Mengapa Indonesia Selalu Gagap dalam Mitigasi Bencana?

kompas.id
5 jam lalu
Cover Berita

Indonesia hidup di bawah bayang-bayang risiko bencana yang sangat tinggi. Laporan World Risk Report 2023 menempatkan Indonesia sebagai negara paling rawan bencana kedua di dunia. Ironisnya, tingginya risiko ini tidak diimbangi dengan kapasitas kesiapsiagaan yang memadai. Salah satu aspek terburuk justru terletak pada kemampuan mengatasi dampak bencana (coping capacity), yang mencerminkan lemahnya kesiapan masyarakat dan negara dalam merespons serta memulihkan diri pascabencana.

Kesenjangan paling nyata terlihat pada mitigasi. Data menunjukkan hanya sebagian kecil wilayah Indonesia yang memiliki sistem mitigasi dasar seperti peringatan dini, jalur evakuasi, dan perlengkapan keselamatan. Bahkan, provinsi dengan cakupan mitigasi tertinggi pun baru menjangkau sekitar 15 persen wilayahnya. Artinya, mayoritas daerah masih sangat rentan ketika bencana datang sehingga respons kerap bersifat darurat dan reaktif, bukan hasil dari kesiapan yang matang.

Di sisi lain, Indonesia sesungguhnya kaya pengetahuan lokal tentang kebencanaan. Tradisi seperti smong di Aceh terbukti menyelamatkan banyak nyawa, tetapi kearifan semacam ini kian terpinggirkan dan tidak terintegrasi dalam kebijakan mitigasi modern. Lemahnya budaya tanggap bencana—masyarakat yang cenderung menunggu negara—membuat kesiapsiagaan kolektif sulit terbentuk.

Padahal, menghadapi bencana yang tak terelakkan, Indonesia membutuhkan perubahan paradigma: dari sekadar bertahan setelah bencana, menjadi bangsa yang siap hidup berdampingan dengannya.

Beberapa informasi yang akan Anda dapatkan dalam artikel ini adalah:
  1. Seberapa besar risiko bencana alam di Indonesia dan apa dampaknya pada kesiapsiagaan bangsa?
  2. Seberapa siap Indonesia dalam mitigasi bencana?
  3. Bagaimana peran pengetahuan lokal dalam menghadapi bencana dan apa kendalanya di Indonesia?
  4. Apakah faktor budaya tanggap bencana memengaruhi kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana?
Seberapa besar risiko bencana alam di Indonesia dan apa dampaknya pada kesiapsiagaan bangsa?

Indonesia tercatat sebagai salah satu negara paling berisiko terhadap bencana alam di dunia. Laporan World Risk Report 2023 yang dirilis Bündnis Entwicklung Hilft dan IFHV of the Ruhr-University Bochum menunjukkan, Indonesia menjadi negara paling rawan bencana kedua di dunia setelah Filipina dengan skor Indeks Risiko Global 43,50.

Hidup di negara paling rawan bencana kedua di dunia membuat memahami kondisi risiko bencana penting dilakukan. Selain menjadi informasi sebagai langkah awal dalam identifikasi risiko, lebih lanjut upaya itu bisa menjadi acuan dalam menjalankan manajemen risiko serta mengurangi risiko bencana dalam jangka panjang.

Sayangnya, dari lima aspek penyusun indeks, aspek kurangnya kapasitas mengatasi (lack of coping capacities) juga tinggi. Bahkan, aspek ini mendapat skor 50,59, tertinggi dari empat aspek lain, yaitu keterpaparan (exposure), kerentanan (vulnerability), kerawanan (susceptibility), dan kurangnya kapasitas adaptif (lack of adaptive capacities).

Kapasitas mengatasi mengacu pada kemampuan dan langkah-langkah masyarakat untuk melawan hal-hal buruk dampak peristiwa alam atau perubahan iklim melalui tindakan langsung untuk mengurangi kerusakan dalam waktu dekat setelah suatu peristiwa terjadi dan memulai pemulihan. 

Baca JugaPentingnya Memahami Risiko Bencana
Seberapa siap Indonesia dalam mitigasi bencana?

Ada kesenjangan besar antara tingkat risiko bencana dan upaya mitigasi yang diterapkan di Indonesia. Meskipun wilayah rawan tersebar luas, antisipasi dan kesiapan di banyak daerah masih rendah. Hal ini berarti langkah mitigasi belum merata dan masih kurang optimal dibandingkan kebutuhan berdasarkan risiko yang dihadapi.

Pemerintah Indonesia perlu melakukan evaluasi besar terkait kebencanaan nasional, terutama dalam memenuhi standar mitigasi menekan dampak bencana. Pasalnya, cakupan wilayah yang memiliki sistem mitigasi bencana di Indonesia sangat rendah.

Rendahnya wilayah yang memiliki antisipasi bencana itu terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai jumlah desa atau kelurahan yang telah memiliki sistem mitigasi dasar. Mitigasi dasar yang dimaksud adalah sistem peringatan dini, perlengkapan keselamatan, dan jalur evakuasi. Daerah yang sudah memiliki sistem antisipasi dasar bencana ini cenderung lebih tangguh dari daerah yang belum menerapkan sistem serupa.

Jumlah daerah atau wilayah yang memiliki sistem mitigasi dasar harus terus ditingkatkan. Pasalnya, hingga saat ini, daerah (provinsi) yang telah memiliki sistem mitigasi itu terbanyak hanya sebesar 15,1 persen dari seluruh cakupan wilayahnya. Artinya, masih sangat banyak wilayah di Indonesia yang belum siap dan berisiko tinggi mengalami dampak besar saat terjadi bencana.

Setidaknya ada lima provinsi yang memiliki sistem mitigasi paling rendah di Indonesia, yaitu Sulawesi Barat, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tenggara. Kelima provinsi tersebut rata-rata memiliki sistem mitigasi dasar hanya di 37 desa/kelurahan di wilayah provinsinya. Padahal, setiap provinsi tersebut rata-rata memiliki jumlah desa/kelurahan minimal 400 desa.

Baca JugaBesarnya Kesenjangan antara Mitigasi dan Risiko Bencana di Indonesia
Bagaimana peran pengetahuan lokal dalam menghadapi bencana dan apa kendalanya di Indonesia?

Pemanfaatan pengetahuan lokal untuk mitigasi bencana di Indonesia masih belum optimal. Indonesia sangat kaya dengan pengetahuan lokal terkait kebencanaan. Namun, kearifan lokal tersebut masih termarjinalkan, belum dimanfaatkan dengan baik, sehingga saat bencana masih banyak korban berjatuhan.

Padahal, pengetahuan tradisional—seperti budaya smong di Aceh yang efektif menyelamatkan warga dari tsunami besar—seharusnya bisa menjadi bagian penting dalam strategi pengurangan risiko bencana. Kurangnya pengintegrasian pengetahuan lokal ini menunjukkan gap dalam pendekatan kebencanaan.

Oleh karena itu, mitigasi bencana berbasis pengetahuan lokal perlu dihidupkan kembali. Apalagi, perkembangan teknologi saat ini belum dapat memprediksi terjadinya sejumlah bencana, antara lain gempa, tsunami, dan puting beliung.

Sebagai negara yang memang ”pasar” bencana, kita harus menjadi yang terdepan, seperti halnya Jepang, untuk memitigasi, menghadapi, dan mempersiapkan masyarakat, khususnya anak muda, untuk hidup berdampingan bersama bencana.

Salah satu yang bisa dilakukan adalah meneliti kearifan lokal tentang kebencanaan untuk menggali kembali narasi-narasi mitigasi bencana dan menyebarluaskan hasilnya. Sebab, banyak pengetahuan lokal, seperti tradisi lisan, yang terputus sehingga tidak lagi dipahami secara utuh oleh generasi saat ini.

Baca JugaPemanfaatan Pengetahuan Lokal untuk Mitigasi Bencana Belum Optimal
Apakah faktor budaya tanggap bencana memengaruhi kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana?

Budaya tanggap bencana menjadi faktor penting yang masih perlu dikembangkan di Indonesia. Keterbatasan sumber daya dan anggaran pemerintah membuat partisipasi masyarakat menjadi kunci. Namun, saat ini masyarakat masih cenderung menunggu respons pemerintah, sementara inisiatif proaktif, seperti pelatihan, pendidikan, dan kesiapan komunitas, masih lemah.

Kolaborasi 3T (tulus, total, terpadu) adalah budaya tanggap bencana yang perlu dikembangkan di berbagai lapisan masyarakat. Kalangan yang tidak punya waktu dan energi, tetapi punya kemampuan ekonomi bisa membantu dari segi dukungan perlengkapan mitigasi bencana di wilayah terdekat.

Kalangan yang punya jabatan dan pengaruh bisa mendukung pengorganisasian masyarakat, bukan untuk mencari keuntungan. Pemuka dari enam agama besar perlu meningkatkan pesan keagamaan bernuansa penguatan kesadaran lingkungan dan kesiapan umat menghadapi bencana dengan agenda konkret.

Kemudian, pendidikan tinggi perlu mengorientasikan penelitian dan pengabdian masyarakatnya untuk membantu menyiapkan masyarakat tanggap bencana. Misalnya, fakultas-fakultas teknik di Indonesia dikerahkan untuk merancang tenda-tenda praktis berbagai ukuran, perahu karet, pelampung penyelamat sederhana, pakaian atau jaket tahan air, untuk disediakan secara cuma-cuma di titik-titik lokasi yang rawan bencana. Di beberapa daerah, dana desa dialihkan untuk mengoptimalkan kegiatan ini.

Sementara itu, fakultas-fakultas sosial dan humaniora lebih gencar membangun pengertian masyarakat agar terbangun budaya tanggap dan tangguh bencana. Tak kalah penting, media perlu menyediakan rubrik tanggap bencana lebih besar guna mendukung visi masa depan lingkungan hidup berkelanjutan.

Baca JugaBudaya Tanggap Bencana

Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pembersihan Pesantren Darul Mukhlisin di Aceh Tamiang Terus Dilakukan
• 8 jam lalukatadata.co.id
thumb
Solidaritas untuk Sumatera, Fatma Saifullah Ajak Ratusan Anak Doa Bersama
• 3 jam laludetik.com
thumb
PDI-P Jateng Harus Langsung Terjun Ke Rakyat, Jika Ingin Pertahankan Kandang Banteng
• 4 jam lalukompas.com
thumb
Skylar Buka Keran Trofi Internasional Bersama ONIC di GOF
• 3 jam laluskor.id
thumb
Deretan Perjanjian Perdagangan Internasional Indonesia dan Negara Lain Hingga 2025
• 22 jam lalubisnis.com
Berhasil disimpan.