Di tengah upaya Indonesia untuk memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), muncul pertanyaan penting mengenai bagaimana sumber daya dapat dimobilisasi untuk menutup kesenjangan pembangunan yang belum sepenuhnya dapat dijangkau oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tantangan ini tidak semata berkaitan dengan kapasitas fiskal, tetapi juga menyangkut bagaimana Indonesia merancang model pembangunan yang lebih inklusif, kolaboratif, dan berkelanjutan.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam memenuhi target SDGs adalah kesenjangan pendanaan. Data Bappenas tahun 2024 mengungkapkan bahwa pasca pandemi, kebutuhan pendanaan hingga 2030 melonjak signifikan menjadi sekitar Rp122.000 triliun, dengan celah pembiayaan yang mencapai Rp24.000 triliun. Angka fantastis ini menekankan betapa kapasitas fiskal negara, melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tidak akan pernah cukup jika bekerja sendiri.
Tekanan ini membuka ruang evaluasi mendasar tentang model pembangunan Indonesia, menuntut pendekatan yang lebih inklusif, kolaboratif, dan mampu memobilisasi sumber daya dari seluruh elemen bangsa. Dalam konteks inilah, peran aktor non-negara, terutama sektor filantropi, muncul sebagai penopang strategis yang tidak boleh diabaikan. Filantropi, dengan akar budaya gotong royong yang kuat, telah lama menjadi tulang punggung respons sosial di berbagai bidang, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga penanganan bencana.
Baca juga : Pemerintah Upayakan Pembiayaan Kreatif dalam Pembangunan Berkelanjutan
Potensi tersebut bukannya tanpa dasar. Survei Indonesia Philanthropy Outlook 2024 mengungkapkan bahwa hampir 90 persen lembaga filantropi di tanah air telah menyelaraskan program kerjanya dengan target-target SDGs. Ini menunjukkan kesadaran dan komitmen tinggi pelaku filantropi untuk melampaui aktivitas karitatif konvensional dan terlibat dalam pembangunan transformatif.
Namun, potensi tersebut belum terwujud dalam skala dan dampak yang optimal. Tantangan utamanya bukan pada minimnya kepedulian sosial atau dana yang tersedia, melainkan pada kerangka kebijakan yang kurang mendukung. Ketika filantropi modern telah berkembang menjadi praktik yang kompleks, melintasi batas sektor, memanfaatkan teknologi digital, dan menjangkau isu-isu pembangunan yang sistematis, regulasi yang ada justru masih terperangkap dalam paradigma lama. Regulasi ini tidak lagi berfungsi sebagai enabler, melainkan sering menjadi penghalang yang justru mematikan inovasi dan partisipasi.
Salah satu regulasi yang menghambat adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB) dan turunannya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 dan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 8 tahun 2024. Regulasi warisan Orde Lama ini masih memandang penggalangan dana publik sebagai kegiatan karitatif temporer dan berjangka pendek. Izin PUB hanya berlaku selama tiga bulan dan diterbitkan per judul kegiatan tertentu. Paradigma ini bertolak belakang dengan sifat program SDGs yang bersifat strategis, sistematis, dan memerlukan pendanaan serta komitmen jangka panjang. Akibatnya, lembaga yang ingin mendukung program berkelanjutan justru terjebak dalam siklus birokrasi perizinan yang berulang dan melelahkan.
Baca juga : Indonesia-Inggris Raya Perkuat Kerja Sama Pembangunan
Penerapan regulasi PUB di lapangan tak kalah rumit dan restriktif. Mekanisme perizinan yang berjenjang, sepertiharus melalui rekomendasi Dinas Sosial Kabupaten/Kota dan Provinsi, menciptakan birokrasi yang lamban. Prosesnya bisa memakan waktu 1-3 bulan, suatu durasi yang tidak realistis untuk tanggap darurat bencana. Ketidakpastian ini juga dipengaruhi oleh variasi pemahaman dan penerapan persyaratan perizinan di berbagai daerah, serta perbedaan interpretasi di antara unit-unit yang menangani proses perizinan di Kementerian Sosial dan dinas sosial.Ketiadaan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang baku membuat pelayanan menjadi tidak seragam dan rentan terhadap perlakuan diskriminatif dan menghambat hak warga untuk berpartisipasi dalam pembangunan melalui kegiatan filantropi.
Dampaknya langsung terasa. Mobilisasi sumber daya terhambat dan program filantropi terganggu. Lembaga terpaksa menunda penggalangan dana karena proses perizinan tersendat. Lebih memprihatinkan, organisasi yang bergerak di isu strategis seperti advokasi kebijakan, bantuan hukum, atau lingkungan—yang sering tak tercantum dalam Permensos—justru mendapat hambatan terbesar. Tidak jarang, organisasi diminta menyesuaikan deskripsi program agar selaras dengan aturan yang berlaku. Penyesuaian semacam ini, meski dimaksudkan untuk kepatuhan administratif, berisiko menyempitkan ruang inovasi dan menggeser mandat awal organisasi.Akibat kebijakan yang using dan implementasinya yang rumit dan restriktif, kontribusi filantropi terhadap SDGs menjadi tidak optimal. Regulasi yang memaksa program jangka pendek mustahil mendukung tujuan pembangunan yang bersifat transformatif dan berkelanjutan. Banyak target SDGs, seperti pengentasan kemiskinan absolut atau penjaminan pendidikan berkualitas, membutuhkan intervensi berkesinambungan hingga puluhan tahun. Fleksibilitas dan kemampuan inovasi sosial yang menjadi keunggulan filantropi menjadi sia-sia jika energinya habis untuk mengurus birokrasi, bukan fokus pada implementasi dan pengukuran dampak program.
Belajar dari praktik internasional, keberhasilan pemerintah dalam berkolaborasi dan memanfaatkan sumber daya filantropi umumnya ditopang regulasi yang adaptif dan memudahkan. Di Amerika Serikat, status 501(c)(3) memberikan kepastian hukum dan insentif perpajakan yang jelas bagi organisasi nirlaba, dengan penekanan pengawasan pada kinerja dan transparansi pelaporan publik. Di Inggris, Charity Commission berfungsi sebagai regulator yang independen, mengelola sistem pendaftaran dan pelaporan online yang terpadu dan dapat diakses masyarakat. Pendekatan mereka bergeser dari 'pengontrolan melalui izin menuju 'pembinaan melalui transparansi'. Prinsipnya adalah membangun kepercayaan publik dengan keterbukaan, bukan dengan menyulitkan proses di pintu masuk.
Menyadari urgensi ini reformasi regulasi PUB ini, Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) bersama lebih dari 100 anggotanya membentuk Aliansi Filantropi untuk Akuntabilitas Sumbangan. Aliansi ini tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan solusi konstruktif melalui advokasi berbasis bukti. Mereka telah memetakan secara rinci setiap hambatan dalam pengurusan izin PUB, menyusun naskah akademik, dan bahkan menyiapkan draft RUU Pemajuan Filantropi sebagai pengganti UU No. 9/1961 ke DPR RI. Tujuannya adalah mendorong terciptanya regulasi yang tidak lagi memandang sumbangan sebagai kegiatan insidental, tetapi sebagai bagian dari ekosistem kedermawanan sosial yang terlembaga, akuntabel dan berjelanjutan.
Reformasi regulasi PUB adalah keniscayaan strategis. Dengan kerangka regulasi yang tepat, filantropi dapat dimobilisasi bukan hanya sebagai sumber dana tambahan, tetapi sebagai kekuatan inovasi sosial yang mampu mengisi celah-celah yang sulit dijangkau oleh program pemerintah. Filantropi dapat menjadi mitra dalam uji coba solusi baru dan pendampingan komunitas, pendampingan komunitas, dan pendorong agenda-agenda pembangunan yang inklusif.. Tanpa reformasi regulasi PUB, Indonesia membuang potensi sumber daya yang sangat besar di tengah kesenjangan pendanaan SDGs yang mencapai puluhan ribu triliun. Setiap penundaan revisi regulasi sama dengan memperlambat laju pencapaian SDGs dan memperlebar ketertinggalan pembangunan.
Pada akhirnya semua berpulang pada pemahaman dan kesadaran pemerintah dalam melihat filantropi sebagai salah satu sumber daya strategis Pembangunan, termasuk dalam pencapaian SDGs, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden No. 111/2022. Momentum ada di tangan pemerintah dan DPR. Dukungan dari Kemennterian Koordinator pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Sosial, dan Komisi VIII DPR RI dibutuhkan untuk mendorong revisi regulasi PUB secara partisipatif dan inklusif. Masa depan filantropi dan akselerasi SDGs bergantung pada keberanian meninggalkan warisan regulasi yang sudah usang dan menerbitkan regulasi baru yang memperkuat kolaborasi, kepercayaan, dan keberlanjutan. (E-3)





