FAJAR, JAKARTA– Perkembangan teknologi tak hanya memberi dampak positif terhadap anak. Sebaliknya, rentan memberi pengaruh negatif ke anak yang notabene masih labil.
Seperti kasus di Medan, bocah SD berinisial AI yang menghujani ibu kandung 26 tikaman. Di balik kasus tersebut, ternyata adegan kekerasan yang dilakukan terinspirasi dari game online.
Kapolrestabes Medan Kombes Pol Calvijn Simanjuntak menjelaskan, AI selama ini sakit hati dengan tindakan ibu kandungnya yang menghapus game online di ponselnya.
“Jadi anak atau si adik sakit hati karena game online-nya dihapus,” kata Calvijn.
Selama ini, lanjutnya, AI kerap bermain game online Murder Mystery dan menonton serial Anime DC. Namun belakangan, korban menghapus game online dan serial anime tersebut.
“Dari situlah si AI termotivasi. Adik melihat game Murder Mystery pada season Kills Others menggunakan pisau. Dia juga menonton serial Anime Detektif Conan episode 271 pada saat adegan pembunuhan menggunakan pisau. Makanya A menggunakan pisau melakukan tindak pidananya,” paparnya.
Calvijn menjelaskan penyidik telah menetapkan AI sebagai anak yang berkonflik dengan hukum. Penanganan kasus ini dilakukan dengan mengedepankan sistem peradilan pidana anak.
Sekadar diketahui, peristiwa tersebut terjadi di kediaman mereka di Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan pada 10 Desember 2025. Namun, dari hasil pendalaman pihak kepolisian, beberapa fakta mencengangkan terungkap.
Polisi menemukan 26 tusukan di tubuh korban. Tak hanya itu, terduga pelaku juga sudah pernah merencanakan membunuh ibu pada November 2025, sebelum menghabisi sang ibu pada Desember 2025.
Menanggapi kasus tersebut, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian mmengatakan peristiwa tersebut harus menjadi peringatan serius bagi semua pihak.
Menurut dia, persoalan pengaruh konten digital terhadap anak tidak bisa lagi dipandang sebelah mata.
Menurut dia, kekerasan yang dilakukan anak-anak tak lahir secara tunggal dari game ataupun anime semata. Namun juga perlu dilihat sebagai akumulasi lemahnya pendampingan dan pengawasan.
“Game dan tontonan adalah medium, yang menjadi persoalan utama adalah absennya filter nilai, kontrol orang dewasa, serta ruang dialog bagi anak dalam memahami mana yang fiksi dan mana yang realitas,” ujarnya , kepada wartawan, Selasa 30 Desember 2025.
Ke depan, lanjutnya, harus ada pembenahan serius di tiga pihak. Orang tua harus lebih aktif mendampingi, membatasi, dan berdialog dengan anak terkait penggunaan gawai dan konten digital.
Selain itu, peran sekolah juga perlu memperkuat pendidikan karakter hingga kesehatan mental. Kemudian, penguatan literasi digital juga harus menjadi bagian integral kurikulum.
Sedangkan, dari sisi pemerintah harus memperketat pengawasan dan klasifikasi konten ramah anak, memperluas edukasi parenting digital, serta memastikan ekosistem pendidikan dan media benar-benar berpihak pada tumbuh kembang anak, bukan hanya pada aspek teknologi dan hiburan semata. (bs)




