mana dering PING! dari BlackBerry Messenger (BBM) adalah teror psikologis paling mutakhir, dan WhatsApp belum menjajah kewarasan kita dengan centang birunya.

Sesuai instruksi yang nadanya lebih mirip Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) daripada sekadar ajakan silaturahmi, saya dan rombongan sirkus (Vincen, Bang Anchu, dan Pak Umar) harus merapat ke markas besar Bos Top (Almarhum Topan Nanyan).

Kami datang bukan sebagai tamu, melainkan menyerahkan diri untuk dikuliti isi kepalanya.

Tepat pukul 11 malam, pintu terbuka. Di sudut ruang, lampu pohon Natal berkedip ritmis, menjadi saksi bisu diskusi bawah tanah yang segera dimulai. Di meja, toples nastar bersanding gagah dengan asbak yang sudah penuh puntung rokok, siap menemani perdebatan hingga pagi buta.

Di tengah kepulan asap itu, tiba-tiba sebuah rasa hangat menjalar di dada saya. Di sinilah, di tengah riuh rendah perdebatan di jantung Palangka Raya, saya menyadari satu hal, saya telah menemukan keluarga dan rumah kedua. Jauh dari kampung halaman saya di Pati, Jawa Tengah, kota ini tidak lagi terasa asing.

Palangka Raya bukan lagi sekadar tempat singgah untuk mencari nafkah, melainkan rahim baru yang melahirkan sisi dewasa saya, lengkap dengan saudara-saudara beda darah yang siap berdebat sekaligus merangkul.

Obrolan malam itu bergerak liar, menabrak batas-batas kewajaran. Sekali waktu kami tegang, urat leher menonjol membahas konspirasi Elit Global, Zionis, hingga potensi Perang Dunia III. Namun, tanpa rem, diskusi banting setir menganalisis kasus pencurian celana kolor di jemuran warga.

Anehnya, di hadapan Bos Top, hilangnya kolor diperlakukan dengan takzim, setara dengan membedah pasal makar atau jatuhnya sebuah kabinet.

“Ini murni Pasal 362 KUHP atau ada unsur klenik yang tak terjangkau hukum positif?” tanya kami serius, sambil mencomot kue kastengel.

Bagi Bos Top, tidak ada isu yang terlalu receh. Hilangnya kedaulatan negara dan hilangnya kolor tetangga punya bobot urgensi yang sama, bedanya hanya pada angle penulisan. Di tengah kepulan asap rokok yang makin tebal, Bos Top tiba-tiba menatap saya tajam. Mode santai dimatikan, mode Mahaguru diaktifkan.

“Fit,” tembaknya. Suaranya berat membelah asap. “Wartawan itu bukan juru ketik. Kalau otakmu kosong, tulisanmu kopong. Itu namanya Malpraktik Jurnalistik!”.

Mendengar ucapan itu, saya merasakan tamparan intelektual. Bos Top membongkar dosa terbesar jurnalis daerah yang sering menjadi manusia ‘Palugada’ (Apa Lu Mau Gue Ada) tapi malas berpikir.

“Narasumber, apalagi politisi itu licin, lidahnya tak bertulang. Kalau kamu datang cuma modal pertanyaan ‘gimana tanggapan bapak?’, habislah kau! Kamu cuma jadi tiang mic berjalan,” ujarnya pedas.

Ia menekankan, kualitas berita tidak ditentukan oleh jawaban narasumber, tapi oleh gigitan pertanyaan wartawannya. Tanpa riset, wartawan cuma jadi corong yang membantu menyebar kebohongan yang dibungkus rapi.

Puncaknya, saat waktu seolah berhenti di pukul 3 pagi, Bos Top mengeluarkan kartu as dari Guru Besar Kita, Dahlan Iskan.

“Ingat kata Pak Dahlan,” ujarnya. Bayangannya memanjang diterpa cahaya lampu hias. “Wartawan merekam itu cari aman. Wartawan mencatat itu cari selamat. Tapi... wartawan yang hebat itu datang dengan tangan kosong!”.

Saya melongo, hampir tersedak kue nastar. Kosongan?

“Kalau wawancara itu, pakai otakmu! Simak, pahami, lalu tulis dengan logikamu sendiri,” lanjutnya dengan nada rendah tapi menukik ke hati. “Saat tanganmu sibuk pegang alat, matamu lupa membaca gerak-gerik. Rekaman hanya menangkap suara, tapi nalarmu menangkap ‘rasa’. Itulah yang membuat tulisanmu bernyawa, bukan kaku kayak BAP polisi.”

Namun, sebagai jurnalis kawakan yang paham liciknya lapangan, Bos Top buru-buru memberi pagar pengaman agar saya tidak mati konyol.

“Tapi ingat! Asas ini gugur kalau kamu liput berita sensitif, investigasi korupsi, atau isu hukum. Di situ, narasumber bisa ngeles. Kalau urusan nyawa atau penjara, rekaman adalah alat bukti sah dan saksi mahkota-mu. Tapi kalau cuma liputan feature atau humanis... matikan alatmu, nyalakan nalarmu.”

Diskusi itu akhirnya tuntas saat mata saya tinggal 5 watt dan azan subuh sayup-sayup terdengar, kami akhirnya dibebaskan. Saya pulang membelah kabut pagi Palangka Raya dengan langkah sempoyongan. Bukan cuma karena kantuk, tapi karena kepala terasa jauh lebih berat oleh ilmu, dan hati terasa lebih penuh karena diterima sebagai bagian dari keluarga besar di tanah Dayak ini.

Malam itu, di penghujung 2011, saya belajar lagi satu hal penting, misteri kolor hilang harus ditulis seserius isu negara. Asalkan ditulis dengan akal sehat, riset yang kuat, dan hati yang sudah teguh bersyahadat pada kebenaran. Di Palangka Raya-lah, jurnalis asal Pati ini akhirnya benar-benar pulang.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Jenderal Maruli Geram dan tak Bisa Tidur, Jembatan Bailey di Aceh Disabotase
• 13 jam lalurepublika.co.id
thumb
Reli Berlanjut, Harga Tembaga Dekati USD13.000
• 11 jam laluidxchannel.com
thumb
Kementerian Bahlil Akhirnya Ngirim 1.000 Genset ke Daerah Terdampak Bencana di Sumatera
• 16 jam laludisway.id
thumb
Ukraina Tuduh Belarus Bantu Drone Rusia Hindari Sistem Pertahanan
• 18 jam laluidntimes.com
thumb
Mengenal Diet Ala India, Pola Makan Seimbang yang Bikin Berat Badan Turun Alami
• 4 jam laluviva.co.id
Berhasil disimpan.