Musim liburan Natal dan Tahun Baru (Nataru) selalu membawa lonjakan mobil dan kendaraan yang melintasi jalur-jalur utama menuju Solo dan Yogyakarta. Di tengah arus mudik dan kunjungan wisata, muncul pula fenomena yang mengkhawatirkan, yakni praktik juru parkir dan pengatur lalu lintas yang dilakukan secara asal-asalan.
Kehadiran mereka sebenarnya penting untuk mengatur arus, menjaga ketertiban, dan memberi rasa aman bagi pengunjung. Namun ketika profesi ini dijalankan tanpa standar, tanpa keterampilan, dan tanpa tanggung jawab, dampaknya jauh melampaui sekadar ketidaknyamanan, ia berpotensi menimbulkan kerugian materi, kehilangan rasa aman, hingga kecelakaan fatal.
Salah satu masalah yang kerap muncul adalah praktik sewa parkir yang mahal dan tidak transparan. Di banyak titik strategis, tarif parkir mendadak melonjak saat permintaan tinggi. Ketidakteraturan ini membuka celah bagi praktik pungutan liar dan eksploitasi terhadap pemudik yang terburu-buru.
Ketika terjadi kehilangan atau pencurian di area parkir, korban seringkali bingung mencari pertanggungjawaban karena pengelolaan parkir yang tidak jelas. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap pengelolaan ruang publik menurun dan citra daerah yang seharusnya ramah wisata menjadi ternoda.
Lebih serius lagi adalah dampak keselamatan lalu lintas. Juru parkir yang tidak profesional seringkali mengabaikan prinsip dasar keselamatan, memperhatikan kecepatan kendaraan yang melintas, memperhitungkan jarak pengereman, dan menempatkan diri pada posisi yang tidak membahayakan pengguna jalan lain.
Alih-alih mengutamakan keselamatan, beberapa petugas justru terburu-buru melayani kendaraan yang memberi imbalan lebih besar, sehingga mereka melakukan manuver mendadak atau mengarahkan kendaraan tanpa memperhatikan kondisi sekitar. Hasilnya, pengendara lain yang sedang melaju kencang terkejut, melakukan pengereman mendadak, atau menghindar secara berbahaya, situasi inilah yang seringkali berujung pada benturan atau kecelakaan beruntun.
Kondisi semakin berisiko pada malam hari. Kurangnya penggunaan alat pelindung diri (APD) dan atribut keselamatan seperti rompi reflektif, lampu senter, atau rambu sementara membuat juru parkir hampir tak terlihat oleh pengendara.
Visibilitas yang menurun ditambah pergerakan kendaraan yang tiba-tiba menciptakan situasi panik di jalan. Tanpa penanda yang memadai, pengendara yang melintas tidak memiliki waktu reaksi yang cukup untuk menyesuaikan kecepatan atau mengubah jalur dengan aman. Ini bukan sekadar soal estetika atau kerapian, ini soal nyawa.
Ketika insiden terjadi, pola tanggung jawab seringkali mengkhawatirkan. Banyak juru parkir yang cenderung menghindar atau melepaskan tanggung jawab, bahkan menyalahkan korban atas kelalaian. Sikap ini memperumit proses penanganan kasus dan menghambat upaya pemulihan bagi korban.
Aparat penegak hukum dan pihak terkait harus hadir untuk memastikan ada mekanisme pengawasan, penegakan aturan, dan jalur pelaporan yang jelas bagi masyarakat. Tanpa pengawasan yang tegas, praktik-praktik berisiko ini akan terus berulang dan merugikan banyak pihak.
Solusi yang diperlukan bersifat multi-sektoral. Pertama, perlu ada regulasi yang jelas mengenai pengelolaan parkir sementara dan penempatan petugas di ruang publik. Regulasi ini harus mencakup standar tarif, kewajiban penggunaan atribut keselamatan, serta mekanisme perizinan bagi juru parkir.
Kedua, pelatihan dasar keselamatan lalu lintas dan pelayanan publik wajib diberikan kepada mereka yang bekerja di lapangan. Pelatihan sederhana tentang komunikasi, penempatan rambu sementara, dan teknik mengarahkan kendaraan dapat mengurangi risiko kecelakaan secara signifikan. Ketiga, penerapan sanksi bagi praktik pungutan liar dan pengabaian keselamatan harus konsisten agar menjadi efek jera.
Peran masyarakat juga penting. Pengendara dan pengunjung perlu lebih kritis dan berani melaporkan praktik tidak profesional. Dokumentasi sederhana melalui ponsel, foto atau video, dapat menjadi bukti ketika terjadi pelanggaran. Namun, pelaporan harus diimbangi dengan sistem respons yang cepat dari aparat berwenang agar keluhan tidak berakhir di meja tanpa tindak lanjut.
Pemerintah daerah dan pengelola kawasan wisata harus melihat masalah ini sebagai bagian dari upaya menjaga citra dan kenyamanan daerah. Liburan adalah momen penting bagi perekonomian lokal, reputasi buruk akibat praktik parkir yang kacau dapat mengurangi minat kunjungan di masa mendatang.
Investasi kecil pada pengaturan parkir yang profesional, misalnya penempatan petugas resmi, pemasangan rambu sementara, dan penerapan tarif yang transparan, akan memberikan manfaat jangka panjang berupa keamanan, kenyamanan, dan kepercayaan publik.
Akhirnya, penting diingat bahwa kehadiran juru parkir dan pengatur lalu lintas bukanlah masalah jika dijalankan dengan profesionalisme. Yang menjadi ancaman adalah ketika profesi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang hanya mengejar keuntungan cepat tanpa memperhatikan keselamatan dan etika.
Untuk mencegah tragedi yang merenggut nyawa dan merusak kebahagiaan liburan, semua pihak, petugas, pengelola, aparat, dan masyarakat, harus bersinergi. Dengan standar yang jelas, pengawasan yang tegas, dan kesadaran kolektif, musim liburan bisa kembali menjadi momen bahagia, bukan sumber duka.



