Misofonia, Saat Suara yang Tak Berbahaya Terasa Menakutkan

kompas.id
3 jam lalu
Cover Berita

Musim libur panjang seperti saat ini bagi sebagian orang adalah saatnya beristirahat dan bersenang-senang. Inilah waktu yang tepat untuk berekreasi dan berkumpul bersama keluarga dan teman. Namun, bagi penderita misofonia, momen ini justru menjadi siksaan bagi mereka karena memaparkan mereka dengan sumber-sumber bunyi yang membuat tidak nyaman dan bisa memicu kemarahan.

Misofonia adalah gangguan penurunan toleransi seseorang terhadap suara-suara tertentu yang dihasilkan dari gerakan mulut, tenggorokan, hingga gerakan wajah orang lain. Selain itu, suara televisi, radio, hingga perangkat elektronik dan perabotan rumah tangga tertentu juga bisa memicu gangguan. Toleransi yang rendah itu bisa memicu rasa marah, cemas, hingga jijik yang kuat, bahkan berlebihan, hingga sulit untuk dikendalikan.

Sumber suara yang membuat tidak nyaman dan bisa memicu kecemasan itu bisa berupa suara mengunyah makanan, mengecap bibir, menyeruput minuman, hingga suara menelan atau meneguk minuman dengan keras. Bisa juga suara dengkur, napas berat, sampai suara mengendus atau melepaskan napas dengan kencang. Suara deham, batuk, hingga ciuman yang keras juga bisa mengganggu.

Baca JugaPeduli Telinga dan Pendengaran

Ada pula suara bunyi detik jam analog, suara orang mengetuk-ngetuk benda secara intens, menghentak-hentakkan kaki, dering telepon, hingga gemerisik kertas atau plastik yang diremas. Bisa juga bunyi tetesan air keran yang tidak tertutup rapat, suara klik-klik pulpen yang ditekan berkali-kali, denting suara yang muncul saat sendok dan garpu beradu dengan piring, hingga suara siraman air pada toilet (flush). Bahkan, suara binatang pun bisa memicu kecemasan.

Liburan yang menekan akibat paparan suasa-suara yang memicu kecemasan itulah yang dialami Lottie Doyle (23), perempuan asal Inggris. Ia menderita misofonia sejak umur 16 tahun dan sejak itu momen liburan senantiasa menjadi saat-saat yang sungguh “luar biasa”.

“Rasa panik bisa muncul tiba-tiba, seluruh tubuh menegang dan saya merasa berasa dalam kondisi berbahaya hingga harus mengendalikan suara-suara itu,” katanya seperti ditulis BBC, 24 Desember 2025.

Untuk mencegah serangan panik dan kecemasan yang bisa muncul sewaktu-waktu, dia menggunakan penyumbat telinga, terutama saat makan malam bersama. Dia tidak bisa meninggalkan makan bersama karena kesempatan itu yang dia tunggu-tunggu walau menantang secara fisik dan mental.

Baca Juga”Sound Horeg” dan Kebisingan yang Memicu Serangan Jantung

Meski keluarganya menyadari gangguan yang dia alami, dia berusaha membuat keluarganya tetap nyaman dengan kondisinya. Orang yang tidak mengenal dirinya akan dengan cepat menuding penderita misofonia sebagai individu yang berlebihan dan mempersulit diri. Namun, dia memahami bahwa menjelaskan apa itu misofonia pada orang yang tidak pernah mengalaminya akan sangat sulit.

“Rasanya seperti amarah yang tak terkendali menghampiri saya, yang terasa memalukan, hingga memicu cemas dan bisa membuat saya menangis,” ujar Doyle.

Karakteristik

Misofonia, seperti dikutip dari situs lembaga penelitian dan layanan medis terkemuka di Amerika Serikar, Cleveland Clinic, 20 Juni 2023, bisa memengaruhi setiap orang dengan cara berbeda. Sebagian orang mungkin hanya memiliki ketakutan terhadap satu jenis suara saja, tetapi sebagian yang lain bisa mempunyai kecemasan terhadap beberapa jenis suara.

Reaksi setiap individu pun berbeda, dari ringan yang tidak bisa mengendalikan emosi mereka tetapi mampu mengontrol respon mereka hingga yang berat yaitu tidak dapat mengendalikan emosi dan respon mereka sekaligus sehingga bereaksi secara impulsif. Bahkan, pada kasus yang parah, mereka tidak dapat melakukan hal-hal tertentu atau berada di lingkungan tertentu.

Studi peneliti King’s College London dan Universitas Oxford Inggris yang dipimpin Silia Vitoratau pada 2023 dan terbit di jurnal PLOS ONE menemukan, 18,4 persen penduduk Inggris mengalami misofonia. Sementara prevalensi di AS mencapai 19,9 persen (2017) dan di Turki 12,8 persen. Prevalensi ini bisa berubah karena definisi misofonia belum kukuh.

Perempuan lebih rentan mengalami misofonia, dengan jumlah bervariasi 55-83 persen. Gangguan ini bisa berkembang pada rentang usia berapa pun, namun studi menunjukkan potensi kemunculan terbesar terjadi ssejak usia remaja awal.

Gejala misofonia bisa dilihat dari reaksi seseorang saat suara pemicu itu muncul. Saat mendengar bunyi yang “mengancam”, mereka secara naluriah akan berusaha menghentikan suara tersebut meski sejatinya suara itu tidak berbahaya. Dari sini muncullah reaksi fight or flight alias “lawan atau lari”.

Baca JugaKebisingan Membikin Pekak Telinga

Secara emosional, gejala yang muncul biasanya berupa berbagai kondisi iritasi emosi, seperti perasaan jengkel, cemas, jijik, hingga takut yang bisa cepat berubah menjadi kemarahan dan murka.

Sementara tubuh akan berada dalam mode perlindungan diri saat suara yang mengganggu itu muncul. Respon tubuh ini mirip dengan reaksi tubuh saat berada dalam situasi berbahaya atau menakutkan. Dalam kondisi itu, tekanan darah meningkat, rasa sesak atau tertekan di dada, merinding, hingga peningkatan detak jantung.

Perempuan lebih rentan mengalami misofonia, dengan jumlah bervariasi antara 55-83 persen.

Sedangkan perilaku atau tindakan mereka akan didorong oleh impuls atau insting yang membuat mereka tidak bisa mengendalikan sikapnya. Mereka bisa berteriak, bahkan bisa melakukan kekerasan terhadap benda maupun orang lain.

Guna mencegah munculnya perilaku yang tidak terkendali, maka jika memungkinkan, penderita berusaha menghentikan suara tersebut. Jika tidak memungkinkan, maka menghindari situasi atau lokasi tempat munculnya sumber suara ke tempat yang tidak ada gangguan suara lebih diutamakan.

Pemicu

Hingga kini, para ahli belum mengetahui apa penyebab misofonia. Akan tetapi, kondisi itu diduga merupakan gabungan dari beberapa faktor, meliputi perbedaan struktur otak, riwayat keluarga atau genetika, kondisi otak, kesehatan mental, hingga masalah pendengaran tertentu.

Penderita misofonia memiliki struktur dan aktivitas otak yang berbeda dengan orang yang tidak mengalami gangguan tersebut. Otak penderita misofonia pada bagian yang mengontrol cara seseorang memproses suara dan mengelola emosi biasanya memiliki lebih banyak koneksi dan lebih aktif.

Pendengaran dan emosi merupakan bagian dari sistem perlindungan diri yang menjadi bawaan otak. Dengan sistem ini, manusia berusaha mengaitkan antara marah, jijik, dan takut dengan situasi yang mengancam.

Baca JugaPenggunaan ”Cotton Bud” Tingkatkan Risiko Sumbatan Telinga

Orang dengan misofonia juga cenderung memiliki kondisi neurodivergensi dan gangguan otak lain, seperti gangguan perhatian/hiperaktivitas (ADHD), gangguan spektrum autisme, dan sindrom Tourette. Mereka juga banyak yang memiliki masalah pendengaran, seperti gangguan pendengaran, tinnitus, atau hiperakusis.

Mereka umumnya juga memiliki masalah kesehatan mental, mulai dari gangguan depresi mayor (MDD), gangguan obsesif-kompulsif (OCD), gangguan stres pascatrauma (PTSD), serta gangguan kepribadian ambang (BPD). Diperkirakan 24 persen penderita misofonia juga memiliki gangguan OCD.

Adaptasi

Sedihnya, gangguan ini bisa memengaruhi penderitanya seumur hidup. Reaksi mereka terhadap suara yang memicu kecemasan juga bisa memburuk seiring waktu dan bisa mengembangkan reaksi terhadap sumber baru suara pemicu ketakutan. Tak hanya itu, penderita misofonia berat dan gangguan mental lain memiliki risiko lebih tinggi melakukan tindakan menyakiti diri sendiri dan memiliki pikiran untuk bunuh diri.

Meski hingga kini misofonia belum masuk dalam buku Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental-5 (DSM-5), Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) pada 2022 telah membentuk komite ahli untuk meneliti, mendiagnosis, dan membangun pengobatan standar gangguan ini.

Sementara menunggu diagnosis dan pengobatan misofonia tersusun, psikolog klinis Inggris Jane Gregory memberikan sejumlah tips dan trik untuk mengatasi jika ancaman suara yang menakutkan itu datang. Salah satunya, membayangkan sesuatu hal yang lain. Misal, saat seseorang menyeruput kopi panas dengan keras dari cangkirnya, maka bayangkan itu adalah suara air yang mengalir dari wastafel.

“Cara ini akan mengajarkan otak bahwa suara ’mengancam’ yang Anda dengarkan tersebut tidak berbahaya,” katanya.

Tips lainnya, meniru suara yang mengganggu dan berusaha menyainginya. Jika ada seseorang mengunyah dengan keras, maka ikutlah mengunyah dengan keras. Bahkan, kalau mungkin lebih keras dari suara asal. Dengan begitu, alih-alih suara yang “mengancam” itu dipaksakan kepada penderita, mereka justru ikut memicu suara tersebut. Upaya ini akan mengalihkan perhatian otak orang dengan misofonia agar fokus pada sesuatu hal dan membuat mereka merasa kurang terpengaruh.

Baca JugaPenggunaan Penyuara Telinga yang Tidak Tepat Sebabkan Gangguan Pendengaran

Teknik lainnya adalah dengan membuat skenario atau cerita kecil di balik suara “mengancam” yang dikeluarkan orang lain. Saat seseorang mengendus dengan kuat, bisa jadi dia sedang tidak enak badan atau sedang kesal. Melalui cerita lain yang dibangun, maka penderita misofonia akan mengubah makna dari suara yang mengganggu tersebut.

Walau suaranya sama, interprestasi yang berbeda itu akan menggeser makna sesuatu hal dari yang semula menjengkelkan menjadi lebih netral.

Misofonia memang tidak berbahaya dan mengancam jiwa, namun kondisi ini sangat mengganggu dan berdampak negatif terhadap kesehatan mental, hubungan sosial, dan kesejahteraan penderitanya. Karena pengobatannya belum terstandar, selama ini banyak penderita misofonia diobati gangguan mental yang menyertainya, seperti MDD maupun OCD.

Hal yang pasti, gangguan ini sangat memengaruhi rutinitas dan aktivitas sehari-hari penderitanya. Untuk meningkatkan kualitas hidup penderita misofonia, maka belajar beradaptasi saat gangguan muncul hingga melakukan langkah-langkah mitigasi bisa dilakukan. Penggunaan penyumbat telinga atau penyuara jemala (headphone) bisa membantu mengurangi potensi masuknya suara mengganggu dari luar.

Dengan pengelolaan misofonia yang baik, membatasi masuknya sumber suara pemicu, dan mengontrol reaksi mereka, maka penderita misofonia bisa lebih fokus terhadap hal-hal yang disukai dan mengurangi kekhawatiran akibat mendengar suara yang dibenci.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Emiten Prajogo (CUAN) Berencana Caplok Saham Emiten Hapsoro (SINI)
• 11 jam laluwartaekonomi.co.id
thumb
Pemerintah Akan Lanjutkan Rencana Beras Satu Harga Tahun Depan
• 1 jam lalukumparan.com
thumb
LaLiga Award 2025: Barcelona dominasi peraih penghargaan
• 18 jam laluantaranews.com
thumb
Pemprov DKI Larang Kembang Api Saat Pergantian Malam Tahun Baru 2026
• 11 jam lalutvrinews.com
thumb
Jelang Tahun Baru, Dua Menteri Cek Pasokan Bapok di Pasar Kramat Jati 
• 2 jam lalueranasional.com
Berhasil disimpan.