JAKARTA, KOMPAS – Selama beberapa tahun terakhir, berbagai kebijakan dipandang belum berdampak signifikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Bahkan, dalam satu tahun ini masih banyak catatan seperti terkait pelaksanaan tes kemampuan akademik, pendidikan karakter, hingga lingkungan sekolah yang masih rawan kekerasan.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyampaikan Catatan Akhir Tahun Rapor Pendidikan 2025 di Jakarta, Selasa (30/12/2025). JPPI menilai, sejumlah kebijakan belum berdampak signifikan, salah satunya pelaksanaan tes kemampuan akademik (TKA).
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengemukakan, TKA dianggap buruk bukan karena Ujian Nasional (UN) dihapus. Faktanya, selama lima tahun terakhir UN tetap ada, tetapi nilainya terus merosot dari tahun ke tahun. Artinya, tidak ada korelasi bahwa UN meningkatkan prestasi anak dalam konteks capaian akademik.
“Ketika sekarang ramai TKA disebut jeblok, menurut saya tidak. Memang selama ini nilainya segitu. Tidak ada yang mengejutkan. Bahkan, skor literasi dan numerasi kita termasuk yang terburuk di Asia Tenggara. Jadi skor TKA maupun literasi-numerasi sama saja, tidak ada yang mengejutkan,” tuturnya.
Catatan kedua yakni terkait pendidikan karakter. Berdasarkan Survei Penilaian Integritas Sektor Pendidikan yang diumumkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada pertengahan 2025, skor integritas pendidikan berada di angka 69, setelah sempat naik pada 2023 namun kembali menurun pada 2024.
Dalam tangga kesempurnaan karakter yang terdiri atas lima level, sektor pendidikan Indonesia tercatat tidak pernah beranjak dari level dua dengan rentang skor 62–72 sepanjang periode 2022–2024. Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya pendidikan karakter yang selama ini digaungkan belum berhasil membudaya dan masih bersifat seremonial.
Ubaid juga menyoroti kondisi lingkungan sekolah yang sampai sekarang masih rawan kekerasan. Berdasarkan pantauan dari tahun 2020 hingga 2025, jumlah kasus kekerasan di lingkungan pendidikan melonjak lebih dari 600 persen.
Kekerasan terjadi di sekolah, madrasah, pesantren, hingga kampus. Namun, mayoritas kasus atau 57 persen terjadi di sekolah. Adapun jenis kekerasan seksual mendominasi dengan 57 persen, disusul perundungan 22 persen, kekerasan fisik 18 persen, dan sisanya merupakan bentuk kekerasan lainnya.
Penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) sempat diharapkan mampu menekan angka kasus. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Dari 2023 ke 2024, jumlah kasus meningkat lebih dari 100 persen, dan pada 2025 kembali naik.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa satuan tugas pencegahan dan penanggulangan kekerasan yang dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten belum berjalan optimal, belum berperan, dan belum berfungsi secara efektif,” tutur Ubaid.
Aspek lainnya yang juga disoroti JPPI ialah kebijakan anggaran yang dinilai menggerus porsi pendidikan. Anggaran pendidikan yang seharusnya difokuskan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia justru dialihkan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Jika anggaran pendidikan terus digunakan untuk program di luar pendidikan, sektor pendidikan akan terus terguncang. Ini membawa kita pada titik lemah keempat, setelah persoalan akademik, karakter, dan lingkungan sekolah yang buruk, yaitu penyelewengan anggaran pendidikan,” kata Ubaid.
JPPI pun merekomendasikan agar pemerintah segera mengembalikan mandat konstitusi anggaran pendidikan. Presiden harus menghentikan penggunaan dana pendidikan untuk MBG. Di sisi lain, anggaran pendidikan perlu digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar pendidikan seperti sekolah gratis, kesejahteraan guru, hingga renovasi sekolah.
Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya pendidikan karakter yang selama ini digaungkan belum berhasil membudaya dan masih bersifat seremonial.
Selain itu, untuk mengatasi kekerasan di lingkungan sekolah, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah bersama pemerintah daerah harus menciptakan ekosistem sekolah ramah anak. Perlu juga memperkuat perspektif yang berkeadilan jender di satuan pendidikan.
Perwakilan perkumpulan Suara Orangtua Peduli (SOP) Sandra Pratiwi mengatakan, berdasarkan pengalamannya sebagai orangtua, kebijakan sistem penerimaan murid baru (SPMB) membuat jalur penerimaan siswa tidak semata bertumpu pada faktor usia atau domisili, melainkan juga mempertimbangkan capaian belajar anak melalui nilai rapor.
Sandra menuturkan, sebelum kebijakan tersebut diterapkan, banyak sekolah menengah atas harus menerima siswa dengan tingkat kedisiplinan dan kesiapan belajar yang rendah. Dengan adanya penilaian akademik yang lebih diperhitungkan, ia melihat perubahan positif, terutama dari sisi motivasi belajar dan kedisiplinan siswa.
Menurut dia, SPMB memberikan kepastian bahwa anak-anak dengan capaian belajar yang kuat tetap memiliki peluang masuk ke sekolah berkualitas, meskipun tidak diuntungkan oleh faktor usia atau zonasi.
Meski demikian, Sandra mengakui kebijakan ini tetap memiliki tantangan dan memunculkan pro dan kontra di kalangan orangtua. Ia berharap pemerintah terus menyempurnakan pelaksanaan SPMB agar benar-benar mencerminkan kemampuan akademik siswa dan menjamin keadilan dalam sistem penerimaan peserta didik.



/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2025%2F12%2F30%2Fae2b1cee-fed9-42a2-85c7-5ff637d73be7_jpeg.jpg)

