FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Koordinator Nasional Jatam, Melki Nahar menyebut apa yang terjadi di Pulau Sumatera adalah bencana yang memang dirancang oleh pemerintah itu sendiri. Dia menolak frasa bahwa ini bencana alam.
Data Jatam menunjukkan adanya hampir 2.000 izin tambang dengan luas konsesi lebih dari 2,5 juta hektare, termasuk 546 izin yang berada di kawasan rawan bencana.
“Hampir seluruh kabupaten/kota di Sumatera dikepung aktivitas industri ekstraktif yang berdiri atas izin negara,” ungkap Melki dikutip dari unggahan YouTube Akbar Faizal Uncensored berjudul “Sumatera Menangis , Jatam & Walhi Buka Fakta. 2000-an Izin Tambang hancurkan Gunung & Hutan,” Selasa (30/12).
Menurut Melki, distribusi izin yang masif ini menjadi bukti kebijakan yang abai terhadap risiko ekologis.
“Total jumlah izin di sektor tambang saja hampir 2.000 izi. Luasan konsesinya lebih dari 2.500.000 hektare,” ucapnya.
Ia menegaskan situasi tersebut telah mempersempit ruang kelola masyarakat dan mempercepat hilangnya kawasan hutan.
Melki menilai pemerintah gagal menunjukkan sikap tegas dalam merespons bencana.
Ia menyebut negara tengah berada dalam pusaran konflik kepentingan karena banyak pejabat dan anggota legislatif berasal dari latar belakang bisnis.
“Problemnya ini enggak akan bisa berjalan karena konflik kepentingannya yang besa. Kabinet awal Prabowo 34% dari afiliasi bisnis, sedangkan DPR 63% dari latar belakang pebisnis,” ungkapnya.
Senada dengan Jatam, Kepala Divisi Kajian dan Izin Lingkungan Walhi, Puspa Dewi, menyatakan akar persoalan terletak pada tumpang tindih kewenangan antara kementerian.
Menurutnya, ESDM mengobral izin tambang, KLHK melepas kawasan hutan, sementara ATR/BPN mengubah tata ruang tanpa koordinasi menyeluruh.
“Kewenangan lintas kementerian ini berjalan tanpa panduan bersam. ESDM obral izin, kehutanan lepas kawasan, ATR-BPN sangat vital karena soal tata ruang,” tuturnya. (Pram/fajar)





