BENCANA banjir dan longsor yang melanda Sumatera pada akhir 2025, kembali menyingkap tantangan lama dalam sistem manajemen kebencanaan Indonesia.
Meski dampak fisiknya sangat parah, implikasi yang lebih luas tak kalah penting untuk dicermati: Indonesia masih belum mampu memastikan bahwa data kebencanaan yang semakin canggih dapat digunakan secara konsisten untuk pencegahan dan mitigasi bencana.
Sesungguhnya, Indonesia tidak kekurangan data. Berbagai kementerian/lembaga serta pemerintah daerah memiliki informasi yang kaya mengenai hidrometeorologi, tata guna lahan, kondisi daerah aliran sungai, aktivitas seismik, hingga histori bencana.
Instrumen seperti InaRISK, yang dikelola Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menyediakan penilaian risiko hingga tingkat kabupaten/kota.
Di saat yang sama, pengamatan satelit memungkinkan tersedianya citra hampir real time terkait curah hujan dan perubahan tutupan lahan. Dalam satu dekade terakhir, infrastruktur data kebencanaan berkembang pesat.
Namun, bencana di Sumatera kembali menunjukkan kesenjangan yang terus berulang: ketersediaan data tidak otomatis berujung pada pemanfaatan data, terutama dalam perencanaan pembangunan, pengaturan tata ruang, dan upaya mitigasi dini.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=banjir sumatera, bencana sumatera&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8yOC8wNzA1MDA2MS9iYW5qaXItc3VtYXRlcmEtLWtldGlrYS1kYXRhLXRpZGFrLW1lbnllbGFtYXRrYW4tbnlhd2E=&q=Banjir Sumatera: Ketika Data Tidak Menyelamatkan Nyawa§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Masalah ini lebih berakar pada tata kelola kelembagaan ketimbang keterbatasan teknologi.
Baca juga: Bencana Sumatera dan Dilema Diplomasi Indonesia
Banyak akademisi dan pengamat lingkungan menegaskan bahwa banjir besar dan longsor di Sumatera bukan semata akibat curah hujan ekstrem, melainkan juga hasil dari kerentanan struktural yang telah lama terbentuk—mulai dari deforestasi di wilayah hulu, ekspansi perkotaan ke dataran banjir, degradasi fungsi daerah aliran sungai, hingga lemahnya penegakan rencana tata ruang.
Ironisnya, kondisi-kondisi tersebut telah terdokumentasi selama puluhan tahun. Namun, Indonesia kerap terjebak dalam apa yang bisa disebut sebagai “siklus manajemen krisis”: mobilisasi cepat pascabencana, perhatian politik yang tinggi saat tanggap darurat, tetapi kemajuan yang minim dalam mitigasi berkelanjutan.
Ketika fase darurat berakhir, momentum reformasi sistemik perlahan memudar. Akibatnya, data risiko bencana yang tersedia jarang benar-benar memengaruhi keputusan pembangunan.
Kontroversi pascapernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto—yang menyebut kondisi di lapangan tidak separah gambaran di media sosial—menunjukkan persoalan lain dalam pengelolaan informasi.
Media sosial menangkap dampak bencana secara real time, sementara pelaporan resmi harus melalui proses verifikasi berjenjang. Perbedaan tempo ini kerap menghambat pengambilan keputusan dini, terutama pada fase kritis awal bencana.
Namun, tantangannya bukan sekadar soal arus data dan informasi. Situasi ini mencerminkan persoalan lebih mendasar: ekosistem data kebencanaan Indonesia masih terfragmentasi.
Meski banyak lembaga menghasilkan data berkualitas tinggi, integrasinya ke dalam satu platform operasional yang terpadu belum berjalan optimal.



