FAJAR, JAKARTA — Keputusan PSSI menunjuk John Herdman sebagai pelatih baru Tim Nasional Indonesia bukan hanya soal teknis sepak bola. Di balik penetapan itu, muncul satu pertanyaan yang menarik perhatian publik: mengapa Ketua Umum PSSI Erick Thohir justru mengambil jarak dalam proses pengambilan keputusan?
Jawaban atas pertanyaan itu perlahan terkuak dari penjelasan Wakil Ketua Umum I PSSI, Zainudin Amali.
Dalam rapat Komite Eksekutif (Exco) PSSI pada 18 Desember lalu, Erick Thohir disebut secara sadar menyerahkan ruang diskusi penuh kepada anggota Exco dan Badan Tim Nasional (BTN). Dua nama dibahas secara serius: John Herdman dan Giovanni van Bronckhorst.
Namun yang menarik, Erick Thohir tidak mendominasi forum.
“Diskusi pemilihan pelatih dilepas. Para Exco memiliki kebebasan memberikan pandangan,” ujar Zainudin Amali.
Bukan Lepas Tangan, Tapi Mengubah Pola Kepemimpinan
Langkah Erick Thohir ini bukan berarti ia kehilangan kendali atau menghindar dari tanggung jawab. Justru sebaliknya, ini mencerminkan pergeseran gaya kepemimpinan di tubuh PSSI.
Selama ini, federasi sepak bola Indonesia kerap dikritik karena keputusan strategis yang terlalu sentralistik—bergantung pada satu figur kuat di puncak. Erick Thohir tampaknya ingin memutus pola itu.
Dengan membiarkan Exco dan BTN berdiskusi bebas, Erick memberi pesan penting:
keputusan timnas adalah keputusan kolektif, bukan kehendak pribadi ketua umum.
Baru setelah konsensus mengerucut, Erick Thohir kembali memimpin rapat dan mengesahkan keputusan.
Menghindari Beban Politik dan Konflik Persepsi
Tak bisa dimungkiri, posisi Erick Thohir memiliki beban ganda. Selain Ketua Umum PSSI, ia juga menjabat Menpora
Jika Erick terlalu dominan dalam memilih pelatih timnas, risiko kritik akan berlipat:
Dengan menyerahkan proses kepada Exco dan BTN, Erick mengamankan legitimasi keputusan. Siapa pun pelatih yang dipilih—termasuk John Herdman—akan berdiri di atas keputusan organisasi, bukan figur.
Mengapa John Herdman Akhirnya Dipilih?
Dalam diskusi tersebut, John Herdman dinilai unggul karena:
pengalaman membangun tim nasional dari nol (Kanada),
keberhasilan lolos ke Piala Dunia,
rekam jejak mengelola transisi pemain muda,
dan karakter kepemimpinan yang kuat dalam struktur federasi.
Model ini dinilai relevan dengan kondisi Timnas Indonesia yang sedang berada di fase pembangunan jangka menengah, bukan sekadar target instan.
Zainudin Amali: Figur Penyeimbang
Menarik pula mencermati peran Zainudin Amali. Sebagai mantan Menpora dan Wakil Ketua Umum I PSSI, Amali berada di titik tengah antara teknokrasi dan politik olahraga.
Ketika Erick Thohir “mundur satu langkah”, Amali justru tampil sebagai penjaga proses—memastikan diskusi berjalan, bukan memaksakan kehendak.
Kesimpulan: Erick Thohir Sedang Membangun Sistem, Bukan Sekadar Timnas
Apa yang terjadi bukan soal “ada apa dengan Erick Thohir”, melainkan apa yang sedang ia bangun di PSSI.
Ia memilih:
menguatkan peran Exco,
memberi otonomi pada BTN,
dan menempatkan diri sebagai pengesah, bukan penentu tunggal.
Jika pendekatan ini konsisten, maka penunjukan John Herdman bisa menjadi penanda era baru tata kelola PSSI—lebih kolektif, lebih profesional, dan lebih tahan kritik.




