Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) menjelaskan ihwal pengawasan yang diperketat terhadap cukai peredaran minuman mengandung etil alkohol (MMEA) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.89/2025.
Untuk diketahui, PMK No.89/2025 tentang Penimbunan, Pemasukan, Pengeluaran dan Pengangkutan Barang Kena Cukai merupakan beleid yang mengubah sejumlah aturan dalam peraturan sebelumnya yakni PMK No.226/2014. Beleid yang diteken Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa itu diundangkan pada 18 Desember 2025 dan mulai berlaku 1 Januari 2026.
Sebagai pelaksana aturan tersebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) mengatakan bahwa PMK No.89/2025 itu merupakan bentuk penguatan pengawasan terhadap MMEA. Perubahan utama dalam ketentuan tersebut adalah kewajiban penggunaan dokumen cukai CK-6 untuk setiap pengangkutan MMEA yang dilakukan oleh penyalur, tanpa melihat jumlah maupun kadar alkoholnya.
Sebelumnya, kewajiban pelindungan dengan dokumen cukai CK-6 hanya berlaku untuk pengangkutan MMEA dengan jumlah di atas 6 liter, sehingga peredaran MMEA dalam jumlah kecil belum seluruhnya tercatat dan terpantau secara optimal.
"Melalui ketentuan baru ini, seluruh peredaran MMEA dari penyalur dapat terekam dengan lebih baik, sehingga pengawasan menjadi lebih menyeluruh dan potensi penyimpangan dapat diminimalkan," terang Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Kemenkeu, Nirwala Dwi Heryanto melalui keterangan tertulis, Selasa (30/12/2025).
Pada pemberitaan Bisnis sebelumnya, pada poin aturan penimbunan sebagaimana diatur dalam pasal 2 PMK No.89/2025, barang kena cukai (BKC) yang belum dilunasi cukainya dapat ditimbun di dalam Tempat Penimbunan Sementara (TPS) dan Tempat Penimbunan Berikat (TPB).
Baca Juga
- Purbaya Perketat Pengawasan Cukai Alkohol, Begini Aturan Barunya
- Bea Cukai Tangkap 16 Orang Terkait Rokok hingga Minuman Alkohol Ilegal
Bedanya, TPS berlokasi di kawasan pabean, sedangkan TPB berada di kawasan berikat yang mendapatkan sejumlah fasilitas pembebasan pungutan perpajakan termasuk cukai.
Sebelumnya, BKC yang belum dilunasi cukainya hanya bisa ditimbun di TPS yang berlokasi di pabrik. Akan tetapi, dengan adanya Kawasan Berikat sebagaimana diatur di dalam PMK No.131/2018, maka BKC yang belum dilunasi cukainya bisa ditimbun di kawasan tersebut.
Sementara itu, pemasukan BKC ke pabrik diatur di dalam pasal 4 pada PMK terbaru dan pengeluaran BKC dari pabrik pada pasal 5. Persyaratannya kini diperketat yakni kewajiban adanya Dokumen Cukai. Hal tersebut belum diatur pada PMK No.226/2014 atau aturan sebelumnya.
Kemudian, pada pasal 6 ayat (1), diatur bahwa pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat melakukan pengawasan terhadap pemasukan maupun pengeluaran BKC. Pada ayat (2) dijelaskan bahwa pengawasan dilakukan berdasarkan penilaian profil risiko atau pertimbangan lain yang ditentukan oleh Kepala Kantor yang mengawasi pabrik atau tempat penyimpanan.
"Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Bea dan Cukai melakukan pengawasan terhadap pemasukan dan pengeluaran barang kena cukai jika terdapat dugaan penyimpangan yang mengakibatkan kerugian negara," demikian bunyi pasal 6 ayat (3) PMK baru tersebut, dikutip Minggu (28/12/2025).
Pada ayat (4), PMK itu mengatur bahwa pengawasan dilakukan terhadap pemasukan atau pengeluaran BKC berupa etil alkohol atau minuman yang mengandung etil alkohol. Hasil pengawasan itu menjadi dasar untuk membukukan dalam buku rekening BKC.
Pada sisi pengangkutan, Menkeu juga mewajibkan agar pengangkutan BKC yang belum dilunasi cukainya wajib dilindungi dengan Dokumen Cukai. Hal itu diatur dalam pasal 8 ayat (1), dan berlaku untuk pengangkutan BKC dengan fasilitas tidak dipungut atau pembebasan cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun, ada beberapa pengecualian atas kewajiban dokumen cukai itu untuk pengangkutan sejumlah BKC. Pertama, tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil tanaman Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan.
Kedua, MMEA hasil peragian atau penyulingan yang dibuat oleh rakyat Indonesia secara sederhana.
Ketiga, impor BKC yang mendapat fasilitas pembebasan cukai. Keempat, BKC antar pabrik atau tempat penyimpanan dengan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) yang sama.
Kewajiban penyertaan dokumen cukai juga berlaku untuk pengangkutan BKC yang sudah dilunasi cukainya. Pada pasal 9 ayat (2), aturan itu berlaku untuk etil alkohol dari pabrik, tempat penyimpanan, kawasan pabean, TPS atau TPB; MMEA dari pabrik, TPS atau TPB; serta etil alkohol dari peredaran bebas ke pabrik atau tempat penyimpanan untuk dimusnahkan atau diolah kembali.
Selanjutnya, etil elkohol dan MMEA dari peredaran bebas ke tempat lain di luar pabrik untuk dimusnahkan dalam rangka pengembalian; etil alkohol dari tempat penjualan eceran; dan/atau MMEA dari penyalur atau tempat penjualan eceran.
Adapun, aturan pada pasal 9 itu tidak berlaku untuk etil alkohol dan MMEA antar pengusaha BKC dengan NPPBKC yang sama; etol alkohol yang berasal dari tempat penjualan eceran yang dikecualikan dari kewajiban memiliki NPPBKC; etil alkohol dalam jumlam sampai dengan 6 liter yang berasal dari tempat penjualan eceran; MMEA dengan kadar sampai dengan 5% yang berasal dari tempat penjualan eceran; dan/atau MMEA dengan kadar lebih dari 5% dalam jumlah sampai dengan 6 liter yang berasal dari tempat penjualan eceran.




