Bisnis.com, CIREBON- Ancaman banjir bandang yang kembali menghantui wilayah Sumber, Kabupaten Cirebon, memunculkan sorotan tajam terhadap sikap pemerintah daerah dalam mengendalikan alih fungsi lahan dan pembangunan perumahan.
Meski banjir bandang baru pertama kali terjadi dalam sejarah wilayah tersebut, respons kebijakan yang diambil dinilai belum sepenuhnya tegas.
Wakil Bupati Cirebon, Agus Kurniawan Budiman, mengakui banjir bandang yang melanda Sumber beberapa waktu lalu dipicu oleh kombinasi persoalan struktural dan ekologis.
Berdasarkan hasil evaluasi awal pemerintah daerah, terdapat tiga faktor utama penyebab banjir, yakni aliran air kiriman dari wilayah hulu di Kabupaten Kuningan, maraknya pembangunan perumahan di kawasan resapan, serta rendahnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah yang berujung pada sedimentasi sungai.
“Seumur-umur baru kali ini Sumber mengalami banjir. Setelah kita evaluasi, ada tiga kendala utama. Pertama kiriman air dari Kuningan, kedua pembangunan perumahan, dan ketiga sedimentasi serta sampah di sungai,” ujar Agus saat ditemui di Sumber.
Namun di tengah pengakuan tersebut, sikap pemerintah daerah terkait izin pembangunan perumahan justru menimbulkan tanda tanya. Agus menyebutkan bahwa Pemkab Cirebon belum sepenuhnya menghentikan izin perumahan, melainkan hanya melakukan identifikasi dan verifikasi terhadap proyek-proyek yang belum mengantongi izin resmi.
“Kita akan mengidentifikasi perumahan mana saja yang sudah ada izinnya dan yang belum. Kalau yang sudah ada izin tentu tidak bisa serta-merta dihentikan,” katanya.
Pernyataan ini menegaskan, penghentian izin perumahan dilakukan secara parsial, bukan menyeluruh, meskipun banjir bandang kembali mengancam kawasan perkotaan. Padahal, Agus sendiri mengakui adanya perubahan fungsi lahan resapan air menjadi kawasan hunian yang memperparah risiko bencana.
Di sejumlah wilayah lain seperti Waled, banjir sebelumnya juga dipicu oleh kerusakan daerah hulu, penggundulan lahan, serta hilangnya vegetasi penahan air. Kondisi tersebut menunjukkan pola berulang yang seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah daerah untuk bertindak lebih tegas.
“Di hulunya sudah tidak ada pohon, resapan air berubah jadi perumahan. Ini jelas harus dievaluasi,” ujarnya.
Secara kebijakan, Pemprov Jawa Barat sebenarnya telah menginstruksikan agar izin pembangunan perumahan dikaji ulang dan ditunda hingga adanya kajian kebencanaan. Namun implementasi di tingkat daerah dinilai masih berhati-hati, bahkan cenderung kompromistis terhadap kepentingan investasi properti.
Agus menegaskan, pemerintah daerah akan melakukan koordinasi dengan wilayah hulu serta melakukan perbaikan secara bertahap. Namun, ia juga mengakui bahwa belum adanya infrastruktur penahan air di kawasan hulu menjadi salah satu kelemahan utama dalam pengendalian banjir.
“Kami akan koordinasi dengan wilayah hulu, karena salah satu kendalanya memang tidak ada penahan air di sana,” kata Agus.
Dari sisi ekonomi daerah, sikap setengah hati ini berpotensi menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang lebih besar di masa depan. Banjir tidak hanya merusak permukiman dan infrastruktur, tetapi juga mengganggu aktivitas ekonomi, meningkatkan beban anggaran daerah, serta memperbesar risiko kerugian publik.

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5051207/original/080163400_1734234398-pexels-bertellifotografia-29509460.jpg)



