MA Pertimbangkan Usulan KY soal Sanksi bagi Hakim Pengadil Tom Lembong

kompas.id
5 jam lalu
Cover Berita

JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Agung akan mempertimbangkan rekomendasi Komisi Yudisial, yakni sanksi 6 bulan nonpalu bagi tiga hakim yang menangani perkara mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong. Selanjutnya, sesuai dengan aturan yang berlaku, MA akan melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran disilplin dan profesionalitas hakim tersebut bersama dengan KY.

Ketua MA Sunarto menjelaskan, Pasal 16 Peraturan Bersama Ketua MA dan Ketua KY Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 mengatur, pemeriksaan atas dugaan pelanggaran prinsip bersidiplin tinggi dan profesional dilakukan oleh MA atau oleh MA bersama KY dalam hal ada usulan dari KY.

Oleh karena itu, kata Sunarto, jika rekomendasi KY itu merupakan pengaduan dari teknis yudisial atau aspek profesionalisme hakim, maka pemeriksaan harus dilakukan bersama-sama.

“Kalau KY akan melakukan pemeriksaan dugaan pelanggaran yang bersifat teknis judicial harus bekerja sama dengan MA melakukan pemeriksaan bersama. Mengapa? Karena kekeliruan hakim yang terkait dengan teknis yudisial itu tidak bisa diubah oleh hakim itu sendiri, walaupun hakimnya disanksi bagaimanapun hakim itu tidak bisa mengubah putusan yang telah diucapkan dan telah ditanda tanganinya,” tutur Sunarto saat sesi tanya jawab dalam acara Refleksi Akhir Tahun 2025 di Gedung MA, Jakarta, Selasa (30/12/2025).

Walau demikian, Sunarto menegaskan komitmen MA untuk mempertimbangkan rekomendasi KY, yakni sanksi bagi tiga hakim yang mengadili perkara Tom Lembong. Apa pun keputusan MA nantinya akan ditentukan di kemudian hari oleh internal MA.

“Sekali lagi rekomendasi tersebut akan dipertimbangkan, apa nanti hasil pertimbangan Mahkamah Agung ya akan diputuskan kemudian,” katanya. 

Pada 8 Desember 2025, KY mengusulkan agar tiga hakim yang mengadili Tom Lembong dihukum nonpalu selama 6 bulan. Ketiganya, hakim Dennie Arsan Fatrika, Purwanto S Abdullah, dan Alfis Setiawan, tidak boleh mengadili perkara selama 6 bulan. 

Baca JugaHabis Abolisi Terbitlah Usulan Sanksi 6 Bulan Nonpalu bagi Hakim Pengadil Tom Lembong 

Putusan itu merupakan hasil kesepakatan dalam sidang pleno yang dihadiri para komisioner KY periode 2020-2025. Mereka adalah Amzulian Rifai selaku ketua merangkap anggota serta Siti Nurdjanah, Mukti Fajar Nur Dewata, M Taufiq HZ, dan Sukma Violetta masing-masing sebagai anggota.

Ketiga hakim pengadil Tom Lembong itu dinilai telah melanggar kode etik. Utamanya, ketentuan Angka 1 butir 1.1. (5) dan (7), Angka 4, Angka 8 dan Angka 10 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung (MA) dan Ketua KY. Ketiganya juga dinilai melanggar Pasal 5 Ayat (3) huruf b dan huruf c, Pasal 8, Pasal 12, dan Pasal 14 Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Sebelumnya, pada 19 Juli 2025, ketiga hakim tersebut telah menjatuhkan vonis 4 tahun 6 bulan penjara kepada Tom Lembong dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Namun, sebelum Tom Lembong menjalani hukuman yang dijatuhkan majelis hakim tersebut, Presiden Prabowo memutuskan memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan di era Presiden Joko Widodo itu. Dengan pemberian abolisi itu berarti Tom Lembong dibebaskan dari segala tuntutan dan hukuman.

Sunarto juga menyinggung alasan tim internal pengawas MA tidak memeriksa tiga hakim yang mengadili perkara Tom Lembong. Bahkan ia mempertanyakan kesalahan teknis apa yang telah dilakukan oleh para hakim tersebut sehingga harus diperiksa. 

Menurut Sunarto, penting untuk memahami batas kewenangan lembaga pengawas hakim serta prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang berlaku secara internasional. Pasal 15 dalam Peraturan Bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, juga spesifik menyatakan baik MA maupun KY tidak dapat menyatakan benar atau salahnya pertimbangan yuridis maupun substansi dari putusan seorang hakim.

“Kami pengadilan menegakkan proses hukum dan keadilan. Sedangkan hak konstitusi Presiden selaku kepala negara adalah memberikan abolisi, rehabilitasi, amnesti, atau grasi. Itu aspek kemanusiaan, jalurnya berbeda dengan proses peradilan yang berjalan dari jenjang terbawah," katanya. 

Oleh karena itu, Sunarto mengajak semua pihak untuk menghormati putusan pengadilan selama belum ada putusan hukum lain dengan tingkat yang lebih tinggi untuk membatalkan putusan tingkat pertama tersebut. 

“Kembali pada pertanyaan soal Pak Thomas Lembong, apakah putusan hakim tingkat pertama dibatalkan atau tidak? Kalau tidak dibatalkan, mari kita belajar menghormati proses hukum. Kita anggap putusan itu benar sampai dibatalkan,” tuturnya.

Baca JugaRekor Baru, MA Putus Lebih dari 30.000 Perkara Selama 2024

Dalam kegiatan itu, Sunarto juga memaparkan hasil tindak lanjut MA terhadap usulan penjatuhan sanksi dari Komisi Yudisial. Dari 36 usulan Laporan Hasil Pemeriksaan dengan jumlah hakim yang diusulkan dikenai sanksi sebanyak 61 orang, pihaknya sudah menjatuhkan sanksi disiplin kepada 12 hakim. Sementara itu ada 27 orang hakim yang tidak dapat dijatuhi sanksi karena materi pengaduan berkaitan dengan teknis yudisial.

“Daru 36 berkas usulan, sebanyak 9 berkas  telah ditindaklanjuti, 17 berkas tidak dapat ditindaklanjuti, dan 10 berkas masih dalam proses tindak lanjut,” ujar Sunarto. 

Sepanjang 2025, MA juga telah menerima pengaduan melalui Badan Pengawas MA sebanyak 5.550 laporan. Dari jumlah tersebut, 4.139 pengaduan atau 74,41 persen selesai ditangani dan sisanya 1.420 pengaduan masih dalam proses penanganan.

“Adapun jumlah hakim dan aparatur peradilan yang menerima sanksi disiplin sepanjang tahun 2025 berjumlah sebanyak 192 orang, dengan rincian 85 orang hakim dan 107 aparatur pengadilan. Jenis sanksi disiplin yang  dijatuhkan bervariasi, mulai dari yang mendapat sanksi berat sebanyak 45 orang, sanksi sedang 46 orang dan sanksi ringan sebanyak 101 orang,” katanya.

Korupsi yudisial

Pada kesempatan itu, Sunarto juga mengakui bahwa integritas masih menjadi tantangan utama untuk dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi peradilan. Kepercayaan tersebut hanya dapat tumbuh, apabila peradilan secara konsisten menegakkan integritas, independensi, dan profesionalitas, baik dalam putusan maupun perilaku aparatur.

Menurut Sunarto, penyimpangan dan korupsi yudisial itu tidak lahir secara tunggal, melainkan dipicu oleh tiga faktor utama, yaitu kebutuhan (needs), kesempatan (chance), dan keserakahan (greed). Ketiga faktor ini harus dipahami secara  komprehensif, agar upaya pencegahan dan penindakan dapat dilakukan secara tepat, terukur, dan berkeadilan.

Karena itu, dalam mengatasi penyimpangan yang bersumber dari kebutuhan, MA  secara konsisten mengupayakan peningkatan kesejahteraan hakim dan aparatur peradilan. Kebijakan ini dilandasi keyakinan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar dan jaminan kesejahteraan merupakan pondasi penting bagi tumbuhnya independensi serta keteguhan integritas dalam menjalankan tugas yudisial.

Untuk menekan korupsi yudisial terutama yang disebabkan kesempatan dan  keserakahan, MA akan memperkuat sistem pengawasan yang terintegrasi, termasuk penerapan Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP). Tak hanya itu, Mahkamah Agung juga akan bersikap tanpa kompromi. 

“Penindakan tegas, ibarat amputasi, menjadi pilihan yang tidak terelakkan demim enyelamatkan tubuh peradilan secara keseluruhan, dan menjaga  kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan,” kata Sunarto. 

Tercatat sepanjang 2025 kasus korupsi hakim pengadilan masih terjadi. Setidaknya ada lima hakim yang terjerat korupsi. Mereka adalah bekas Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, bekas Ketua PN Surabaya Rudi Suparmono dan tiga hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom.

Adapun berdasarkan pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang 2011-2024, terdapat 29 hakim yang ditetapkan sebagai tersangka suap. Mereka diduga menerima suap untuk mengatur hasil putusan dengan nilai mencapai Rp 107,9 miliar.

Penyelesaian Perkara MA

Pada kegiatan Refleksi Akhir Tahun 2025 itu, Sunarto juga memaparkan penyelesaian perkara kasasi dan peninjauan kembali sepanjang 2025. Sejak awal tahun hingga 29 Desember 2025, sebanyak 48 hakim agung telah berhasil memutus 37.865 perkara dari total 38.147 perkara atau setara dengan 99,26 persen dari seluruh beban perkara yang ada.

Secara lebih rinci, jumlah perkara yang diterima pada 2025 itu naik sebesar 22,61 persen dari tahun sebelumnya berjumlah 31.112 perkara. Adapun jumlah perkara yang diputus meningkat 22,5  persen dibandingkan dengan 2024 yang memutus 30.908 perkara.

Dalam hal minutasi perkara, menurut Sunarto, MA juga mencatatkan adanya peningkatan kinerja. Sepanjang 2025, MA telah meminutasi dan mengirimkan salinan putusan ke pengadilan pengaju sebanyak 36.561 perkara. ”Kinerja minutasi tahun ini meningkat 17,33 persen dibandingkan dengan 2024 yang berjumlah 31.162  perkara,” kata Sunarto.

Dari jumlah 35.373 perkara yang diselesaikan pada 2025, sebanyak 96,52 persen atau 35.107 perkara diselesaikan secara tepat waktu, yaitu kurang dari tiga bulan sejak perkara diputus. MA berhasil mempertahankan ketepatan waktu minutasi di atas 90 persen  sejak tahun 2023.

Sekretaris MA Sugiyanto saat menyampaikan laporan tahunan menuturkan bahwa kegiatan refleksi akhir tahun bukan dimaknai sebagai ajang seremoni tahunan, melainkan komitmen institusi peradilan tertinggi dalam membangun pengadilan yang bermartabat sebagai pilar negara hukum yang berdaulat

Selain sebagai sarana evaluasi kinerja MA dan badan peradilan di sawahnya selama 2025, kegiatan ini juga sekaligus mengidentifikasi tantangan yang akan dihadapi Mahkamah Agung ke depan.

“Refleksi akhir tahun 2025 menjadi ruang untuk menimbang capaian yang telah diraih sekaligus menyadari tantangan yang masih harus dihadapi dalam upaya memperkuat peran Mahkamah Agung sebagai penjaga keadilan dan pilar negara hukum,” katanya. 

Selain menyampaikan laporan hasil kinerja MA selama 2025, juga terdapat Anugerah Mahkamah Agung  2025 terhadap institusi peradilan yang diberikan dalam lima kategori, meliputi implementasi e-Litigasi, gugatan sederhana, mediasi di pengadilan, layanan eksekusi putusan, serta sistem integrasi administrasi perkara pidana melalui e-Berpadu.

Terdapat pula Lomba Foto Peradilan dibuka untuk tiga kategori peserta, yakni Warga Peradilan, Masyarakat Umum dan Pelajar, serta Wartawan/Jurnalis, sebagai bagian dari upaya mendekatkan wajah peradilan kepada publik.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Jalan Surabaya, Lorong Waktu Barang Antik yang Bertahan di Tengah Sepinya Pembeli
• 9 jam lalukompas.com
thumb
Menko PMK: Lebih dari Separuh Wilayah Sumatra Masuk Masa Transisi
• 12 jam laluidntimes.com
thumb
PDIP Kritik Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD: Rakyat Bisa Marah Hak Demokrasinya Diambil
• 9 jam laluliputan6.com
thumb
Mentan Targetkan Penyerapan Beras hingga 2,5 Juta Ton pada Panen Raya 2026
• 13 jam laluidxchannel.com
thumb
Kompolnas Desak Polisi Segera Ungkap Pembunuhan Pensiunan Guru di Talago
• 4 jam lalumediaindonesia.com
Berhasil disimpan.