Bisnis.com, JAKARTA — Instruksi pemerintah pusat supaya pemerintah daerah memangkas belanja perjalanan dinas (Perdin) dan seremonial demi mendanai program prioritas berpotensi memicu efek samping serius.
Kontraksi ekonomi lokal hingga tergerusnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi ancaman serius.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai surat edaran bersama Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk mengefisienkan APBD 2026 memang bertujuan mengamankan ruang fiskal.
Target utamanya jelas, sambungnya, yakni demi membiayai program prioritas pemerintah pusat seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih. Hanya saja, Rizal mengingatkan bahwa dari kacamata ekonomi daerah, kebijakan ini tidaklah netral.
"Kebijakan pemangkasan belanja perjalanan dinas dan kegiatan seremonial akan langsung menekan permintaan pada sektor-sektor yang selama ini sangat bergantung pada belanja pemerintah, terutama perhotelan dan restoran," ungkapnya kepada Bisnis, Senin (29/12/2025).
Rizal menyoroti fakta struktural bahwa di banyak daerah, terutama di luar kota besar, belanja pemerintah daerah masih berperan sebagai jangkar utama aktivitas ekonomi.
Baca Juga
- BRIN: Efisiensi Belanja Agresif Berisiko Kerek Defisit APBN Tembus 3%
- Prabowo Tegaskan APBN Siap Tangani Bencana, Berkat Kebijakan Efisiensi
- Strategi LNSW Topang APBN: Cegah Kebocoran Penerimaan hingga Efisiensi Logistik
Ketika keran belanja birokrasi ditutup, dampaknya tidak hanya sebatas penurunan tingkat okupansi hotel atau omzet rumah makan. Lebih dari itu, sambung Rizal, pemangkasan belanja Perdin hingga seremonial berpotensi menjadi bumerang bagi kas daerah itu sendiri lantaran pajak hotel dan restoran merupakan salah satu tulang punggung PAD.
Risiko efek domino yang melemah juga menjadi sorotan Indef. Alasannya, sektor hospitality seperti perhotelan dan restoran memiliki keterkaitan rantai pasok yang kuat, mulai dari tenaga kerja, pemasok bahan pangan, transportasi, hingga UMKM pendukung.
"Sehingga berisiko menekan pendapatan masyarakat lokal dan daya beli, terutama di daerah yang struktur ekonominya belum cukup ditopang oleh sektor swasta atau pariwisata murni," ungkapnya.
MBG hingga Kopdes Tak Bisa TambalLantas, apakah guyuran dana ke program prioritas seperti MBG mampu menambal lubang ekonomi tersebut? Rizal bersikap realistis.
Menurutnya, belanja program prioritas seperti MBG dan Kopdes memiliki karakteristik ekonomi yang berbeda. Belanja ini bersifat sosial-produktif yang menyasar kebutuhan dasar, bukan jasa hospitality yang sebelumnya banyak diserap lewat belanja birokrasi.
Akibatnya, dalam jangka pendek, realokasi anggaran tersebut dinilai sulit menggantikan hilangnya potensi ekonomi di industri perhotelan dan restoran secara serta-merta.
"Dampak positifnya terhadap ekonomi daerah memang ada, tetapi jalurnya tidak langsung dan tidak serta-merta menggantikan hilangnya permintaan di sektor perhotelan dan restoran. ," jelas Rizal.
Oleh karena itu, Indef mewanti-wanti agar efisiensi belanja tidak berujung pada kontraksi ekonomi lokal yang berlebihan. Dia mendorong pemerintah daerah untuk segera mencari sumber pertumbuhan alternatif agar sektor usaha tidak melulu bergantung pada 'cek' pemerintah.
Instruksi Purbaya & TitoPemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri menginstruksikan pemerintah daerah (Pemda) untuk melakukan efisiensi ketat terhadap belanja seremonial dan perjalanan dinas untuk mengamankan pendanaan program prioritas nasional, termasuk Makan Bergizi Gratis (MBG).
Instruksi tersebut tertuang dalam Surat Edaran Bersama (SEB) Nomor SE-3/MK.08/2025 dan Nomor 900.1.1/9902/SJ tentang Pemenuhan Belanja yang Bersifat Wajib dan Mengikat pada APBD TA 2026. Beleid ini ditandatangani langsung oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian pada 9 Desember 2025.
Dalam beleid tersebut, pemerintah menetapkan alokasi Transfer ke Daerah (TKD) pada 2026 sebesar Rp693,0 triliun. Purbaya menegaskan bahwa penggunaan TKD yang tidak ditentukan penggunaannya harus diprioritaskan untuk pemenuhan belanja wajib, mengikat, serta dukungan terhadap Program Prioritas Pemerintah.
"Belanja yang bersifat dukungan terhadap Program Prioritas Pemerintah... merupakan belanja untuk mendukung program seperti Makan Bergizi Gratis, Koperasi Merah Putih, Subsidi, Preservasi Jalan dan Jembatan, Perumahan, serta Sekolah Rakyat," demikian kutipan poin 4 huruf e dalam SEB tersebut.
Demi memuluskan alokasi anggaran untuk program-program strategis tersebut, pemerintah pusat meminta pemda melakukan efisiensi radikal. Pemda diminta mengalihkan alokasi belanja yang dianggap tidak prioritas.
Beberapa pos belanja yang menjadi sasaran pemangkasan antara lain kegiatan seremonial, kajian, studi banding, serta publikasi dan seminar. Selain itu, belanja perjalanan dinas dan belanja pendukung lainnya yang tidak memiliki output terukur juga wajib diefisienkan.
Lebih lanjut, pemerintah juga menyoroti belanja hibah. Dalam SEB ini, pemda diminta melakukan efisiensi atas belanja hibah dalam bentuk uang, barang, maupun jasa, termasuk hibah kepada instansi vertikal.
Di sisi pendapatan, Purbaya dan Tito mendorong optimalisasi PAD. Di samping itu, pemerintah pusat menggarisbawahi agar upaya ekstensifikasi dan intensifikasi pajak daerah tidak mematikan ekonomi.
"Optimalisasi PAD dengan berorientasi mendorong pertumbuhan dan kemajuan kegiatan perekonomian di daerah guna memperluas dan memperkuat basis PAD secara berkelanjutan," bunyi arahan poin 4 huruf g dalam SEB tersebut.





