EtIndonesia. Suatu hari, Alfred Wegener, seorang ahli meteorologi asal Jerman, terbaring di ranjang rumah sakit sambil membaca buku. Setelah membaca cukup lama, dia meletakkan bukunya dan berniat menggerakkan tubuh sejenak agar tidak terlalu kaku, sekaligus memberi waktu istirahat bagi matanya. Dia pun mencoba mengalihkan pandangan sejauh mungkin—ke arah luar jendela.
Saat itulah, pandangannya tertumbuk pada sebuah peta dunia yang menempel di dinding.
Dia memandang peta itu dengan penuh minat: bentuk daratan yang berlekuk-lekuk, garis pantai yang berkelok-kelok, samudra yang luas, serta pulau-pulau yang tersebar. Semakin lama memperhatikan, semakin terasa ada sesuatu yang janggal. Di ujung timur Brasil di pantai barat Samudra Atlantik tampak menonjol membentuk sudut, sementara pantai Afrika di Teluk Guinea justru cekung ke dalam. Yang satu seperti kelebihan, yang lain seperti kekurangan—dan keduanya tampak bisa disatukan dengan pas.
Wegener pun membandingkan lebih teliti. Hampir seluruh lekukan pantai Brasil memiliki “pasangan” di pantai Afrika.
Dia bergumam dalam hati : “Ini terlihat seperti sepotong roti yang dipatahkan dengan tangan… Jangan-jangan benua di kedua sisi Atlantik dulu adalah satu kesatuan, lalu terpisah? Atau ini hanya kebetulan?”
Pertanyaan demi pertanyaan berloncatan di benaknya. Penemuan tak sengaja ini membuatnya sangat bersemangat.
“Jika dugaan ini benar, aku harus membuktikannya dengan fakta,” pikir Wegener sambil menenangkan diri.
Dia mulai menalar: Jika benua-benua yang kini dipisahkan Samudra Atlantik dahulu merupakan satu daratan utuh, maka lapisan batuan, pegunungan, dan ciri geologinya semestinya serupa. Bahkan flora dan fauna di kedua sisi juga seharusnya memiliki hubungan kekerabatan, karena pernah hidup dalam lingkungan yang sama…
Setelah pulih dari sakitnya, Wegener melakukan penelitian lapangan dengan menjelajahi kedua sisi Samudra Atlantik. Dalam penelitiannya, dia menemukan fakta menarik: sejenis siput hidup di daratan Eropa sekaligus di pantai Atlantik Amerika Utara. Hampir mustahil siput menyeberangi samudra luas, dan tak pernah ada catatan bahwa manusia “memindahkan” siput liar semacam itu.
Dia juga meneliti fosil reptil purba yang ditemukan pada lapisan batuan di Brasil dan Afrika Selatan. Hewan ini jelas tidak mungkin menyeberangi lautan. Lebih penting lagi, fosil sejenis tidak ditemukan di wilayah lain.
Mengacu pada teori evolusi Charles Darwin, spesies yang sama tidak mungkin muncul secara terpisah dan mandiri di dua wilayah yang sangat jauh. Mereka pasti berasal dari satu sumber yang sama.
Semua petunjuk ini mengarah pada satu kesimpulan: Daratan di kedua sisi Atlantik dulunya adalah satu kesatuan utuh.
Maka pada tahun 1914, Wegener mengemukakan sebuah teori baru yang revolusioner—Teori Pergeseran Benua (Continental Drift). Dia menyatakan bahwa benua-benua yang kita kenal sekarang—Amerika, Eropa, Asia, Afrika, Australia, dan Antarktika—pernah menyatu sebagai satu daratan besar.
Sekitar 200 juta tahun yang lalu, akibat pergerakan kerak bumi, daratan besar itu perlahan retak dan terpisah, lalu bergerak sangat lambat hingga membentuk susunan benua seperti sekarang. Pergerakan ini, menurut Wegener, masih terus berlangsung hingga hari ini.
Dia juga berpendapat bahwa anak benua India dahulu bergerak dari wilayah Antarktika, kemudian melaju ke utara dan menabrak Asia. Tumbukan dahsyat inilah yang membentuk Pegunungan Himalaya, “atap dunia”. Hingga kini, proses tersebut belum berhenti—Himalaya masih terus terdorong ke utara.
Analisis data menunjukkan bahwa dalam 1.300 tahun terakhir, jarak antara Tibet dan India telah menyusut sekitar 60 meter. Sementara itu, Australia juga terus bergerak perlahan ke arah utara.
Wegener pernah merenungkan:“Seluruh daratan tempat manusia hidup ini bagaikan kapal raksasa yang berlayar sangat lambat, terus berpindah dan bergeser. Bagaimana rupa dunia jutaan tahun mendatang—tak seorang pun dapat membayangkannya.”
Kisah ini mengingatkan kita bahwa penemuan besar sering berawal dari rasa ingin tahu yang sederhana, dari keberanian mempertanyakan hal yang selama ini dianggap biasa.(jhn/yn)





