Ketika Gen Z Perempuan Suka Naik Gunung daripada ke Mall

kumparan.com
2 jam lalu
Cover Berita

Pagi itu, langit di atas hutan alam Sukawana Bandung seperti baru saja terbangun dari mimpi panjangnya. Kabut tipis menggantung malas, seolah belum rela melepaskan malam. Udara dingin menyelip ke sela jaket, menusuk lembut, justru membuat langkah terasa lebih hidup. Penulis berdiri di antara puluhan pendaki lain, dan sejak awal terasa ada yang berbeda. Dari sekian banyak ransel yang bergerak perlahan di jalur, sebagian besar menempel mesra dipunggung oleh perempuan muda. Rambut dikuncir sederhana, sebagian lain tertutup hijab yang anggun, sepatu trekking baru, dan wajah-wajah yang memantulkan semangat. Gunung pagi itu seperti panggung kecil tempat generasi muda belajar mencintai dirinya sendiri.

Sepanjang jalur Trek 11 Sukawana, penulis menyadari satu hal menarik: lebih dari separuh pendaki adalah cewek Gen Z. Mereka datang berkelompok, dua sampai enam orang, kadang tertawa lepas, kadang terdiam sambil mengatur napas. Ada pula yang datang berpasangan, melangkah beriringan seperti dua titik yang saling menguatkan. Jalurnya ramah, tidak terlalu curam, seolah sengaja dirancang untuk menyambut pendaki pemula dengan hangat. Hutan pinus berdiri rapi seperti barisan penjaga, sementara di beberapa titik hutan alami terasa liar tetapi menenangkan. Setiap langkah seperti percakapan sunyi antara manusia dan bumi.

Gunung ini bukan sekadar tempat tinggi dengan pemandangan indah. Ia terasa seperti sahabat lama yang setia mendengarkan tanpa menghakimi. Angin mengelus pelan, dedaunan berbisik lirih, dan cahaya matahari menyelinap malu-malu di sela ranting. Di sinilah romantisme itu tumbuh, bukan tentang cinta dua insan semata, tetapi tentang pulang pada diri sendiri. Tak heran jika banyak pasangan muda memilih mendaki bersama, bukan untuk pamer, melainkan untuk berbagi hening yang sulit ditemukan di kota.

Di tengah perjalanan, penulis bertemu Anis, gadis tujuh belas tahun dengan senyum yang mudah menular. Ia mendaki bersama beberapa teman dari sekolah berbeda. Mereka bertemu karena satu kesamaan sederhana: sama-sama suka naik gunung. “Kami awalnya kenal dari komunitas kecil di medsos,” katanya sambil membetulkan tali ransel. “Terus ternyata cocok, jadi sering naik bareng.” Libur semester jadi alasan sempurna untuk kabur sejenak dari tugas sekolah dan notifikasi yang tak pernah berhenti.

“Aku lebih suka naik gunung daripada ke mall,” ujar Anis santai. “Di mall capek, berisik, dan ujung-ujungnya beli hal yang nggak perlu.” Ia terkekeh. “Kalau di gunung, capeknya beda. Badan lelah, tapi kepala jadi enteng.” Temannya, Aris, menyela sambil mengangkat ponsel, “Dan jujur aja, fotonya cakep banget. Bisa buat konten.” Kami tertawa bersama. Lalu Septia menambahkan pelan, “Aku suka karena di sini aku bisa hening dan bersyukur.” Kalimatnya sederhana, tapi terasa dalam.

Puncak Panyawangan memang seperti ruang aman bagi pendaki pemula. Jalurnya tidak rumit, tapi cukup menantang untuk membuat jantung bekerja. Pemandangan kanan kiri terasa seperti lukisan hidup yang terus berganti. Kadang hutan pinus yang rapi, kadang semak liar yang ramai oleh suara serangga. Para pendaki sering berhenti, bukan karena kelelahan, melainkan karena tak ingin melewatkan momen. Kamera ponsel terangkat, namun tak semuanya untuk dipamerkan. Sebagian hanya ingin menyimpan kenangan, bukti bahwa mereka pernah melangkah sejauh ini.

Di balik tawa dan foto, ada alasan yang lebih dalam mengapa Gen Z, terutama perempuan, jatuh cinta pada gunung. Hidup mereka dipenuhi layar, notifikasi, dan tuntutan untuk selalu tampil baik. Gunung menjadi ruang jeda. Tempat di mana mereka tak perlu membalas pesan cepat, tak perlu terlihat sempurna. Di sini, napas lebih penting daripada feed. Langkah lebih berarti daripada jumlah like. Gunung memberi mereka izin untuk berhenti sejenak tanpa rasa bersalah.

Media sosial memang punya peran besar. Banyak yang awalnya tertarik karena video TikTok dengan musik galau dan caption puitis. Namun setelah sekali mendaki, rasa itu berubah. FOMO berganti rindu. “Awalnya cuma ikut-ikutan,” kata seorang pendaki lain, “tapi setelah naik, aku ngerti kenapa orang bisa ketagihan.” Gunung ternyata bukan sekadar latar foto, melainkan ruang refleksi yang diam-diam menyembuhkan.

Di jalur pendakian, interaksi terasa lebih jujur. Tak ada filter, tak ada editan. Kalau capek, bilang capek. Kalau haus, minta minum. Solidaritas tumbuh alami. Air dibagi, camilan diedarkan, tawa dibagi rata. Di sini, semua setara. Tak peduli berapa jumlah pengikutmu di media sosial, yang penting kamu kuat melangkah dan mau saling bantu. Gunung mengajarkan bahwa kebersamaan bukan soal tampil, tapi soal hadir.

Sebagian dari mereka membawa cerita patah hati. Ada yang baru putus, ada yang sedang kehilangan arah. Gunung menjadi tempat menitipkan luka, bukan untuk dilupakan, tetapi untuk dipahami. Setiap langkah seperti terapi perlahan. Napas diatur, keringat jatuh, dan hati ikut dibersihkan. Di ketinggian, masalah terasa mengecil, bukan karena tak penting, tetapi karena kita belajar melihatnya dari jarak yang lebih jujur.

Menariknya, para pendaki muda ini juga punya kesadaran lingkungan yang kuat. Mereka tak datang lalu pergi begitu saja. Sampah dipungut, jalur dijaga, alam dihormati. “Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi?” ucap Sahwa, pendaki perempuan berusia enam belas tahun, sambil memasukkan bungkus plastik ke dalam tasnya. Gunung bukan tempat membuang ego, melainkan ruang belajar tanggung jawab. Di sini, cinta pada alam bukan slogan, tapi tindakan kecil yang konsisten.

Mendaki juga menjadi cara mereka mengenal diri sendiri. Di setiap tanjakan, muncul pertanyaan. Di setiap istirahat, tumbuh refleksi. Gunung tidak memberi jawaban instan, tetapi mengajarkan proses. Bahwa tak apa berjalan pelan, asal terus bergerak. Bahwa lelah bukan tanda kalah, melainkan bukti berusaha. Dan bahwa sampai di puncak bukan akhir, melainkan awal dari pemahaman baru.

Saat akhirnya Puncak Panyawangan menyambut, tak ada teriakan berlebihan. Hanya senyum, pelukan, dan pandangan yang lama menatap jauh, lalu jepret-jepret foto bersama. Di sana, Gen Z perempuan berdiri bukan sekadar sebagai pendaki, melainkan sebagai individu yang sedang belajar berdamai dengan dirinya sendiri. Gunung mencatat langkah mereka, angin menyimpan kisahnya. Dan di antara kabut yang perlahan menebal, satu hal menjadi jelas: mendaki bukan soal seberapa tinggi, melainkan tentang menemukan makna di setiap langkah yang berani diambil.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Foto: Anjing-anjing Berbusana Natal Ramaikan Jalanan di Madrid Spanyol
• 23 jam lalukumparan.com
thumb
Pengujung 2025, Hujan Berpotensi Guyur Sejumlah Wilayah Sulsel
• 11 jam laluharianfajar
thumb
Angkot Disetop Sementara, Sopir Semringah Dapat Kompensasi Rp 600 Ribu
• 5 jam lalujpnn.com
thumb
Konstitusi Indonesia Tak Kaku, Evaluasi Pilkada Langsung Dimungkinkan
• 2 jam lalujpnn.com
thumb
LRT Jakarta Beroperasi Lebih Lama Saat Malam Pergantian Tahun Baru, Ini Jam Operasionalnya
• 8 jam laluliputan6.com
Berhasil disimpan.