jpnn.com, JAKARTA - Amnesty International Indonesia menilai tahun 2025 sebagai tahun malapetaka nasional hak asasi manusia. Penilaian tersebut disampaikan dalam catatan akhir tahun yang diluncurkan pada Senin (29/12). Amnesty mencatat situasi HAM sepanjang Januari hingga Desember 2025 mengalami erosi terparah sejak era reformasi.
Amnesty menyoroti kemunduran HAM yang dipicu oleh kebijakan negara yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi, termasuk berbasis deforestasi, yang berdampak pada perampasan ruang hidup masyarakat adat serta minimnya partisipasi publik yang bermakna. Pelanggaran hak sipil dan politik, serta hak ekonomi, sosial, dan budaya, juga meningkat, diperparah oleh kebijakan efisiensi anggaran yang mengganggu ekonomi masyarakat.
BACA JUGA: Amnesty Kritik Pemeriksaan Gun Retno: Ini Kriminalisasi Pejuang Lingkungan
“Tahun ini pun ditutup oleh buruknya reaksi penanganan bencana ekologis di Sumatra yang mempertontonkan ketidakmampuan pemerintah menghadapi krisis kemanusiaan, bahkan mencerminkan watak represif seperti terlihat dalam kekerasan militer di Aceh baru-baru ini,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Amnesty menilai negara kerap mengabaikan aspirasi warga saat muncul gelombang protes. Pejabat negara dinilai tetap menjalankan kebijakan tanpa dialog, melontarkan pernyataan gegabah, serta melakukan penangkapan dan penahanan massal. Kondisi tersebut menunjukkan kegagalan negara menjalankan fungsi konstitusionalnya dalam melindungi hak asasi manusia, baik dalam situasi normal maupun krisis.
BACA JUGA: Teddy Ungkap Prabowo Kirim Helikopter Pribadi untuk Gubernur Aceh
“Malapetaka ini adalah akibat pemerintah saat ini yang anti-kritik, senang melontarkan narasi kontroversial, dan membungkam aspirasi yang berkembang di masyarakat,” ujar Usman.
Sepanjang 2025, negara disebut menunjukkan sikap represif terhadap berbagai aksi protes, mulai dari isu revisi UU TNI, hak buruh, Proyek Strategis Nasional (PSN), hingga tunjangan DPR. Amnesty menilai aparat lebih memilih pendekatan kekerasan ketimbang dialog di tengah persoalan ekonomi seperti pemutusan hubungan kerja massal dan dampak kebijakan efisiensi.
BACA JUGA: Partainya Prabowo Dukung Usulan Kepala Daerah Dipilih DPRD, Begini Alasannya
Sejumlah kebijakan dinilai bermasalah, di antaranya kenaikan pajak di awal tahun, pengesahan UU TNI, hingga disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru. Amnesty menilai sejumlah pasal dalam KUHAP berpotensi membuka ruang penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum.
“Watak otoriter pemerintah dan DPR terlihat dalam proses penyusunan kebijakan yang tanpa hikmah musyawarah seperti RUU TNI dan RKUHAP ini. Yang lebih mengerikan ke depan adalah implementasi dari KUHAP baru ini yang mengancam hak asasi manusia,” kata Usman.
Amnesty mencatat sepanjang 2025 terdapat 5.538 orang yang ditangkap secara sewenang-wenang, mengalami kekerasan, atau terdampak gas air mata saat berdemonstrasi. Bahkan, Amnesty mengidentifikasi penggunaan granat gas air mata yang berpotensi menyebabkan cacat permanen dalam aksi demonstrasi akhir Agustus 2025.
“Ini taktik klasik meredam kritik. Mereka yang bersuara kritis dipenjarakan dan disalahkan atas kerusuhan akhir Agustus. Sementara negara gagal mengusut siapa sesungguhnya pelaku kerusuhan tersebut,” ujar Usman.
Represi juga menyasar pembela HAM. Amnesty mencatat 283 pembela HAM mengalami serangan sepanjang 2025, termasuk kriminalisasi, penangkapan, hingga percobaan pembunuhan. Mayoritas korban merupakan jurnalis dan masyarakat adat.
Di bidang sosial ekonomi, Amnesty menyoroti ketimpangan yang kian melebar. Data CELIOS menunjukkan kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta warga pada 2024. Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 79 ribu kasus PHK hingga September 2025.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) juga disorot karena berujung pada ribuan kasus keracunan siswa. Badan Gizi Nasional dan Kementerian Kesehatan mencatat lebih dari 11 ribu anak mengalami keracunan.
“Insiden keracunan MBG ini mencerminkan watak otoriter, tergesa-gesa tanpa riset mendalam serta pengawasan memadai. Seharusnya program ini dievaluasi menyeluruh,” kata Usman.
Amnesty juga menyoroti krisis ekologis yang memuncak di akhir 2025 akibat deforestasi di Sumatra. Banjir bandang dan longsor dilaporkan merenggut lebih dari 1.000 jiwa, melukai ribuan orang, serta memaksa ratusan ribu warga mengungsi.
“Sulit membayangkan bagaimana negara bisa mengizinkan penghancuran hutan dengan skala sebesar ini tanpa mengantisipasi kemungkinan bencana, kecuali kalau memang negara jauh mengutamakan keuntungan ekonomi daripada menjaga ekosistem,” kata Usman.
Amnesty menilai respons pemerintah terhadap bencana Sumatra lamban dan tidak empatik, termasuk penolakan bantuan internasional dan pembatasan informasi kepada publik.
“Malapetaka ekologis ini berasal dari kebijakan pro-deforestasi, kelambanan dan kegagapan pemerintah dalam bertindak, serta diperparah oleh lontaran pernyataan gegabah dan upaya pembatasan informasi,” ujar Usman.
Ia memperingatkan bencana serupa berpotensi terus berulang jika kebijakan ekonomi berbasis deforestasi tidak dihentikan.
“Kebijakan ekonomi berbasis deforestasi harus dihentikan jika Indonesia ingin mencegah bencana ekologis lebih besar ke depan,” kata Usman. (tan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Prabowo Berikan Tenggat Sebelum Tahun Baru untuk Pemulihan Sumatra
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga



