Indonesia dinilai menghadapi tantangan serius dalam membangun peradaban dan daya saing global. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia memerlukan lompatan besar dalam pembangunan nasional
Hal ini mengemuka dalam forum Refleksi Akhir Tahun 2025 yang digelar Prasasti Center for Policy Studies dan BACenter di Jakarta, Senin (29/12). Forum ini menjadi ruang perenungan kebangsaan untuk membaca capaian Indonesia sepanjang 2025 sekaligus menakar tantangan besar yang dihadapi bangsa di tengah kompetisi global.
Cendekiawan Yudi Latif tampil menyampaikan pidato refleksi bertema “Rekonstruksi Peradaban Indonesia”, yang menyoroti urgensi pembaruan arah pembangunan nasional agar Indonesia mampu keluar dari jebakan ketertinggalan peradaban. Acara dibuka oleh Burhanuddin Abdullah, Board of Advisors Prasasti sekaligus Ketua Dewan Pembina BACenter, dan diperkaya dengan pembacaan “Puisi-puisi untuk Negeri” oleh budayawan Taufiq Ismail.
Forum refleksi akhir tahun ini juga digelar dalam suasana keprihatinan menyusul bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Burhanuddin mengapresiasi tingginya partisipasi publik dalam membantu penanganan dan pemulihan pascabencana. Menurutnya, semangat gotong royong yang mengemuka menunjukkan kekuatan sosial bangsa Indonesia.
“Solidaritas masyarakat adalah modal sosial yang sangat berharga. Namun ke depan, pemerintah harus lebih bijak dan berkelanjutan dalam mengelola sumber daya alam agar pembangunan tidak memperbesar risiko bencana,” ujar Burhanuddin.
Dalam pidato pengantarnya, Burhanuddin menekankan pentingnya berhenti sejenak untuk berefleksi di tengah laju perubahan global yang kian cepat. Refleksi akhir tahun, menurutnya, bukan sekadar ritual personal, melainkan cara bangsa menimbang dan mengendapkan pengalaman kolektif demi menentukan arah masa depan.
Ia mengapresiasi berbagai langkah pembangunan sepanjang 2025 yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, BUMN, UMKM, koperasi, hingga masyarakat. Program pemenuhan gizi dan penguatan ekonomi desa, misalnya, dinilai berpotensi melahirkan generasi muda yang lebih sehat, tangguh, dan cerdas dalam jangka panjang.
Namun, Burhanuddin juga mengingatkan bahwa tantangan Indonesia masih sangat besar. Sejumlah indikator menunjukkan posisi Indonesia tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Dalam Global Talent Competitiveness Index, peringkat Indonesia turun dari 65 pada 2020 menjadi 73 pada 2024. Sementara Human Capital Index Indonesia baru mencapai 0,56, tertinggal dari Malaysia dan Vietnam—yang berarti seorang anak Indonesia saat ini baru mengoptimalkan sekitar 56 persen potensi produktivitasnya di masa depan.
Dari sisi produktivitas tenaga kerja, Indonesia mencatat sekitar US$28.000 per pekerja, jauh di bawah Singapura yang melampaui US$150.000 dan Malaysia sekitar US$55.000. Kesenjangan juga tampak mencolok pada aspek inovasi. Data paten per satu juta penduduk menunjukkan Indonesia hanya mencatat 84 paten sepanjang 2000–2023, dibandingkan Singapura yang mencapai lebih dari 22 ribu dan Korea Selatan lebih dari 93 ribu.
“Ini bukan sekadar kesenjangan, tetapi sudah menjadi jurang peradaban,” tegas Burhanuddin. Karena itu, ia menilai Indonesia membutuhkan lompatan besar, bukan sekadar perbaikan bertahap.
Melalui forum ini, Prasasti Center for Policy Studies dan BACenter berharap refleksi akhir tahun dapat menjadi pijakan intelektual dan moral bagi para pemangku kepentingan dalam menatap masa depan Indonesia—dengan keberanian melakukan lompatan besar, konsistensi arah pembangunan, serta peneguhan nilai-nilai kemanusiaan sebagai fondasi utama peradaban bangsa.


