JAKARTA – Mantan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menilai KPK akan jauh lebih mudah diintervensi setelah mendapatkan kewenangan untuk menghentikan penyidikan lewat penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Hal ini merespons penerbitan SP3 oleh KPK terhadap kasus dugaan korupsi izin tambang di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra). Perkara itu diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp2,7 triliun.
“Dengan adanya kewenangan SP3, maka KPK mudah terintervensi dalam penanganan perkaranya,” kata Novel, Minggu (28/12/2025).
Sejak awal ia mengaku tidak setuju KPK diberi kewenangan SP3 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KPK yang baru. Terlepas dari substansi perkaranya, menurut dia, idealnya proses pembuktian dilakukan di persidangan.
“Proses persidangan secara terbuka tentu lebih akuntabel dibandingkan dengan proses rapat tertutup untuk akhirnya dilakukan penghentian penyidikan,” ujarnya.
Tak hanya menyoal penghentian penyidikan, kewenangan yang diberikan saat ini, Novel memandang KPK juga berpotensi lalai dalam menangani perkara tertentu.
“Belum lagi dengan kewenangan SP3, KPK bisa saja tidak berhati-hati dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka,” tuturnya.
Diketahui, KPK menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi izin tambang di Konawe Utara yang menjerat mantan bupati Aswad Sulaiman.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menjelaskan alasan pihaknya menghentikan penyidikan perkara tersebut. Menurut dia, penyidik tidak menemukan alat bukti yang cukup.
“Bahwa tempus perkaranya adalah tahun 2009, dan setelah dilakukan pendalaman pada tahap penyidikan tidak ditemukan kecukupan bukti,” ujar Budi, Jumat 26 Desember 2025.
Menurut Budi, penyidik pun memutuskan menerbitkan SP3. Keputusan tersebut dilakukan demi memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang diduga memiliki keterkaitan dengan perkara itu.
“Sehingga KPK menerbitkan SP3 untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak terkait,” katanya.
Original Article



