Belum lama ini, satwa berbelalai ini ramai dibicarakan setelah empat gajah sumatera dilibatkan di tengah penanganan dampak bencana hidrometeorologi di Aceh.
Gajah-gajah dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree di Kabupaten Aceh Besar dikerahkan pada awal Desember 2025 untuk membersihkan batang-batang pohon sisa dampak bencana. Hal ini menjadi ironi karena mereka membersihkan hasil dari kerusakan habitatnya (Kompas, 10/12/2025).
Keputusan pemerintah setempat untuk memberdayakan hewan besar ini di tengah keterbatasan alat berat menggertak publik. Keresahan ini tecermin dari ramainya percakapan warganet di media sosial.
Pantauan Kompas di platform X sepanjang 9 Juni hingga 28 Desember 2025 mencatat lonjakan tajam obrolan terkait gajah sumatera pada November hingga Desember.
Secara keseluruhan, sekitar 77 persen dari 1.005 percakapan sejak awal Juni terkonsentrasi hanya dalam dua bulan terakhir tahun ini. Percakapan tersebut mayoritas disampaikan warga biasa (59 persen), media (38 persen), dan pemerintah (2,2 persen).
Dari sisi tema, deforestasi, hilangnya habitat, dan bencana alam mendominasi percakapan. Topik ini muncul dalam 564 unggahan (56,1 persen) dari keseluruhan percakapan. Tema kematian gajah menyusul dengan 151 unggahan (15 persen).
Sementara itu, narasi yang lebih ringan—seperti kelucuan gajah (3,5 persen), wisata gajah (3,3 persen), dan kelahiran gajah (2,6 persen)—hanya muncul sesekali. Hampir seperlima unggahan lainnya tergolong tidak relevan. Angka-angka ini menunjukkan bahwa empati publik bergerak seiring meningkatnya kesadaran akan ancaman nyata yang dihadapi gajah sumatera.
Dalam situasi inilah taman nasional dan pusat latihan gajah memegang peran krusial. Bukan hanya sebagai tempat perlindungan, melainkan juga sebagai tempat edukasi. Di era digital, perjumpaan itu tidak selalu terjadi secara fisik. Media sosial menjadi jendela baru yang memperlihatkan kehidupan gajah.
Di balik konten yang viral itu, ada kerja panjang yang jarang disorot. Salah satunya dijalani Khamdani atau Dani, mahout gajah di Pusat Latihan Gajah (PLG) Way Kambas, Lampung.
Selama 31 tahun, Dani mengabdikan hidupnya untuk merawat gajah. Berasal dari Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur, tak jauh dari Taman Nasional Way Kambas, sejak kecil ia akrab dengan cerita gajah yang keluar hutan dan memasuki lahan warga. Pengalaman itu membuatnya bergabung sebagai mahout pada 1994.
”Awalnya saya mengira pekerjaan ini hanya menunggang gajah. Ternyata tugas mahout jauh lebih luas: merawat, menjinakkan, sekaligus menangani konflik gajah liar dengan manusia,” katanya pada Kompas, Rabu (10/12/2025). Hingga kini, ia masih berstatus mahout honorer dan direncanakan diangkat menjadi PNS pada 2026.
Selama lebih dari tiga dekade, Dani telah merawat empat gajah. Yang paling lama bersamanya adalah Rini, gajah betina yang ia rawat sejak 2002 hingga mati pada 2015. Rini mati di usia hampir 50 tahun karena tumor yang tumbuh di dinding anusnya.
Kini, ia menangani Sugeng, gajah yang diasuhnya sejak usia tiga tahun setelah dievakuasi karena ditinggal kelompoknya akibat malanutrisi. Bagi Dani, membangun hubungan dengan gajah sejatinya sederhana. ”Kita harus punya rasa kasih sayang dan memahami karakter satwa itu. Gajah itu peka, dia tahu mana orang yang tulus dan mana yang tidak,” kata pria 51 tahun itu.
Pengalaman menjadi mahout dirasakan Dani perlahan berubah di era digital. Mahout yang ikut bertugas memberikan edukasi mengenai gajah kepada masyarakat tidak lagi terbatas pada kegiatan luring. Semakin mudahnya orang menyebarkan informasi melalui internet dimanfaatkan lembaga pusat konservasi hingga mahout untuk mengedukasi masyarakat.
Dani pun ikut beradaptasi. Dalam waktu kurang dari sebulan, ia rutin membuat konten melalui siaran langsung di akun media sosial, biasanya pada sore hari. Hal ini kadang bukan perkara mudah. Di tengah pekerjaan sehari-hari bersama gajah di alam, ia harus lihai membuat konten dan menjaga hubungan dengan warganet. Bonus seperti hadiah daring dari penonton, ia gunakan untuk membeli pisang bagi gajah.
”Kegiatan edukasi sekarang justru jadi lebih mudah. Dulu kita terbatas memberikan informasi kepada masyarakat. Di era digital, edukasi bisa berlanjut terus. Setelah mereka pulang, mereka masih bisa bertanya, menonton ulang, dan menyebarkan informasi ke orang lain,” katanya.
Perhatian masyarakat pada konservasi gajah yang meningkat di era media sosial sayangnya masih diikuti ancaman keberlanjutan gajah dan habitatnya. Bagi mahout, terbatasnya hutan membuat gajah harus disediakan makanan lebih dari luar hutan. Pasalnya, gajah membutuhkan pakan beragam, seperti daun, ranting, rumput, buah, dan kulit kayu.
”Dulu, kebutuhan itu mudah terpenuhi ketika hutan masih luas. Kini, pemenuhannya menuntut kerja ekstra. Jika makanan gajah tidak cukup, gajah bisa stres dan mengalami gangguan pertumbuhan,” ucapnya.
Dalam kondisi ini, Dani berharap pemerintah bisa lebih perhatian pada kondisi hutan alami di Indonesia. Ia berharap pemerintah serius mengembalikan ruang hidup gajah dengan memulihkan kawasan hutan.
Lonjakan perhatian publik pada akhir 2025 mungkin bersifat musiman. Namun, bagi Dani, perhatian itu adalah harapan bagi keberlanjutan lingkungan dan gajah.




