Ketika Banjir Menyatukan Serumpun

kumparan.com
4 jam lalu
Cover Berita

Musibah tidak memilih waktu. Ketika banjir besar melanda Sumatera Barat pada November 2025, banyak keluarga terpaksa kehilangan rumah, harta benda, bahkan orang terkasih mereka. Namun, di tengah duka itu, ada cerita lain yang jauh lebih indah. Ada cerita tentang bagaimana budaya tolong menolong yang tertanam dalam jiwa masyarakat Minangkabau kembali berkobar dengan terang, dan bagaimana nilai yang sama juga hidup di dada saudara serumpun di seberang lautan: masyarakat Melayu di Malaysia.

Batas negara tidak pernah benar-benar memisahkan kedekatan budaya sebagai sesama Melayu. Nilai-nilai leluhur tidak mati dalam cerita rakyat mereka masih hidup dan bernapas dalam setiap tindakan nyata, baik di kampung sendiri maupun lintas batas negara.

Sebagai seorang mahasiswi Universitas Andalas yang melihat langsung dampak musibah ini melanda banyak teman-teman saya, saya ingin berbagi apa yang saya lihat, apa yang menggerakkan hati saya hingga menitikkan air mata bangga sebagai keturunan Minangkabau, sekaligus sebagai bagian dari keluarga besar Melayu di Nusantara.

Ketika saya bertanya kepada beberapa teman tentang siapa yang menolong mereka ketika kosan mereka terendam air, jawaban mereka tidak selalu menyebut nama lembaga formal atau institusi pemerintah. Justru, mereka tersenyum dan menyebut nama ibu kos mereka.

Seorang ibu kos, seorang perempuan yang mungkin tidak memiliki banyak, dengan hati yang tulus merelakan rumah pribadinya untuk dijadikan tempat pengungsian bagi mahasiswa-mahasiswa yang terdampak. Rumah itu bukan hanya tempat menginap sementara. Rumah itu menjadi pelabuhan bagi mereka yang kehilangan segalanya. Di sana, ada kehangatan, ada makanan yang disiapkan dengan cinta, ada kepastian bahwa mereka tidak sendirian.

Ini bukanlah keputusan bisnis. Ini adalah pilihan untuk berbagi dalam kesusahan. Ini adalah manifestasi nyata dari nilai-nilai yang diajarkan nenek moyang kita tentang pentingnya sesama.

Yang lebih menggerakkan hati lagi adalah melihat mahasiswa-mahasiswa yang sendiri juga menjadi korban bencana, tetap dengan semangat yang membara, ikut serta menjadi relawan bagi korban lainnya. Di saat mereka melihat rumah orang tua mereka rusak, harta benda mereka hilang, mereka justru bertanya: “Siapa lagi yang perlu dibantu? Di mana saya bisa membantu?”

Inilah yang mereka pahami tentang tolong menolong sejati. Bukan membantu karena kita berlebih, tetapi membantu meski sama-sama berkekurangan. Inilah yang membedakan budaya Minangkabau dari sekadar altruisme, ini adalah solidaritas yang tulus, spontan, tanpa pamrih.

Saya melihat mereka membersihkan rumah korban lainnya dengan tangan yang sama bergetarnya. Saya melihat mereka berbagi bekal seadanya dengan orang-orang yang mereka tidak kenal. Saya melihat mereka tersenyum di tengah air mata. Itulah momen ketika saya benar-benar memahami apa artinya menjadi bagian dari keluarga besar Minangkabau.

Namun, kisah tentang tolong menolong tidak berhenti di Sumatera Barat saja. Di tengah berita duka tentang banjir dan longsor di berbagai wilayah Sumatra, ada satu kabar yang kembali menguatkan keyakinan bahwa budaya gotong royong bukan hanya milik satu suku atau satu daerah, melainkan milik sebuah keluarga besar budaya: keluarga Melayu.

Dari seberang Selat Malaka, Malaysia negara yang banyak dihuni keturunan Melayu yang secara historis dan budaya berakar pada rumpun yang sama dengan Minangkabau mengirimkan bantuan obat-obatan dan tenaga medis untuk membantu korban banjir dan longsor di Aceh dan wilayah lain di Sumatra. Di balik tumpukan kardus berisi obat dan peralatan medis, sesungguhnya ada pesan yang jauh lebih besar: “Engkau tidak sendirian, wahai saudaraku.”

Dalam kajian lintas budaya, hubungan Minangkabau dan Melayu sering dibicarakan sebagai hubungan “adik-kakak” dalam satu rumpun besar. Ketika Malaysia mengulurkan bantuan kepada korban bencana di Sumatra, yang bergerak bukan sekadar diplomasi atau hubungan internasional, melainkan ikatan budaya dan sejarah. Ada semangat “serumpun” yang hidup bahwa ketika satu wilayah Melayu terluka, wilayah Melayu lainnya ikut merasakan perih yang sama.

Di sinilah banjir tidak hanya menjadi bencana alam, tetapi juga menjadi cermin hubungan lintas budaya. Di satu sisi, terlihat bagaimana Minangkabau menjaga nilai tolong menolong di dalam komunitasnya sendiri. Di sisi lain, tampak bagaimana rumpun Melayu di Malaysia ikut menyambung tangan, memperlihatkan bahwa nilai itu menyeberangi laut.

Di era di mana individualisme semakin menggerogoti ikatan sosial, di mana banyak orang berpikir bahwa setiap orang harus mandiri sepenuhnya tanpa perlu bergantung pada orang lain, budaya tolong menolong Minangkabau menghadirkan wawasan yang berbeda. Budaya ini memahami bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kadang-kadang, kita membutuhkan orang lain. Dan saat itulah tiba, kehadiran sesama itu lebih berharga daripada emas.

Banjir tahun ini telah mengajarkan bahwa nilai-nilai itu bukan sekadar kata-kata indah dalam petitih (pepatah) nenek moyang. Nilai-nilai itu adalah kekuatan nyata yang mampu menyatukan orang-orang untuk berbuat baik, mampu mengangkat semangat ketika segalanya terasa remuk, dan mampu membuktikan bahwa kemanusiaan kita masih utuh, baik sebagai orang Minangkabau, maupun sebagai bagian dari rumpun Melayu yang lebih luas.

Mungkin itulah yang harus kita pahami. Budaya adalah sesuatu yang hidup. Budaya Minangkabau dan budaya Melayu bukan warisan yang kaku dan kuno, tetapi warisan yang terus bergerak, berkembang, dan membuktikan relevansinya dalam setiap musibah, dalam setiap tantangan, dan dalam setiap momen ketika manusia membutuhkan kemanusiaan. Di ruang kajian lintas budaya, apa yang terjadi di Sumatera Barat, Aceh, dan Malaysia ini menjadi contoh nyata bagaimana nilai budaya bisa berubah menjadi aksi nyata lintas batas.

Banjir meninggalkan banyak luka. Tetapi cerita-cerita tentang tolong menolong, tentang ibu kos yang rela mengorbankan, tentang relawan muda yang tetap bersemangat meski terluka, serta tentang saudara serumpun dari Malaysia yang datang membawa obat-obatan dan harapan, cerita-cerita itu meninggalkan bukti yang jauh lebih dalam. Mereka membuktikan bahwa nilai-nilai Minangkabau dan Melayu masih memiliki jiwa, masih memiliki denyut nadi.

“Sasakik sasanang, sahino samalu, nan ado samo dimakan, kok indak samo ditahan, barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang. Ka bukik samo mandaki, ka lurah samo manurun, tatilungkuik samo makan tanah, talilantang samo makan angin.”

Pepatah ini bukan sekadar hiasan bertutur, tetapi manifesto kehidupan. Saat sakit, kita saling mengasihani satu sama lain. Saat senang, kita saling bermufakat. Makanan yang ada dimakan bersama, dan jika tidak ada, kita sama-sama bertahan. Beban yang berat kita pikul bersama-sama, sedangkan beban yang ringan kita bantu satu sama lain. Ke puncak gunung kita naiki bersama, ke lembah kita turun bersama. Kita saling menopang saat telentang kelaparan dan saling menanggung saat terapung tak tentu arah.

Itulah Minangkabau sesungguhnya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pos Operasi Lilin 2025 Kayuagung Siaga Layani Pemudik Nataru
• 5 jam lalutvrinews.com
thumb
Pegadaian Championship: Kim Kurniawan Sebut Mental Pemain Bagus, Siap Rebut Kemenangan saat Ladeni Persipal
• 10 jam lalubola.com
thumb
MAKI Sentil KPK "Telmi" yang Stop Kasus Izin Tambang yang Rugikan Negara Rp 2,7 Triliun
• 8 jam lalukompas.com
thumb
Bukan Kembang Api, TMII Nyalakan 1.000 Lilin pada Malam Tahun Baru
• 2 jam lalukompas.com
thumb
Situasi Yaman Memanas, Kemlu Serukan Semua Pihak Tahan Diri
• 16 jam lalurctiplus.com
Berhasil disimpan.