KOORDINATOR Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyesalkan keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi dan suap izin usaha pertambangan nikel di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Menurut Boyamin, penghentian perkara tersebut menyisakan banyak kejanggalan yang belum terjawab.
"Saya menyesalkan penyetopan itu. Karena dulu baru diumumkan tersangkanya itu bahkan diduga menerima suap," ujar Boyamin saat dihubungi, Minggu (28/12).
Ia menyoroti alasan kesehatan yang sempat membuat tersangka, yang saat itu menjabat atau pernah menjabat sebagai bupati, tidak jadi ditahan. Boyamin menilai alasan tersebut tidak konsisten dengan aktivitas tersangka setelahnya.
Ia mengaku memiliki data yang menunjukkan tersangka masih aktif beraktivitas di ruang publik. "Padahal saya ada data, habis itu dia ikut kampanye, bisa test drive mobil Toyota, dan kemudian tiba-tiba tanpa ada kelanjutan, terus kemudian di SP3. Itu sangat menyesalkan dan menyayangkan," tuturnya.
Atas dasar itu, MAKI telah mengambil langkah lanjutan dengan melibatkan Kejaksaan Agung. Boyamin mengungkapkan dirinya telah berkirim surat agar perkara tersebut ditangani ulang. "Saya sudah berkirim surat kepada Kejaksaan Agung untuk menangani perkara ini. Untuk memulai penyidikan baru, atau mulai penanganan baru,” ujarnya.
Selain mendorong penanganan ulang, Boyamin juga membuka opsi jalur hukum untuk menggugat keputusan KPK. Ia menyatakan akan mengajukan praperadilan guna membatalkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang telah diterbitkan. Namun, langkah tersebut masih bersifat kondisional.
"Saya juga akan menempuh upaya praperadilan untuk membatalkan SP3 itu. Tapi saya nanti akan melihat, kalau nanti Kejaksaan Agung itu sangat cepat menangani perkaranya, saya otomatis menunda praperadilannya," jelasnya.
Boyamin turut mengkritik kinerja KPK dalam penanganan perkara korupsi yang dinilainya lamban. Ia menilai sejumlah kasus besar justru tidak ditangani secara optimal meski memiliki dampak signifikan.
"KPK itu memang agak lemot, agak telmi, telat mikir, terhadap perkara-perkara yang sebenarnya bisa ditangani korupsi," jelasnya.
Menurut Boyamin, penghentian perkara dengan nilai kerugian negara yang sangat besar berpotensi menimbulkan preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi, khususnya di sektor sumber daya alam. Ia berharap aparat penegak hukum lain dapat mengambil peran untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum tetap terjaga.
Sebelumnya, KPK resmi menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi dan suap pemberian izin usaha pertambangan nikel di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, yang sebelumnya menjerat mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman.
Kasus dengan nilai indikasi kerugian negara mencapai Rp2,7 triliun itu dihentikan setelah penyidik menilai tidak terdapat kecukupan alat bukti. Keputusan tersebut setidaknya memuat tiga fakta penting yang menjelaskan latar belakang sekaligus posisi KPK dalam perkara ini.
KPK memastikan telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas perkara yang telah bergulir sejak 2017 tersebut. Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, peristiwa yang diselidiki merupakan dugaan tindak pidana yang terjadi pada 2009, sehingga memerlukan pembuktian yang sangat kuat. (Mir/P-3)

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5456186/original/051235800_1766818940-WhatsApp_Image_2025-12-27_at_11.41.39.jpeg)
