Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini?
- Mengapa wacana perubahan pilkada langsung menjadi lewat DPRD kembali berembus?
- Apa benar partai-partai politik mulai bergerilya untuk wujudkan wacana pilkada lewat DPRD?
- Bagaimana sikap partai-partai politik terhadap wacana pilkada lewat DPRD?
- Apa saja dampak yang bisa muncul bila kepala daerah dipilih oleh DPRD?
Perubahan sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) dari langsung menjadi lewat DPRD sebenarnya sudah disepakati dalam pembahasan RUU Pilkada di DPR pada 2014. Namun, kuatnya penolakan publik membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kala itu, memutuskan untuk mencabut ketentuan itu dan mengembalikan sistem pilkada langsung oleh rakyat.
Wacana untuk mengubah pilkada langsung menjadi tak langsung atau lewat DPRD kembali mengemuka di era Presiden Prabowo Subianto. Wacana itu berkali-kali muncul, tetapi kemudian hilang. Hingga pada puncak peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-61 Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, ketua umum dari partai berlambang beringin itu, mengemukakan usulan partainya untuk mengubah sistem pilkada.
Bahlil beralasan, pilkada langsung selama ini berbiaya tinggi. Akibatnya, figur yang mumpuni dan berkualitas tidak bisa maju di pilkada hanya karena tidak memiliki modal yang cukup.
Presiden Prabowo Subianto yang hadir dalam acara itu langsung menyambutnya secara positif. Ia memberi sinyal bahwa pilkada tidak langsung kembali menemukan momentumnya, seiring bergulirnya pembahasan RUU Pemilu.
Jika sebelumnya wacana pilkada lewat DPRD muncul lalu tenggelam, kini gagasan mengubah pilkada langsung terus bergulir. Partai-partai politik yang sebelumnya diam, mulai mengambil sikap.
Partai Gerindra, salah satunya. Melalui pernyataan sekretaris jenderalnya, Sugiono, Gerindra menegaskan dukungan terhadap wacana pilkada oleh DPRD.
Pernyataan resmi Gerindra melengkapi sikap parpol-parpol anggota koalisi pemerintahan lainnya. Sebelumnya, Golkar, PKB, dan PAN sudah lebih dulu menyampaikan ide perubahan sistem pilkada itu ke publik. Bahkan, Golkar juga mengklaim, sudah mengkaji secara serius berbagai kemungkinan sistem pilkada selama 1,5 tahun terakhir.
Sikap resmi Gerindra itu disampaikan setelah empat pimpinan partai politik (parpol) pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran Rakabuming bertemu di rumah dinas Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang juga Ketua Umum Partai Golkar, Minggu (28/12/2025). Selain Bahlil, tiga pimpinan parpol lainnya adalah Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan.
Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia Arifki Chaniago mengatakan, gagasan pilkada lewat DPRD mengindikasikan niat partai-partai politik untuk menata ulang peta kekuasaan di daerah sekaligus memperlihatkan wajah politik yang kian elitis. Sebab, penentuan kepala daerah bakal selesai di tingkat pimpinan pusat partai. Untuk menempatkan kader partai menjadi kepala daerah, partai pun berpotensi besar untuk melakukan barter daerah demi mencapai kesepakatan.
Partai-partai politik besar cenderung setuju bahkan mendorong terwujudnya wacana pilkada lewat DPRD. Setidaknya empat parpol di parlemen sudah menyampaikan sikap resmi, menyetujui bila kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD, bukan dipilih langsung oleh rakyat seperti yang sudah diterapkan 20 tahun terakhir. Keempat parpol itu adalah Gerindra, Golkar, PKB, dan PAN.
Politik uang dan mahalnya ongkos kontestasi terus dijadikan dalih untuk mendorong terwujudnya gagasan pilkada lewat DPRD. Partai-partai politik itu juga meyakinkan bahwa pilkada lewat DPRD tidak akan menghilangkan esensi demokrasi. Sebab, calon kepala dipilih oleh anggota legislatif yang juga dipilih oleh rakyat dalam pemilu. Nantinya, masyarakat juga tetap harus mendapatkan akses untuk mengawal aspirasi yang disalurkan lewat perwakilan mereka di DPRD.
Meski demikian, partai-partai politik nonparlemen menolak tegas gagasan pilkada lewat DPRD. Wakil Presiden Partai Buruh Said Salahuddin mengungkapkan, mayoritas partai yang tergabung dalam Gerakan Kedaulatan Suara Rakyat (GKSR) menolak pilkada melalui DPRD. GKSR beranggotakan delapan partai nonparlemen, yakni Partai Buruh, Partai Perindo, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Hanura, Partai Ummat, Partai Kebangkitan Nasional, Partai Bulan Bintang, dan Partai Berkarya. Adapun Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Gelora, dan Partai Garuda tidak tergabung dalam gerakan tersebut.
Salahuddin menegaskan, partai-partai nonparlemen konsisten mempertahankan sistem pilkada langsung karena hak rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung tidak boleh dicabut hanya karena muncul berbagai persoalan dalam pelaksanaannya, seperti mahar politik dan praktik politik uang.
Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta A Bakir Ihsan mengatakan, pihak yang paling diuntungkan dari pilkada lewat DPRD adalah partai-partai politik besar. Daya tawar politik mereka, termasuk dalam berbagai bentuk insentif, akan jauh lebih kuat.
Wacana pengembalian pemilihan kepala daerah melalui DPRD berpotensi menghapus ruang politik bagi calon perseorangan. Jika kepala daerah tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, jalur calon independen diperkirakan akan kehilangan relevansi.
Padahal, jalur perseorangan merupakan salah satu produk penting dari pilkada langsung. Bahkan, dalam praktiknya, calon perseorangan selalu hadir dan selalu ada yang memenangi kontestasi dalam setiap gelombang pilkada.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, esensi kehadiran calon perseorangan terletak pada dukungan langsung pemilih. Jalur ini dibuka karena pilihan yang disodorkan partai politik tidak selalu mampu mencerminkan aspirasi dan kehendak rakyat. Karena itu, legitimasi calon independen seharusnya diuji melalui pemilihan langsung oleh warga.
”Calon perseorangan, tapi melalui pemilihan oleh DPRD hanyalah dagelan politik yang amat jauh dari esensi latar belakang kehadiran calon perseorangan itu sendiri,” tuturnya.
Pilkada lewat DPRD, kata Titi, juga akan berdampak langsung pada kualitas partisipasi publik. Ruang aspirasi politik warga berpotensi menyempit, sementara pengambilan keputusan semakin terkonsentrasi di tangan elite. Kondisi tersebut berisiko memicu ketidakpuasan publik dan dapat berujung pada ekspresi politik yang kontraproduktif bagi kestabilan dan kekondusifan demokrasi.



