DI zaman modern seperti ini sudah sering terjadi kasus-kasus perceraian dalam rumah tangga dengan berbagai permasalahan, bahkan masalah yang awalnya kecil saja bisa berakhir di meja hijau jika tidak diselesaikan secara baik-baik. Keadaan keluarga yang seperti inilah yang disebut dengan istilah broken home. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) sudah tercatat sekitar 394.608 kasus perceraian pada 2024.
Prasetyo menjelaskan bahwa 'broken' berarti kehancuran, sedangkan 'home' berarti rumah. Bukan berarti bangunan rumah yang rusak melainkan rusaknya sebuah hubungan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Broken home memiliki arti adanya kehancuran dalam rumah tangga yang disebabkan oleh perbedaan pendapat antara suami istri.
Keluarga broken home adalah kondisi sebuah keluarga yang sudah tidak selaras dan biasanya disebabkan adanya pertengkaran atau perceraian kedua orang tuanya. (Chaplin, 2011) mengatakan bahwa broken home digambarkan dengan struktur keluarga yang sudah tidak utuh karena orang tua bercerai. Hal ini dapat berdampak pada kondisi mental dan perilaku sang anak ketika dirumah maupun di lingkungan sekitarnya.
Faktor penyebab anak dari keluarga broken home (Ardilla dan Cholid 2021)- Kurangnya komunikasi. Kurangnya komunikasi dapat menyebabkan kesalahpahaman dan konflik yang menimbulkan ketidaknyamanan dan ketidakharmonisan dalam keluarga. Kurangnya komunikasi juga membuat anak sulit untuk mengungkapkan perasaan, pemikiran dan pendapatnya kepada orang tuanya.
- Rendahnya pemahaman terhadap pendidikan. Rendahnya pemahaman terhadap pendidikan menjadi salah satu faktor yang memperburuk kondisi keluarga karena membatasi kemampuan pasangan suami istri dalam mengelola emosionalnya masing-masing, jarang berkomunikasi dan menjaga stabilitas finansial yang diperlukan untuk rumah tangga yang sehat. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka intensi atau kemungkinan untuk bercerai akan cenderung semakin rendah.
- Kesibukan masing-masing. Orangtua memiliki peran yang sangat penting dalam mengasuh dan mengamati perkembangan anaknya. Ada orangtua yang memiliki jadwal kerja yang sangat padat sampai - sampai jarang meluangkan waktunya untuk sekedar menemani anak bermain, memberi pujian pada anak yang telah melakukan tugasnya dengan baik atau bahkan kurang memantau perkembangan anaknya. Hal ini akan berdampak pada kondisi mental sang anak karena ia merasa tidak dipedulikan dan tidak dihargai atas apapun yang telah ia raih selama di sekolah oleh kedua orang tuanya.
- Ekonomi. Kesenjangan ekonomi antara pasangan dapat menyebabkan perasaan tidak seimbang dan tidak puas dalam hubungan, stres keuangan dapat menyebabkan tekanan dan konflik dalam rumah tangga terutama jika pasangan memiliki perbedaan pendapat pengelolaan keuangan.
- Egoisme. Egoisme pada anak broken home itu biasanya muncul karena mereka merasa harus menjaga dirinya sendiri di tengah keluarga yang tidak stabil. Ketika perhatian emosional kurang dan suasana rumah menjadi tidak nyaman, anak jadi belajar untuk lebih memikirkan dirinya sendiri dan tidak peduli pada lingkungan sekitar. Pengalaman melihat pertengkaran atau perpisahan membuat mereka gampang takut disakiti, jadi sikap egois muncul karena itu buat melindungi hati mereka.
- Emosinya tidak stabil. Anak yang tumbuh dalam keluarga broken home itu biasanya menghadapi tekanan emosional yang cukup berat dan emosi mereka cenderung tidak stabil, karena mereka harus menyesuaikan diri dengan perubahan situasi keluarga yang tiba-tiba atau konflik yang terjadi di rumah. Kadang mereka juga mudah marah, sedih tanpa alasan yang jelas, atau sulit mengendalikan perasaan karena belum benar-benar memahami apa yang sedang mereka alami.
- Anak merasa insecure atau menyalahkan dirinya sendiri. Banyak anak dalam kondisi seperti ini menjadi insecure, merasa tidak cukup berharga, atau bahkan menyalahkan dirinya sendiri atas perpisahan atau masalah yang terjadi antara orang tua. Mereka akan berpikir, orang tuanyanya menjadi seperti ini karena salahnya meskipun sebenarnya hal itu bukan salah mereka sama sekali.
- Anak menjadi kurang percaya diri. Dampak lainnya adalah kurangnya rasa percaya diri pada anak, anak mungkin merasa berbeda dari teman-temannya malu dengan kondisi keluarganya, atau takut dianggap tidak sempurna. Hal ini membuat mereka ragu untuk bersosialisasi, takut mencoba hal baru, dan sering merasa tidak yakin dengan kemampuan diri sendiri. Anak dalam keluarga broken home biasanya akan kehilangan rasa percaya dirinya karena ketika dirumah atau ketika ia mendapat prestasi di sekolah ia tidak terlalu diperhatikan oleh orang tuanya. Contohnya ketika anak berhasil mendapat ranking 1 di kelas namun reaksi kedua orang tuanya biasa saja bahkan tidak memujinya karena kedua orang tuanya menganggap bahwa anak itu memiliki kemampuan yang sudah menurun dari kedua orang tuanya.
Dampak broken home pada perilaku anak dapat sangat signifikan dan beragam, tergantung pada faktor-faktor seperti usia anak, tingkat keparahan konflik orangtua, dan dukungan yang diterima anak. Berikut beberapa dampak yang mungkin akan terjadi:
- Perilaku agresif dan berbahaya. Anak drari keluarga broken home akan menunjukkan perilaku yang agresif, seperti marah, kekerasan, atau perilaku destruktif sebagai cara untuk mengekspresikan emosi mereka dan mereka juga masih mengalami kesulitan dalam mengelola emosi mereka, seperti marah, sedih, atau bahagia. Mereka bahkan berani untuk melakukan hal-hal yang berisiko seperti merokok, minum alkohol, atau melakukan aktivitas yang berbahaya.
- Kecemasan dan depresi. Anak dari keluarga broken home dapat mengalami kecemasan, depresi, atau perasaan tidak aman, yang dapat mempengaruhi perilaku mereka.
- Kesulitan konsentrasi. Anak broken home memiliki kesulitan dalam berkonsentrasi, mengingat, atau belajar, karena stres dan emosi yang tidak stabil.
- Perilaku menarik diri. Anak broken home sebisa mungkin akan menarik diri dari lingkungan sosial, seperti tidak mau bermain dengan teman atau tidak mau berbicara dengan orang lain dan ia menjadi lebih suka menyendiri daripada bersosialisasi dengan teman sebayanya.
- Kesulitan membentuk hubungan. Anak broken home mungkin memiliki kesulitan membentuk hubungan yang sehat dengan orang lain, karena mereka tidak memiliki role model yang baik dari orang tuanya.
- Perilaku manipulatif. Anak broken home mungkin menggunakan perilaku manipulatif untuk mendapatkan perhatian atau memenuhi kebutuhan mereka.
Namun, perlu diingat bahwa setiap anak berbeda, dan dampak broken home dapat berbeda-beda. Dukungan dari keluarga, teman, dan profesional dapat membantu anak broken home mengatasi kesulitan mereka.
Keterkaitan antara dampak anak dari keluarga broken home dengan perkembangan peserta didikSebagaimana sudah dijelaskan di atas tentang kondisi dan dampak anak dari keluarga broken home, kondisi ini memiliki keterkaitan dengan perkembangan peserta didik yang sangat erat. Karena bagi anak keluarga adalah segalanya dan dari keluargalah ia belajar berbagai hal. Mulai dari rasa sayang, aman, kebersamaan, saling menolong, berbagi dan masih banyak lagi.
Namun, jika dari lingkungan terdekat mereka saja bermasalah yakni keluarganya atau lebih tepatnya kedua orangtua mereka mengalami berbagai permasalahan bahkan sampai perceraian, hal itu akan sangat berpengaruh pada perkembangan sang anak. Anak yang orang tuanya bercerai akan membuat kepercayaan dirinya terganggu. Ia akan merasa seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya.
Karena itu, jangan heran jika dikemudian hari ia tumbuh menjadi pribadi yang sensitif dan susah untuk mengontrol emosi maupun perilakunya. Sensitivitas inilah yang memunculkan sikap-sikap perlawanan atau kedurhakaan anak kepada orang tuanya (Baiquni, 2016: 114). Pengaruh keluarga broken home pada perkembangan anak tidak hanya berakibat negatif pada kondisi psikologis dan tingkah laku anak, tetapi juga dalam bidang akademik pun akan ikut terganggu seperti anak susah untuk berkonsentrasi, penurunan prestasi akademik, kurangnya motivasi dan minat dalam belajar.
Referensi:Chaplin, J. P. (2011).Kamus lengkap psikologi. Rajawali Pers. Jakarta
Ardilla, dan Nurviyanti Cholid. 2021. Pengaruh broken home terhadap anak. STUDIA: Jurnal Hasil Penelitian Mahasiswa 6(1): 1–14. https://doi.org/10.32923/stu.v6i1.1968.
https://jptam.org/index.php/jptam/article/download/16517/12264/29890
Ariyanto, K. (2023). Dampak Keluarga Broken Home Terhadap Anak. Metta: Jurnal Ilmu Multidisiplin, 3(1), 15-23. https://doi.org/10.37329/metta.v3i1.2380
Baiquni, A. N. (2016). Jika Salah Mengasuh dan Mendidik Anak. Yogyakarta: Sabil. https://books.google.com/books/about/Jika_Salah_Mengasuh_dan_Mendidik_Anak.html?id=vHNWEAAAQBAJ
Prasetyo, Mohamad. 2009. Membangun Komunikasi Keluarga. Jakarta: Alex Media





