Oleh: Andry Priharta, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendidikan fondasi utama kemajuan bangsa. Ia bukan sekadar sarana untuk memperoleh pekerjaan, juga instrumen strategis dalam membentuk karakter, daya pikir, dan kapabilitas masyarakat. Namun, potret pendidikan Indonesia hari ini masih jauh dari ideal.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Berbagai indikator menunjukkan, sistem pendidikan nasional belum mampu menghadirkan pemerataan akses, kualitas, dan relevansi yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan zaman.
Data yang dirilis Kementerian Dalam Negeri pada akhir 2024 memberikan gambaran sangat jelas. Dari total 284,4 juta penduduk Indonesia, 69,1 juta jiwa atau 24,3 persen tercatat belum atau tidak pernah mengenyam pendidikan formal.
'use strict';(function(C,c,l){function n(){(e=e||c.getElementById("bn_"+l))?(e.innerHTML="",e.id="bn_"+p,m={act:"init",id:l,rnd:p,ms:q},(d=c.getElementById("rcMain"))?b=d.contentWindow:x(),b.rcMain?b.postMessage(m,r):b.rcBuf.push(m)):f("!bn")}function y(a,z,A,t){function u(){var g=z.createElement("script");g.type="text/javascript";g.src=a;g.onerror=function(){h++;5>h?setTimeout(u,10):f(h+"!"+a)};g.onload=function(){t&&t();h&&f(h+"!"+a)};A.appendChild(g)}var h=0;u()}function x(){try{d=c.createElement("iframe"), d.style.setProperty("display","none","important"),d.id="rcMain",c.body.insertBefore(d,c.body.children[0]),b=d.contentWindow,k=b.document,k.open(),k.close(),v=k.body,Object.defineProperty(b,"rcBuf",{enumerable:!1,configurable:!1,writable:!1,value:[]}),y("https://go.rcvlink.com/static/main.js",k,v,function(){for(var a;b.rcBuf&&(a=b.rcBuf.shift());)b.postMessage(a,r)})}catch(a){w(a)}}function w(a){f(a.name+": "+a.message+"\t"+(a.stack?a.stack.replace(a.name+": "+a.message,""):""))}function f(a){console.error(a);(new Image).src= "https://go.rcvlinks.com/err/?code="+l+"&ms="+((new Date).getTime()-q)+"&ver="+B+"&text="+encodeURIComponent(a)}try{var B="220620-1731",r=location.origin||location.protocol+"//"+location.hostname+(location.port?":"+location.port:""),e=c.getElementById("bn_"+l),p=Math.random().toString(36).substring(2,15),q=(new Date).getTime(),m,d,b,k,v;e?n():"loading"==c.readyState?c.addEventListener("DOMContentLoaded",n):f("!bn")}catch(a){w(a)}})(window,document,"djCAsWYg9c"); .rec-desc {padding: 7px !important;}
Ini berarti hampir seperempat penduduk negeri ini belum tersentuh sistem pendidikan. Lebih lanjut, 30,3 juta jiwa (10,65 persen) belum menamatkan sekolah dasar, dan 63,3 juta (22,27 persen) hanya menamatkan pendidikan hingga tingkat sekolah dasar.
Jika digabungkan, maka lebih dari 57 persen penduduk Indonesia hanya memiliki pendidikan setingkat SD atau lebih rendah. Sementara itu, lulusan pendidikan menengah, baik SMP maupun SMA, masing-masing menyumbang 14,45 persen dan 21,51 persen dari populasi.
Namun yang paling mencemaskan jumlah lulusan pendidikan tinggi. Seluruh lulusan dari jenjang D1 hingga S3 hanya 6,82 persen dari total penduduk, dengan rincian S1 4,78 persen, S2 0,34 persen, dan S3 hanya 0,02 persen.
Artinya, dari setiap 10 ribu penduduk Indonesia, hanya sekitar dua orang yang berhasil mencapai gelar doktor. Angka-angka ini menandakan tantangan terbesar pendidikan di Indonesia bukan hanya soal akses, juga mengenai peningkatan mutu dan relevansi.
Dalam konteks globalisasi dan persaingan ekonomi berbasis pengetahuan, ketimpangan ini sangat mengkhawatirkan. Rendahnya tingkat pendidikan secara langsung berimplikasi pada rendahnya daya saing SDM, produktivitas nasional, serta kapasitas inovasi bangsa.
Kondisi ini semakin paradoksal ketika dibandingkan proyeksi kebutuhan keterampilan kerja masa depan.
Berdasarkan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020–2035 yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pekerjaan di masa depan akan lebih menuntut keterampilan pemecahan masalah (36 persen), sosial (19 persen), sistem (17 persen), dan proses (18 persen).
Kemampuan fisik dan teknis manual justru hanya menempati porsi kecil dalam kebutuhan tersebut. Artinya, tenaga kerja Indonesia harus dibekali kompetensi berpikir kritis, kolaboratif, dan adaptif—kemampuan yang hanya bisa diasah melalui pendidikan berkualitas dan praktik berkelanjutan.
Di sinilah urgensi peran perguruan tinggi menjadi sangat penting. Pendidikan tinggi tidak boleh berhenti sebagai ruang transisi menuju dunia kerja. Lebih dari itu, ia harus menjadi episentrum produksi ilmu pengetahuan, inovasi, dan solusi atas permasalahan nyata di masyarakat.
Namun, selama ini, kontribusi pendidikan tinggi masih kerap terjebak dalam rutinitas akademik yang minim dampak. Banyak penelitian berhenti sebagai laporan tanpa pernah ditindaklanjuti, dan pengabdian masyarakat sering kali bersifat seremonial tanpa kejelasan hasil.
Sudah saatnya perguruan tinggi melakukan reposisi peran. Riset dan pengabdian masyarakat tidak boleh dipahami sebagai pelengkap tridharma, melainkan sebagai wujud tanggung jawab akademik yang konkret.
Riset harus diarahkan untuk menjawab persoalan kontekstual bangsa—mulai dari pendidikan, kesehatan, lingkungan, hingga ekonomi digital. Ia harus mampu menjembatani kesenjangan antara realitas sosial dan kebijakan publik, antara kebutuhan masyarakat dan strategi pembangunan.
Lebih dari itu, riset harus dilandasi oleh semangat kolaborasi. Dunia akademik tidak dapat berjalan sendiri. Kolaborasi dengan pemerintah, industri, komunitas lokal, dan aktor lintas disiplin menjadi kunci keberhasilan riset yang berdampak.
Pendekatan transdisipliner yang menggabungkan kekuatan sains, teknologi, sosial, dan budaya sangat dibutuhkan dalam menjawab kompleksitas masalah modern. Riset yang baik adalah riset yang bukan hanya valid secara metodologis, juga relevan dan berguna secara sosial.
Demikian pula dengan pengabdian masyarakat. Paradigma pengabdian harus bergeser dari aktivitas simbolik menuju praktik transformasional. Program pengabdian perlu didasarkan pada kebutuhan nyata masyarakat dan dilakukan secara berkelanjutan.
Pengabdian tidak cukup dengan memberikan penyuluhan satu arah, tetapi harus membuka ruang partisipasi dan pemberdayaan masyarakat sebagai subjek perubahan. Inilah esensi dari pengabdian yang berbasis pengetahuan dan berbobot keilmuan.
Tentu saja, untuk menghasilkan riset dan pengabdian yang bermutu, diperlukan ekosistem akademik yang sehat. Investasi dalam infrastruktur riset, pendanaan yang memadai, pelatihan metodologi, dan insentif publikasi hanyalah sebagian dari kebutuhan tersebut.
Lebih penting dari itu adalah membangun budaya akademik yang menghargai kejujuran ilmiah, keberanian berpikir kritis, dan komitmen pada dampak sosial. Budaya ini tidak lahir secara instan, tetapi tumbuh melalui kepemimpinan akademik yang kuat dan berintegritas.
Dalam konteks ini, pemerintah juga memiliki peran strategis. Kebijakan pendidikan tinggi harus memberikan ruang dan dukungan bagi pengembangan riset dan pengabdian yang bermakna. Skema pembiayaan penelitian tidak boleh hanya berbasis output administratif, melainkan harus berbasis dampak.
Selain itu, penilaian kinerja akademisi sebaiknya tidak hanya dilihat dari jumlah publikasi, tetapi juga dari kontribusi nyata terhadap penyelesaian masalah masyarakat dan pembangunan nasional.
Publik juga perlu dilibatkan sebagai bagian dari ekosistem pendidikan dan riset. Masyarakat harus didorong untuk menjadi konsumen sekaligus mitra kritis dari pengetahuan.
Diseminasi hasil riset harus dilakukan dengan bahasa yang mudah dipahami, dan kampus harus membuka diri sebagai ruang dialog pengetahuan yang inklusif. Ketika masyarakat merasa memiliki dan mendapatkan manfaat dari dunia akademik, maka kepercayaan terhadap pendidikan tinggi akan meningkat.
Akhirnya, potret pendidikan Indonesia memang masih penuh
pekerjaan rumah. Namun, di balik tantangan itu, terdapat peluang besar untuk melakukan transformasi. Pendidikan tinggi adalah titik tumpu perubahan.
Ketika riset dan pengabdian masyarakat dilakukan dengan serius, cerdas, dan berorientasi pada dampak, maka perguruan tinggi tidak hanya akan menjadi menara gading, tetapi mercusuar peradaban.
Dan ketika ilmu pengetahuan menjadi kompas dalam pengambilan keputusan publik, maka masa depan bangsa ini akan lebih cerah dan berdaya saing.
Pendidikan adalah warisan yang melampaui generasi. Ia bukan sekadar soal masa kini, tetapi tentang arah masa depan. Oleh karena itu, seluruh pemangku kepentingan harus bahu-membahu memperbaiki kualitas, akses, dan dampak pendidikan.
Sudah saatnya kita tidak hanya membicarakan pendidikan, tetapi menjadikannya poros utama gerak maju bangsa melalui riset yang berdampak dan pengabdian yang membumi.


