JAKARTA, KOMPAS.com - Fraksi Partai Gerindra menilai wacana pilkada melalui DPRD bukanlah langkah mundur demokrasi, melainkan upaya menyempurnakan sistem demokrasi agar bekerja lebih efektif dan berpihak kepada rakyat.
“Menimbang ulang pilkada langsung seharusnya ditempatkan dalam kerangka yang sama: menyempurnakan, bukan memundurkan,” kata Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Gerindra Azis Subekti dalam keterangan tertulisnya, Rabu (31/12/2025).
Ia menyebutkan, pemilihan kepala daerah melalui DPRD merupakan salah satu opsi konstitusional yang layak dipertimbangkan secara rasional.
“Pemilihan kepala daerah melalui DPRD merupakan salah satu opsi konstitusional yang layak dipertimbangkan secara rasional. DPRD adalah lembaga perwakilan yang lahir dari mandat rakyat dan bekerja dalam ruang politik yang relatif lebih terawasi,” ujarnya.
Baca juga: Usulan Pilkada via DPRD Dikritik, Gerindra: Konstitusi RI Tidak Kaku
Menurut Azis, dengan desain yang transparan, mekanisme pilkada melalui DPRD justru berpotensi menekan biaya politik dan memperbaiki kualitas kompetisi politik.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=pilkada melalui DPRD, biaya politik, gerindra, Demokrasi efektif&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8zMS8xNzQ2MzQ0MS9nZXJpbmRyYS1zZWJ1dC1waWxrYWRhLXZpYS1kcHJkLXVudHVrLXBlbnllbXB1cm5hYW4tZGVtb2tyYXNpLWJ1a2Fu&q=Gerindra Sebut Pilkada via DPRD untuk Penyempurnaan Demokrasi, Bukan Kemunduran§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `“Dengan desain yang transparan, yakni uji publik terbuka, penyampaian visi-misi yang terukur, rekam jejak calon yang dapat diuji, serta pengawasan media, mekanisme ini berpotensi menekan biaya politik dan memindahkan kompetisi dari arena mobilisasi uang ke arena gagasan dan kapasitas kepemimpinan,” kata dia.
Azis menilai, dalam mekanisme tersebut, calon kepala daerah tidak lagi dituntut membiayai kampanye massal yang mahal, melainkan harus meyakinkan wakil rakyat dan publik dengan program yang konkret.
“Sebagai contoh, calon kepala daerah tidak lagi dituntut membiayai kampanye massal yang mahal, tetapi harus meyakinkan wakil rakyat dan publik dengan program konkret: bagaimana memperbaiki layanan kesehatan, mengelola anggaran daerah, atau menciptakan lapangan kerja,” tutur Azis.
Baca juga: PDI-P Sebut Pilkada via DPRD Bertentangan dengan UUD 1945 dan Keadaban Demokrasi
Azis menambahkan, DPRD dan publik juga memiliki dasar politik yang lebih jelas untuk menuntut pertanggungjawaban, jika kepala daerah yang terpilih kemudian menyimpang.
Dia mengakui, tidak ada sistem demokrasi yang sepenuhnya bebas dari risiko transaksi politik.
Namun, menurut dia, demokrasi bukan soal menghapus risiko, melainkan memilih desain yang paling rasional dan dapat diawasi.
“Tentu, tidak ada sistem yang sepenuhnya steril dari risiko transaksi. Namun demokrasi bukan soal menghapus risiko secara absolut, melainkan memilih desain yang paling rasional dan paling bisa diawasi,” ujarnya.
Azis mengingatkan bahwa perdebatan mengenai pembaruan sistem pilkada seharusnya tidak terjebak dalam polarisasi politik.
Sebab, substansi demokrasi yang harus dijaga adalah kemampuan sistem politik untuk menghadirkan kepemimpinan daerah yang stabil, bertanggung jawab, dan berpihak kepada rakyat.
Baca juga: Tolak Pilkada via DPRD, PDI-P: Rakyat Bisa Marah Hak Demokrasinya Diambil
“Pada akhirnya, yang harus dijaga adalah substansi demokrasi itu sendiri, menghadirkan kepemimpinan daerah yang stabil, bertanggung jawab, dan berpihak pada kepentingan rakyat,” jelas Azis.




