Merayakan Liburan di Tengah Ekonomi Sulit

kumparan.com
5 jam lalu
Cover Berita

"Libur kecil kaum kusam

Yang teramat manis begitu romantis

Walau sekali setahun

Tuhan, rangkullah

Jangan kau tinggalkan waktu mereka". (Iwan Fals, "Libur Kecil Kaum Kusam", 1987).

Lirik itu nyanyian lama, namun bunyinya masih bergaung dalam ingatan: tentang libur kecil kaum kusam. Ia bukan nyanyian yang berteriak, melainkan berdoa. Sebuah permohonan kepada waktu untuk berhenti sejenak, merangkul mereka yang hidupnya jauh dari kata liburan dan wisata karena masalah ekonomi.

Bagi orang-orang, liburan adalah kemewahan. Ia seperti susunan tangga ke langit: indah dari jauh, namun licin dan mahal untuk dipijak. Ia seolah disediakan kepada mereka yang hidupnya longgar, yang isi dompetnya tidak pernah sesak oleh tanggal tua.

Namun, apa jadinya liburan jika keadaan ekonomi juga sulit? Harga bahan pokok naik tanpa permisi, sementara pekerjaan tidak selalu menjanjikan tentang hari esok. Di sini, kata liburan nampak seperti “dosa kecil”. Apakah sebaiknya harus ditunda, disembunyikan, atau dilupakan? Dengan keadaan seperti ini, pada akhirnya kita diajak untuk belajar berhitung dengan kepala dingin, memotong sesuatu yang tidak mendesak dan menyingkirkan sesuatu yang selalu dianggap bukan prioritas.

Ketika liburan disingkirkan, yang sebenarnya dihapus bukanlah perjalanan, melainkan jeda. Manusia hidup bukan sekadar untuk bertahan, tetapi juga soal bernapas. Tanpa jeda, hari-hari seseorang hanya sekadar rangkaian kewajiban tidak bermakna.

Kita kadang lupa, bahwa kelelahan yang dialami oleh manusia itu bukan hanya perkara tubuh, tetapi juga perkara jiwa. Jika jiwa manusia dipaksa untuk terus bekerja, ia akan menjadi bisu. Ia tidak lagi mampu bersyukur, apalagi berharap. Inilah mengapa liburan itu bukan semata-mata agenda, tetapi sebuah kebutuhan yang tidak bisa dihilangkan bagi seseorang.

Menurut Maslow, kebutuhan manusia itu tidak hanya berhenti pada aspek fisiologi dan keamanan, tetapi juga mencakup kebutuhan akan rasa memiliki, penghargaan diri, dan aktualisasi (Abraham Maslow, 1943). Liburan, dalam konteks ini, bukan semata-mata konsumsi rekreasi, melainkan salah satu sarana pemulihan psikologis dan penguatan relasi sosial.

Liburan adalah cara sederhana untuk mengangkat kembali makna eksistensi kita. Bukan roda yang harus terus berputar untuk menjalankan mesin perekonomian. Liburan adalah sebuah kebutuhan fungsional, bukan sekadar kemewahan simbolik. Ia adalah proses untuk melatih kebebasan seseorang dari padatnya rutinitas, peran, juga tuntutan.

Merayakan yang Dekat

Di tengah keadaan ekonomi juga yang sulit, kita diajarkan untuk memaknai liburan dengan cara mencintai sesuatu yang dekat. Konsep liburan ini disebut microtourism. Yaitu, liburan dengan perjalanan kecil, jarak pendek, dan biaya ringan. Ini menunjukkan bahwa melaksanakan liburan itu tidak harus jauh dari rumah. Ia bisa dilakukan di taman-taman kota, di desa yang sering kita lewati, bahkan di sungai-sungai yang selama ini hanya terdengar suaranya saja.

Microtourism itu tidak memamerkan status. Ia merendah. Ia bersahabat. Ia juga bisa memberikan napas bagi kehidupan ekonomi lokal. Di sana, liburan tidak menjelaskan simbol tentang siapa kita, melainkan bagaimana cara kita untuk hadir, dan bisa merayakannya.

Ironisnya ketika liburan itu perlu dirayakan, mereka yang hidup paling dekat dengan kelelahan justru paling jauh dari agenda liburan. Para buruh harian, pekerja informal, dan keluarga yang hidup dari pendapatan harian, mereka sebenarnya adalah orang yang paling membutuhkan jeda eksistensial ini. Seolah waktu tidak pernah memberi izin kepada mereka untuk berhenti lelah.

Meskipun begitu, mereka tidak menyerah. Mereka tetap mencari celah agar tetap bisa merayakan waktu liburan di sela-sela waktu yang tak mengizinkan. Mereka mengisi waktu dengan sekadar duduk-duduk di taman kota dan menonton anak-anak mereka berlarian. Momen yang dirayakan dengan cara yang sederhana, tanpa harus mengeluarkan banyak biaya. Cara ini adalah langkah yang paling jujur untuk memaknai liburan versi mereka.

Mereka tidak harus membeli tiket pesawat atau memesan kamar hotel. Yang paling penting, mereka bisa mengisi waktu bersama, dengan tawa anak-anak, tanpa harus mengorbankan pengeluaran ekonomi yang berlebihan.

Liburan Sebagai Doa Kecil

Meski keadaan ekonomi yang sulit ini tengah mengimpit, makna liburan tidak boleh mati; ia justru menantang kita untuk menafsirkannya kembali. Liburan tidak selalu dimaknai dengan pergi jalan-jalan ke tempat yang jauh, tetapi soal tentang pulang—pulang kepada diri sendiri, kepada sesama, kepada kehidupan yang sering kita jalani tanpa sadar.

Di momen libur ini nyanyian lama dari Iwan Fals itu masih relevan. Ia mengingatkan kepada kita bahwa di tengah kehidupan yang sibuk dan keras, manusia tetap membutuhkan sebuah pelukan waktu. Dari sinilah kita pun dapat menemukan makna liburan yang paling dalam: tentang doa kecil kepada hidup, betapa pun beratnya, tetap harus manusiawi.

Mari kita rayakan liburan ini sebagaimana kita merayakan kehidupan. (*)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Miliarder dan Nenek Penyapu Jalan
• 16 jam laluerabaru.net
thumb
Update Kecelakaan Anthony Joshua: Mobil Ringsek, Dua Pelatih AJ Tewas
• 19 jam lalutvonenews.com
thumb
Sheila Marcia Akui Masa Lalu Kelam, Leticia Joseph Justru Beri Reaksi Tak Terduga hingga Bikin Haru
• 13 jam lalugrid.id
thumb
Jarak Tempuh Polestones Adamas Sampai 1.400 KM, Bisa Diajak Offroad
• 18 jam lalumedcom.id
thumb
BPJS Ketenagakerjaan Madiun Monev Agen Perisai, Tingkatkan Perlindungan Pekerja BPU
• 18 jam lalurealita.co
Berhasil disimpan.