Reni Astuti: Jangan Ada Anak Indonesia Gagal Kuliah karena Masalah Biaya

suarasurabaya.net
2 jam lalu
Cover Berita

Pemerataan akses pendidikan dan penyerapan tenaga kerja menjadi sorotan utama dalam upaya mewujudkan kota yang maju dan berkelanjutan.

Reni Astuti Anggota Komisi X DPR RI menegaskan bahwa kemajuan sebuah daerah tidak boleh hanya diukur dari angka statistik semata, melainkan dari sejauh mana masyarakatnya mampu berdaya dan mendapatkan hak dasarnya secara adil.

Dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya pada Rabu (31/12/2025) pagi, legislator yang memiliki akar kuat di daerah pemilihan Surabaya ini membedah berbagai persoalan mendasar.

Reni menekankan bahwa pembangunan kota yang inklusif harus menempatkan aspek sosial sebagai prioritas tertinggi, di samping pembangunan infrastruktur dan penguatan ekonomi.

Menurut Reni, Surabaya saat ini telah mencapai level kota maju dengan angka indeks keberlanjutan yang cukup tinggi, yakni di kisaran 83 persen. Capaian ini merupakan hasil estafet kepemimpinan yang konsisten. Meski demikian, Reni mengingatkan agar keberhasilan tersebut tidak membuat pemerintah lengah terhadap persoalan yang ada di akar rumput.

“Capaian yang sudah baik ini jangan sampai mundur. Kita harus menjaganya bersama-sama. Jika ada hal-hal yang berjalan di luar mekanisme hukum, harus ada penyikapan yang tegas, adil, dan proporsional, baik oleh pemerintah daerah maupun aparat penegak hukum,” ujar Reni Astuti dengan lugas.

Salah satu tantangan nyata yang dia temukan ketika turun langsung ke masyarakat adalah tingginya angka pengangguran terbuka di kalangan anak muda. Fenomena deindustrialisasi menjadi faktor penghambat yang signifikan, di mana banyak lulusan perguruan tinggi kesulitan menembus pasar kerja karena banyaknya perusahaan yang pailit atau melakukan pengurangan tenaga kerja secara besar-besaran.

Terkait hal ini, Reni membawa aspirasi tersebut ke tingkat pusat dalam rapat kerja bersama Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek). Dia menegaskan bahwa tujuan pendidikan tinggi tidak boleh berhenti pada seremoni kelulusan saja.

“Tantangan kita bukan sekadar meningkatkan angka partisipasi di perguruan tinggi, tetapi bagaimana lulusan tersebut bisa terserap di dunia kerja. Saya sampaikan kepada Menteri Diktisaintek, angka pengangguran terbuka di angkatan muda ini masih sangat tinggi. Ini adalah PR besar bagi kita semua,” tegasnya.

Selain isu pengangguran, Reni menaruh perhatian serius pada perlindungan kelompok rentan dan masyarakat dalam kategori kemiskinan ekstrem. Meskipun penanganan kebutuhan primer oleh pemerintah daerah dinilai semakin membaik, ia mendorong adanya lompatan kebijakan untuk meningkatkan taraf hidup warga secara permanen.

Salah satu solusi konkret yang terus didorong adalah pemberian beasiswa pendidikan. Di Surabaya, program Beasiswa Pemuda Tangguh telah membantu banyak siswa. Sementara di level nasional, Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah menjadi harapan bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi tanpa terhalang kendala finansial.

“Semangatnya adalah bagaimana anak-anak Indonesia tidak dibatasi oleh persoalan ekonomi keluarganya ketika ingin menggapai cita-cita setinggi-tingginya. Jangan sampai ada anak yang tidak bisa kuliah hanya karena masalah biaya,” tegas Reni.

Di sisi legislasi, Reni memaparkan bahwa Komisi X DPR RI saat ini sedang menggodok Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) dengan metode kodifikasi. Langkah ini bertujuan untuk menyinkronkan tiga undang-undang yang berbeda menjadi satu regulasi yang komprehensif, mencakup pengaturan guru, dosen, hingga pendidikan tinggi.

Salah satu poin revolusioner dalam rancangan tersebut adalah dorongan untuk wajib belajar 13 tahun, yang dimulai sejak satu tahun sebelum memasuki sekolah dasar. Hal ini diharapkan dapat mempercepat peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia agar mampu bersaing dengan negara maju yang memiliki angka partisipasi pendidikan tinggi di atas 70 persen.

Menutup keterangannya, Reni menyoroti data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai banyaknya pemuda usia produktif yang tidak memiliki aktivitas ekonomi, pendidikan, maupun pelatihan. Ia menganggap kondisi ini sebagai ancaman bagi cita-cita Indonesia Emas 2045 jika tidak segera ditangani dengan kebijakan yang terintegrasi.

“Anak muda ini harus dikepung dengan berbagai kesempatan. Jika ingin kerja, mereka harus punya skill yang match dengan potensi daerah. Jika ingin kuliah, pemerintah harus hadir memberikan fasilitas. Kita tidak boleh membiarkan energi muda ini terbuang tanpa aktivitas yang produktif,” pungkasnya. (saf/ipg)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Juru Kampanye Greenpeace Kena Teror, Dapat Kiriman Bangkai Ayam
• 5 jam lalukatadata.co.id
thumb
Rem Blong, Honda Beat Tabrak Avanza sampai Nyantol di Atas Mobil
• 16 jam lalurealita.co
thumb
JPPI Terima Aduan Sekolah di Banten Diduga Palak SPPG Rp1.000 per Siswa Tiap Hari
• 23 jam lalusuara.com
thumb
Salut! Tinggalkan momen dilantik jadi PPPK, petugas damkar Lebak pilih gercep tangani kebakaran
• 32 menit lalubrilio.net
thumb
Literasi Al-Qur’an akan jadi Syarat Rekrutmen dan Karir Guru PAI
• 1 jam lalumediaindonesia.com
Berhasil disimpan.