Hari Ibu memang sudah lewat beberapa hari lalu. Namun cerita tentang ibu tidak cukup dibicarakan hanya dalam sekali waktu. Bagi saya, kisah tentang ibu adalah satu cara merawat ingatan tentangnya. Sama halnya dengan menjaga resonansi kehidupan lintas waktu: masa lalu, sekarang dan yang akan berlalu.
Ibu adalah medan pertemuan antara yang sakral dan yang profan. Sakralitasnya tercermin pada ungkapan "surga berada di telapak kaki ibu" dengan segala bentuk tafsirnya, serta petuah-petuahnya yang kerap menjadi kompas moral. Sedangkan sisi profannya adalah ketika seorang anak bergumul saban hari dengannya. Anak tak luput dari suara berisik dan kegaduhannya tiap hari; membangunkan pagi, mengingatkan makan, menyiapkan perlengkapan sekolah, hingga mengingatkan tidur sebelum larut malam. Ibu ibarat alarm kehidupan yang kerap membuat sang anak terhenyak ketika ia mulai "hilang arah".
Saya tidak sedang memberikan bebungaan atau puja-puji agar ibu tetap terlihat 'indah' dan sakral. Saya hendak memposisikan ibu sebagaimana mestinya, sesuai apa yang saya cerap dan alami tentang sosok ibu.
Pesan dan Estafet KepengasuhanApa yang menjadi petuah ibu kerap terngiang di kepala saya. Mungkin karena suaranya yang lantang khas perempuan pesisir, atau sebab bargaining power yang dimilikinya karena menjadi pengasuh sekaligus bagian dari penopang hidup keseharian.
Pesan-pesan yang ibu sampaikan sederhana, dan seringkali bersifat 'agamis'. Misalnya, “Kamu harus baca salawat tiap kali dalam perjalanan, karena salawat akan menjagamu dan menjadi wasilah keselamatan”. Atau pesan lainnya, “Bacalah Ayat Kursi tiap kali mau tidur, agar tidurmu tenang dan tidak diganggu setan”.
Pesan-pesan itu seolah menuntut untuk diamalkan dan terus menggema dalam ingatan. Saya pun kemudian menilai, bahwa hal demikian terbentuk karena adanya kedekatan emosional dalam kepengasuhan. Kepengasuhan ini mencakup tiga makna sekaligus; asuh, asah dan asih. Mengasuh secara lahir dan batin, mengasah intelektual, kepekaan emosional dan spiritual serta mengasihi tanpa batas dan jeda.
Pesan yang disampaikan ibu tentu bukan hanya secara verbal, namun juga lewat laku dan tindakan. Pesan itu ia tularkan lewat profanitasnya dalam pergumulan keseharian. Apa yang menjadi “pesan” ibu, saya bawa hingga kini bersama keluarga kecil saya. Dalam hal ini, ibu memberi saya sebuah teladan kepengasuhan.
Teladan KesetaraanBagi saya, ibu adalah juga teladan dalam kesetaraan. Ya, saya telah memahami bagaimana kesetaraan dibangun dalam keluarga lewat sosok ibu, jauh sebelum saya mendengar wacana tentang feminisme dan kesetaraan gender. Ibu tak perlu menjadi aktivis feminisme atau mendalami fikih kontemporer agar ia bisa turut bekerja menjadi tulang punggung keluarga. Cukup kondisi ekonomi pas-pasan yang menggerakkannya untuk bekerja menjadi seorang “bakul jamu” demi keluarga dan anak-anaknya. Dari jerih payahnya, ia bisa membantu menyekolahkan anak-anaknya dan menghidupi keluarga. Ia mandiri secara finansial. Meski demikian, ia tak luput dengan kerja-kerja domestik. Ia juga tetap menghormati bapak dan merawat anak-anaknya sebagaimana sosok ibu pada umumnya.
Kesetaraan tersebut lahir dan tumbuh, bukan dari buku-buku yang sarat akan konsep dan teori tentang relasi gender, bukan pula dari gerakan para aktivis feminisme. Ia berangkat dari tuntutan ekonomi, dan juga kesahajaan hidup yang tumbuh dari nilai-nilai agama dan budaya yang egaliter dalam masyarakat desa.
Ibu mendidik tentang kesetaraan bukan lewat rumusan konseptual yang diajarkan di kelas-kelas dan bangku perkuliahan. Ia mengajarkannya melalui teladan, yang mengalir lembut dan menerobos kesadaran lewat laku sehari-hari dalam kehidupan yang banal.
Kesetaraan dalam Feminisme IslamApa yang ditunjukkan ibu tentang kesetaraan mungkin jauh dari hiruk-pikuk teori maupun gerakan feminisme dan kesetaraan gender. Namun, hal tersebut bisa menjadi bahasan alternatif tentang bagaimana kesetaraan bisa lahir dari fenomena semacam itu.
Kondisi tersebut menyadarkan kita bahwa kesadaran tentang kesetaraan gender tidak melulu berangkat dari rumusan konsep dan teori, apalagi teori yang “harus dari Barat” atau Eropasentris. Kita dapat mengambilnya dari tindak laku dan fenomena sehari-hari.
Dalam hal ini, saya tidak hendak mengesampingkan konsep, teori maupun gerakan feminis dan gender yang ada, karena tentu hal itu juga punya peran besar dalam diskursus dan praktik kesetaraan gender di Indonesia. Bisa saja konsep dan teori tersebut tetap dipakai dalam memahami fenomena yang ada.
Dalam pendekatan fenomenologi, kita dapat memberikan ‘epoche’ atau tanda kurung [ ] terhadap teori tertentu yang berkaitan dengan fenomena yang diamati. Namun demikian, yang saya soroti di sini adalah bagaimana fenemona kesetaraan dapat lahir secara kultural tanpa melalui pengarus-utamaan (mainstreaming) gender.
Kita tentu pernah mendengar istilah feminisme Islam, yang merujuk pada pergumulan feminisme dengan nilai-nilai dan budaya Islam. Munculnya feminisme Islam dapat dimaklumi, mengingat dalam hukum Islam dikenal suatu kaidah fikih al-'adatu muhakkamah, dimana tradisi dan budaya dapat dijadikan landasan hukum. Feminisme sendiri memiliki irisan dengan semangat egaliter dan liberatif dalam Islam, khususnya berkaitan dengan perlindungan dan pemuliaan terhadap perempuan sebagai bagian dari kaum mustadh'afin.
Dalam konteks ini, kita tidak akan menemukan feminisme 'murni' sebagaimana berlaku di Barat, dimana laki-laki dan perempuan benar-benar dipandang setara dalam arti liberal.
Dalam Islam, khususnya setelah masuknya feminisme, banyak hal sudah (dianggap) setara, misalnya terkait kedudukan dan peran perempuan dalam ranah publik. Sebagian lagi perlu 'disetarakan', contohnya kaitannya dengan implementasi dalil dan doktrin yang dianggap berbau patriarkis.
Dalam beberapa persoalan, kesetaraan dianggap 'tidak berlaku' karena ada hal yang bersifat "kodrati", baik dari laki-laki maupun perempuan. Misalnya tentang sifat qawwamah laki-laki dan hak hadhanah (pengasuhan) bagi perempuan. Nilai-nilai yang dianggap kodrati pun, dalam perspektif feminisme Islam, masih terbuka ruang untuk beragam tafsir dan perdebatan.
Pada akhirnya, pasang-surut perbedaan cara pandang kesetaraan tersebut - dalam konteks feminisme Islam - tidak hanya bergantung pada pendekatan tafsir yang digunakan, namun juga pada sejauh mana feminisme dan kesetaraan gender itu dipahami dan diberlakukan dalam sebuah komunitas atau institusi.

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5457703/original/089294400_1767016757-20251229IQ_Persija_vs_Bhayankara_FC-3.jpg)


