EtIndonesia. Para astronom baru-baru ini untuk pertama kalinya mengamati bahwa sebuah bintang raksasa yang berada di ambang kematian mengalami fenomena “ledakan di dalam ledakan” selama proses keruntuhan, yang menghasilkan emas, platinum, dan unsur-unsur berat kosmik lainnya dalam jumlah besar.
Menurut laporan situs sains LiveScience, peristiwa yang diberi kode AT2025ulz ini pertama kali terdeteksi pada 18 Agustus 2025 oleh observatorium gelombang gravitasi LIGO di Amerika Serikat dan Virgo di Eropa.
Sinyal gelombang gravitasi awal menunjukkan bahwa ini merupakan peristiwa penggabungan benda langit. Tak lama kemudian, fasilitas Zwicky Transient Facility (ZTF) di California juga mengamati cahaya merah yang cepat meredup—ciri khas dari kilonova—yang menandakan bahwa wilayah kosmik tempat bintang tersebut berada sedang “menempa” unsur-unsur berat seperti emas dan platinum.
Namun, titik cahaya tersebut tidak meredup sepenuhnya seperti yang biasanya diamati. Sebaliknya, cahaya itu justru kembali menguat dan bergeser ke panjang gelombang biru, yang merupakan ciri khas supernova.
Tim peneliti mengajukan hipotesis bahwa ini adalah sebuah bintang raksasa yang, selama proses keruntuhan, intinya terlebih dahulu terbelah menjadi dua dan membentuk dua bintang neutron yang lebih kecil. Kedua bintang neutron tersebut kemudian bertabrakan hebat dalam hitungan jam, memicu ledakan ganda yang menggabungkan karakteristik supernova dan kilonova.
Fenomena “ledakan di dalam ledakan” ini menjelaskan mengapa data pengamatan menampilkan spektrum cahaya yang tampak bertentangan—berubah dari merah ke biru.
Yang semakin menarik perhatian para ilmuwan adalah hasil analisis data gelombang gravitasi. Penelitian menunjukkan bahwa dari dua bintang neutron yang bergabung, setidaknya satu di antaranya memiliki kemungkinan 99% bermassa lebih kecil dari Matahari. Hal ini secara langsung menantang prediksi fisika bintang konvensional, karena selama ini komunitas ilmiah umumnya meyakini bahwa batas massa minimum bintang neutron tidak boleh lebih rendah dari 1,2 kali massa Matahari.
Tim peneliti menilai bahwa hanya melalui model keruntuhan dan pembelahan bintang yang berotasi sangat cepat, bintang neutron dengan massa seringan itu dapat terbentuk.
Meski masih perlu menyingkirkan kemungkinan bahwa ini hanyalah kebetulan dari dua peristiwa tak terkait yang saling tumpang tindih, jika peristiwa “superkilonova” ini dapat dipastikan, maka hal tersebut akan menjadi terobosan besar dalam teori evolusi benda langit.
Asisten profesor Universitas Carnegie Mellon, Antonella Palmese, menyatakan bahwa jika superkilonova benar-benar ada, maka di masa depan para ilmuwan akan dapat mengamati lebih banyak kasus serupa melalui Observatorium Vera C. Rubin atau Teleskop Luar Angkasa Roman milik NASA. (hui)





