Taman Nasional Tanjung Puting di Kotawaringin Barat (Kobar) telah lama menjadi magnet wisata kelas dunia. Pesona orangutan dan hutan hujan tropisnya mampu menarik ribuan wisatawan mancanegara setiap tahunnya. Namun, ada satu potensi raksasa yang sering luput dari perhatian kita saat membicarakan ekosistem pariwisata ini: kawasan transmigrasi.
Selama ini, transmigrasi dan pariwisata seringkali dipandang sebagai dua sektor yang berjalan di rel berbeda. Transmigrasi identik dengan pembukaan lahan pertanian dan penyebaran penduduk, sementara pariwisata identik dengan pelestarian alam dan jasa hiburan. Padahal, di Kawasan Transmigrasi Arut Selatan - Kotawaringin Lama (Arsel Kolam), kedua sektor ini memiliki peluang emas untuk bersinergi.
Transmigrasi Bukan Sekadar Pindah Penduduk
Paradigma transmigrasi harus bergeser. Kawasan ini harus didesain ulang bukan hanya sebagai sentra produksi, melainkan sebagai destinasi agrowisata dan penyangga logistik bagi pariwisata Tanjung Puting.
Wisatawan yang datang ke Tanjung Puting umumnya memiliki durasi tinggal (length of stay) tertentu. Seringkali, pilihannya terbatas hanya pada wisata sungai (klotok) dan hutan. Dengan mengintegrasikan Arsel Kolam, kita menawarkan diversifikasi atraksi. Bayangkan sebuah rute wisata di mana setelah melihat orangutan, wisatawan diajak ke kawasan transmigrasi untuk menikmati pengalaman "Live in" pedesaan, memetik hasil kebun segar, dan mempelajari budaya multikultur hasil akulturasi warga transmigran dan lokal.
Simbiosis Mutualisme: Pangan dan Pengalaman
Ada dua peran strategis yang bisa diambil oleh Kawasan Transmigrasi Arsel Kolam untuk mendukung pariwisata Kobar:
Pertama, sebagai Rantai Pasok (Supply Chain) Pariwisata. Hotel, restoran, dan kapal-kapal wisata (klotok) di Kobar membutuhkan pasokan sayur, buah, daging, dan telur dalam jumlah besar. Ironis jika kebutuhan ini harus didatangkan dari luar pulau atau daerah yang jauh. Petani transmigran di Arsel Kolam harus diberdayakan melalui teknologi tepat guna—seperti yang dirancang dalam program evaluasi kawasan kami—agar mampu menghasilkan komoditas berkualitas premium standar hotel. Ini akan meningkatkan kesejahteraan transmigran secara signifikan.
Kedua, sebagai Destinasi Agrowisata Edukatif. Potensi perkebunan di Arsel Kolam dapat dikemas menjadi paket wisata. Wisatawan asing sangat menyukai autentisitas. Melihat proses budidaya lada, karet, atau buah-buahan tropis secara langsung di lahan transmigran adalah pengalaman mahal bagi mereka. Ini menciptakan pasar baru bagi produk UMKM lokal transmigran yang selama ini mungkin kesulitan akses pasar.
Tantangan dan Kolaborasi
Tentu, mengubah kawasan transmigrasi menjadi desa wisata penyangga tidak semudah membalik telapak tangan. Tantangan infrastruktur, kapasitas SDM petani, hingga kelembagaan desa masih menjadi pekerjaan rumah.
Evaluasi yang kami lakukan menunjukkan perlunya intervensi bertahap: mulai dari pemetaan potensi spasial, pelatihan budidaya, hingga penguatan kelembagaan ekonomi desa (BUMDes/Koperasi). Di sinilah pentingnya kolaborasi pentahelix. Pemerintah Daerah Kotawaringin Barat, Akademisi, Swasta, dan Masyarakat Transmigran harus duduk satu meja.
Kawasan Transmigrasi Arsel Kolam adalah "raksasa tidur" di gerbang Tanjung Puting. Jika dikelola dengan visi keberlanjutan, ia tidak hanya akan menjadi rumah bagi para transmigran, tetapi juga menjadi etalase keberhasilan pembangunan yang mendukung pariwisata nasional. Mari jadikan transmigrasi di Bumi Maruntahan tidak hanya subur tanahnya, tetapi juga mendunia wisatanya.
Poin-Poin Analisis (Mengapa artikel ini ditulis demikian?):
Konektivitas Isu: Saya menghubungkan file proposal Anda (yang membahas evaluasi kawasan, potensi lahan, dan output berupa desain jangka pendek/panjang) dengan isu pariwisata yang Anda minta.
Sudut Pandang (Angle): Menggunakan sudut pandang "Arsel Kolam sebagai Penyangga (Buffer Zone)" & "Supply Chain". Ini adalah argumen ekonomi yang kuat dan logis.





