Di BALIK ekonomi yang tidak bisa disebut baik-baik saja, lapangan kerja sulit, pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tak putus-putus, daya beli rontok, ada yang maju, yakni kiprah serdadu (tentara) dan polisi.
Revisi Undang-Undang Tentara Nasional (TNI) di tahun 2025 memastikan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai kepanjangan tangan rakyat ternyata dapat 'menggunting' reformasi militer yang termuat dalam UU 34/2004 tentang TNI.
Tahun ini, ketika pemerintahan beralih ke sosok tentara, Jenderal Kehormatan Prabowo Subianto, UU 34/2004 yang disahkan Megawati Soekarnoputri pada 16 Oktober 2004 itu pun berubah--dan perubahan itu cukup drastis. UU 34/2004 telah direvisi menjadi UU 3/2025.
Pertama, persis 27 tahun setelah rezim Orde Baru yang militeristik tumbang, negeri kita mengundang tentara atau prajurit aktif untuk lebih ekstensif menempati pos sipil.
Undangan itu tertera di pasal 47 UU 3/2025 tentang TNI. Pasal 47 ayat 1 menyebutkan prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/atau sandi negara, lembaga ketahanan nasional, pencarian dan pertolongan, narkotika nasional, pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.
Total, ada 14 kementerian atau lembaga yang memungkinkan prajurit TNI "ngepos" di jabatan sipil. Sebelumnya, hanya di 10 kementerian/lembaga.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=UU TNI, supremasi sipil, uu polri&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8zMS8wNjE3MTgwMS9pbmRvbmVzaWEtMjAyNS1wb3RyZXQtc2VyZGFkdS1kYW4tcG9saXNpLW1hanUtc2lwaWwtbXVuZHVy&q=Indonesia 2025: Potret Serdadu dan Polisi Maju, Sipil Mundur§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Pada ayat 3 pasal tersebut diatur bahwa jabatan untuk prajurit TNI didasarkan atas permintaan pimpinan kementerian/lembaga serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan kementerian dan lembaga.
Publik bisa menyaksikan "kemajuan" kiprah prajurit TNI dalam penanganan bencana di Sumatera.
Baca juga: Pilkada oleh DPRD: Pemilihan Elitis dan Matinya Demokrasi Lokal
Saat konferensi pers, publik mendapati Sekretaris Kabinet dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) diisi atau dijabat oleh militer aktif.
Belum lagi puluhan ribu tentara yang dikirim untuk membantu penanganan bencana di tiga provinsi di Sumatera, sebuah tugas selain perang yang mempertautkan peran penting tentara.
Yang ini adalah hal niscaya dan lumrah--sebuah mandala yang sama patriotiknya dengan bertempur atau perang fisik melawan musuh yang menyerang dan membahayakan kedaulatan negara.
Masifnya prajurit TNI di jabatan sipil, bukan sebagai peluang membuka seluas-luasnya jabatan sipil untuk tentara. Begitu kata DPR.
Sebaliknya Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU TNI justru menentukan batasan limitatif terhadap pengisian jabatan sipil oleh prajurit TNI aktif yang berfungsi sebagai mekanisme pembatasan.
Panggilan kepada prajurit TNI untuk mengisi empat pos baru itu amat mengguncang. Ini merampas posisi yang selama ini diisi kalangan sipil.
Pengumuman bahwa sipil tidak mampu, dan karena itu tentara harus melaksanakan tugas yang tidak berkaitan dengan fungsi atau peran militer sebagai alat pertahanan negara.
Kemungkinan atas ekstensifnya panggilan terhadap prajurit tentara di atas ada dua: Sipil sedang menarik tentara ke urusan non-pertahanan atau presiden yang notabene berlatar belakang tentara ingin membangun pemerintahan yang bercorak militeristik.
Kesan itu telah menonjol saat anggota kabinet Merah Putih mendapat pembekalan ala militer di Akademi Militer Magelang.
Hal sama juga diberlakukan kepada kepala daerah hasil Pilkada 2024. Di momen itu kita menyaksikan Presiden Prabowo mengajak dua pendahulunya, SBY dan Joko Widodo, serta ketua DPR Puan Maharani ikut memberi pembekalan kepada kepala daerah.
Yang paling ikonik: Foto keempat tokoh yang berseragam loreng. Ini pertunjukan tentang persatuan elite, tapi sekaligus pengumuman bahwa ada cita rasa militeristik di pemerintahan baru itu. SBY tidak melakukan, tapi Prabowo terlecut untuk memperlihatkan.
Kedua, lewat revisi UU TNI, kini persetujuan atau perintah untuk melaksanakan operasi militer selain perang (OMSP), tak lagi memerlukan keputusan politik negara sebagaimana diatur pada pasal 7 ayat 4 UU 34/2004) melalui DPR.
Dulu, tugas OMSP harus melalui keputusan politik negara, yakni keputusan Presiden dengan pertimbangan DPR (YLBHI, 21 April 2025).
Revisi UU TNI mengubah mekanisme itu. Dalam pasal 7 ayat 2 UU 3/2025 disebutkan, tugas pokok militer dilaksanakan dengan operasi militer untuk perang serta operasi militer selain perang.
Kini pasal 7 ayat 4 berbunyi pelaksanaan operasi militer selain perang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, kecuali untuk ayat (2) huruf b angka 10.
Angka 10 dimaksud adalah membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang.
Dengan cuma memberi legalisme OMSP kepada presiden, ini memberi ruang pada kepala pemerintahan untuk surplus kekuasaan.
Mekanisme checks and balances oleh DPR juga dipatahkan, padahal itu penting agar tidak ada penyalahgunaan dan penyelewengan kekuasaan.
Dalam demokrasi, supremasi sipil itu niscaya. Hubungan sipil dan militer juga dijaga, dirawat dan dikendalikan demi tegaknya supremasi sipil.
Baca juga: Bendera GAM dan Romantisme Luka Lama di Tengah Bencana
Dicabutnya peran DPR dalam memberi otorisasi dan legalisme OMSP berarti negeri kita sedang mengurangi atau mencabut supremasi itu.




