FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Sutradara film Dirty Vote, Dandhy Laksono, angkat suara terkait dugaan perampasan ponsel milik seorang wartawan oleh oknum TNI saat merekam aksi kekerasan aparat di Aceh Utara.
Dandhy menegaskan, tindakan tersebut sebagai perbuatan kriminal dan bertentangan dengan Undang-Undang Pers.
Dikatakan Dandhy, kerja jurnalistik dilindungi secara tegas oleh hukum.
Ia menyebut, tidak ada alasan apa pun bagi aparat untuk menghalangi atau menghambat tugas wartawan di lapangan.
“Kriminal,” ucap Dandhy di X @Dandhy_Laksono (30/12/2025).
Ia kemudian mengingatkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dandhy menerangkan, Pasal 4 UU Pers secara jelas menjamin kemerdekaan pers dalam menjalankan tugasnya.
“UU Pers, pasal 4, pers tidak boleh disensor, dibredel, atau dilarang, serta berhak mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi,” Dandhy menuturkan.
Bukan hanya itu, Dandhy juga menyinggung ancaman pidana bagi siapa pun yang menghalangi kerja pers.
Dandhy bilang, Pasal 18 UU Pers mengatur sanksi tegas terhadap pelanggaran tersebut.
“Pasal 18, setiap orang yang menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 dapat dipidana penjara 2 tahun atau denda Rp500 juta,” tandasnya.
Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lhokseumawe melayangkan kecaman keras atas tindakan arogansi, kekerasan, dan intimidasi yang diduga dilakukan oknum anggota TNI terhadap seorang wartawan saat menjalankan tugas jurnalistik di Aceh Utara, Kamis (25/12/2025).
Korban dalam peristiwa tersebut adalah Muhammad Fazil, Koordinator Divisi Advokasi AJI Lhokseumawe. Insiden terjadi ketika Fazil melakukan peliputan aksi damai di depan Kantor Bupati Aceh Utara, Landing, Lhoksukon.
Aksi tersebut digelar untuk mendesak pemerintah Indonesia menetapkan status bencana nasional menyusul banjir bandang yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh.
Saat menjalankan tugas peliputan, Fazil merekam dugaan tindakan kekerasan aparat terhadap massa aksi.
AJI menegaskan, perekaman tersebut merupakan bagian sah dari kerja jurnalistik yang dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Oleh karena itu, aktivitas tersebut tidak dapat diintervensi, disensor, maupun dirampas oleh pihak mana pun.
Namun dalam proses tersebut, seorang anggota TNI mendatangi Fazil dan memaksanya untuk menghapus video rekaman.
Fazil telah menjelaskan bahwa video tersebut belum dipublikasikan dan masih merupakan bagian dari proses kerja jurnalistik. Setelah itu, aparat tersebut sempat meninggalkan lokasi.
Tidak berselang lama, anggota TNI lain yang diidentifikasi berinisial Praka J kembali mendatangi Fazil.
Oknum tersebut secara paksa berupaya merampas telepon genggam milik Fazil, bahkan disertai ancaman terbuka akan melempar ponsel tersebut jika video tidak dihapus.
Ketua AJI Kota Lhokseumawe, Zikri Maulana, mengatakan bahwa tindakan tersebut sebagai bentuk intimidasi serius dan penyalahgunaan kewenangan aparat bersenjata terhadap warga sipil.
“Tindakan pemaksaan ini menunjukkan ketidakpahaman aparat terhadap hukum pers dan kebebasan berekspresi,” kata Zikri.
Akibat insiden tarik-menarik tersebut, telepon genggam milik Fazil mengalami kerusakan hingga tidak dapat digunakan.
(Muhsin/fajar)




/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fimages%2F2025%2F12%2F29%2F8a9863f554b903a0864ce43bdeab39b4-ChatGPT_Image_Dec_29_2025_04_36_08_PM.png)