Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengungkap temuannya terkait kondisi sekolah yang terdampak banjir di Sumatera. Ada tiga kategori kondisi sekolah terdampak, yakni rusak berat, hilang, dan tidak dapat direlokasi.
“Temuan kami di lapangan ada tiga. Yang pertama memang sekolahnya sudah sama sekali tidak ada. Jadi sudah tidak ada karena memang kampungnya juga sudah tidak ada, sekolahnya otomatis tidak ada, sehingga memang harus dibangun baru,” kata Mu’ti saat konferensi pers di Graha BNPB, Matraman, Jakarta Timur, Selasa (30/12).
Temuan kedua, sekolah masih berdiri namun berada di kawasan yang tidak aman dan berisiko tinggi terhadap bencana.
“Yang kedua, sekolahnya masih ada tetapi terletak di daerah yang tidak aman. Saya menemukan itu di Agam, di Tamiang, dan beberapa di Langkat, di Sumatera Utara,” jelasnya.
Adapun temuan ketiga adalah sekolah yang kondisinya rusak berat sehingga harus dibangun ulang, meskipun tetap berada di lokasi yang sama.
“Kemudian yang ketiga memang adalah sekolah-sekolah yang kondisinya sudah sangat rusak, sehingga harus dibangun baru tetapi tetap di lokasi yang sama,” tutur Mu’ti.
Mu’ti mencontohkan kondisi sekolah di Langkat yang kerap terdampak banjir meski tidak sedang terjadi bencana besar. Menurutnya, sekolah itu perlu direlokasi.
“Misalnya di Langkat itu, SD yang saya kunjungi itu walaupun tidak ada musibah, sekolah tersebut selalu banjir. Karena posisi sekolah lebih rendah daripada posisi jalan, sehingga selalu banjir dan tidak ada drainase di situ,” jelasnya.
Ia menegaskan, relokasi sekolah membutuhkan waktu karena melibatkan pencarian lahan baru.
“Nah terkait dengan hal ini, kalau harus relokasi, memang ini akan melibatkan pemerintah daerah karena harus mencari lahan baru. Yang ini memang ada dua otoritas,” kata Mu’ti.
“Untuk tingkat SLTA, SMA, SMK, dan Sekolah Luar Biasa, itu oleh pemerintah provinsi. Kemudian untuk TK, SD, dan SMP, otoritasnya oleh pemerintah kabupaten/kota,” sambung dia.
Menurutnya, proses relokasi inilah yang menjadi salah satu alasan perencanaan kurikulum pemulihan dilakukan bertahap.
“Nah proses relokasi ini yang memang perlu waktu lama karena harus mencari lahannya dulu, kemudian baru dibangun sekolah baru. Nah itu tadi kenapa kemudian kami merancang kurikulumnya ada yang untuk 1 sampai 3 tahun,” ujar Mu’ti.
“Karena memang ini akan sangat bervariasi tergantung dari kesiapan masing-masing daerah,” tandasnya.
Petakan Ulang Kawasan Terdampak Bencana untuk Pemulihan
Sementara itu, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menyampaikan, asesmen tidak hanya dilakukan terhadap sekolah, tetapi juga seluruh kawasan terdampak bencana.
“Dari aspek mitigasi bencananya, tidak hanya sekolah yang kita asesmen. Saat ini kita memetakan ulang keseluruhan daerah terdampak dan nantinya di titik-titik tertentu untuk faskes (fasilitas kesehatan), fasdik (fasilitas pendidikan), serta fasum-fasos (fasilitas umum dan sosial) akan kita tinjau ulang,” jelas Abdul.
“Apakah posisi saat ini berada pada daerah yang terkena banjir atau daerah yang terkena bencana tahunan, seperti tadi ada sekolah, atau bencana yang hanya terjadi pada saat ini saja,” lanjutnya.
Ia menjelaskan, hasil pemetaan akan menjadi dasar dalam rencana pemulihan pascabencana, termasuk kemungkinan relokasi fasilitas publik. Menurutnya, rencana pemulihan pascabencana saat ini tengah disusun dan akan menjadi acuan ke depan.
“Saat ini sedang berjalan pembuatan rencana pemulihan pascabencana. Nah, itu nanti akan menjadi pegangan kita. Yang penting tentu saja kita harus mengingat bahwa bencana ini adalah peristiwa yang berulang,” jelas Abdul.
“Sekali terjadi di masa lalu, pasti akan terjadi lagi di masa depan, sehingga kita harus memastikan keselamatan peserta didik. Tidak hanya sekarang, mungkin 10 tahun, 20 tahun, atau 30 tahun ke depan tetap bisa aman dari potensi bencana yang sama dengan saat ini,” tandasnya.




