Jakarta: Industri minyak dan gas bumi (migas) dinilai memiliki potensi besar untuk membuka peluang ekonomi baru sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat pesisir, asalkan dikelola dengan tata kelola yang adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan lokal.
Pakar ekonomi lingkungan dari IPB University Aceng Hidayat mengatakan manfaat industri migas tidak akan optimal tanpa perbaikan serius dalam penyerapan tenaga kerja lokal, kejelasan pembagian manfaat ekonomi, serta perlindungan kesejahteraan dan lingkungan hidup masyarakat sekitar wilayah operasi.
"Pintu masuk utama agar industri migas berdampak nyata adalah penyerapan tenaga kerja lokal, terutama lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) dan kelompok kelas menengah," ujar Aceng di Jakarta, dikutip dari Antara, Selasa, 30 Desember 2025.
Menurut dia, industri migas selama ini masih didominasi penyerapan tenaga kerja berkeahlian tinggi, sementara peluang bagi tenaga teknis menengah relatif terbatas. Padahal, kelompok tersebut memiliki potensi besar untuk dilibatkan jika didukung dengan peningkatan kompetensi yang tepat.
Ia mendorong perusahaan migas berperan aktif membangun ekosistem pelatihan tenaga kerja lokal. Salah satu gagasan yang disampaikannya adalah pembentukan lembaga pendidikan atau pelatihan bersama oleh para investor migas untuk menyiapkan tenaga teknis lokal dalam waktu relatif singkat dengan standar kompetensi dan sertifikasi yang jelas.
"Kalau para investor bersatu menyiapkan tenaga lokal dalam beberapa bulan, lalu langsung diserap, manfaat ekonominya akan jauh lebih besar dan langsung dirasakan masyarakat sekitar," kata dia.
Baca juga: Usaha Migas Hilir Didorong Melek Asuransi Skema bagi hasil perlu ditata ulang
Selain tenaga kerja, Aceng menyoroti pentingnya penataan ulang skema kontraktual antara negara sebagai pemilik sumber daya alam dan investor sebagai pemanfaat. Dirinya menilai diskursus publik selama ini terlalu fokus pada pajak, padahal kejelasan skema bagi hasil atau profit sharing juga sangat krusial.
"Yang perlu dibuka adalah seberapa besar kemanfaatan yang sebenarnya diterima negara dari setiap ekstraksi sumber daya alam. Bukan hanya pajak, tapi juga skema bagi hasilnya," tegas dia.
Dana dari pembagian hasil tersebut, lanjut Aceng, seharusnya dapat digunakan kembali untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah sekitar industri beroperasi, termasuk menjaga akses terhadap air bersih, udara bersih, dan ruang hidup yang layak.
Ia juga menekankan pentingnya diversifikasi ekonomi masyarakat pesisir melalui pemberdayaan nelayan dan pengembangan usaha alternatif seperti budidaya rumput laut, perikanan, dan wisata bahari agar masyarakat tidak bergantung pada satu sumber pendapatan.
(Ilustrasi. Foto: dok ICDX)
Mitigasi dampak lingkungan
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan kontribusi sektor migas terhadap perekonomian nasional sejauh ini sudah nyata dan tidak perlu diragukan. Tantangan utama yang tersisa adalah mitigasi dampak lingkungan dari aktivitas energi.
Menurut Komaidi, dibandingkan pertambangan mineral dan batu bara, kegiatan migas relatif memiliki dampak fisik yang lebih terbatas karena material yang diambil berbentuk cairan dan disalurkan melalui pipa.
"Kalau migas yang diambil cairannya, sementara mineral dan batu bara harus membuka lahan dan mengambil material padat dalam jumlah besar," ungkap dia.
Meski demikian, ia menegaskan setiap aktivitas ekstraksi sumber daya alam pasti menimbulkan dampak lingkungan. Oleh karena itu, yang dapat dilakukan pelaku usaha adalah meminimalkan dampak tersebut melalui pengelolaan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
"Tidak mungkin tanpa dampak sama sekali, tapi dampaknya bisa diminimalkan, dan itu sudah ada contoh penerapannya," jelas Komaidi.


