Tak hanya sekali Presiden Prabowo Subianto menyinggung soal kebocoran anggaran akibat praktik-praktik korupsi. Dalam berbagai kesempatan, Presiden juga selalu menyampaikan komitmennya dalam pemberantasan korupsi.
Bentuk dari komitmen itu setidaknya terlihat dari gerak Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kejagung, misalnya, mengusut perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina periode 2018-2023 yang diperkirakan merugikan negara hingga Rp 285 triliun. Adanya mafia peradilan dalam penanganan perkara ekspor CPO juga dikuak oleh penyidik Kejagung.
Adapun KPK lewat operasi tangkap tangan (OTT) sudah berulang menguak praktik korupsi, di antaranya melibatkan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer hingga kepala daerah.
Meski demikian, komitmen pemberantasan korupsi Prabowo dan geliat dari aparat penegak hukum tersebut diwarnai pula oleh pemberian amnesti, abolisi dan rehabilitasi bagi sejumlah terdakwa korupsi. Penggunaan hak prerogatif Presiden itu dinilai sejumlah kalangan menjadi preseden buruk karena melemahkan konsistensi penegakan hukum.
Setelah mendapatkan persetujuan DPR, Presiden salah satunya memberikan amnesti kepada Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto, pada 1 Agustus 2025. Hasto sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta karena dinilai terbukti terlibat suap pergantian antarwaktu anggota DPR untuk Harun Masiku.
Adapun abolisi diberikan kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong. Sebelumnya, Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta karena dinilai tidak mematuhi aturan serta memperkaya orang lain.
Kemudian pada 25 November, Presiden Prabowo memberikan rehabilitasi untuk tiga terdakwa korupsi pembelian kapal tua oleh PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Indonesia Ferry atau ASDP. Mereka adalah mantan Direktur Utama PT ASDP Ira Puspadewi, Direktur Komersial PT ASDP Muhammad Yusuf Hadi, serta Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, saat dihubungi Kamis (25/12/2025), mengatakan, pemberian amnesti, abolisi, dan rehabilitasi untuk kasus korupsi itu telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Hal itu juga menunjukkan komitmen pemberantasan korupsi Presiden baru baru berada di level lisan, belum menyentul level implementasi kebijakan.
Selain itu, Zaenur juga menilai, kasus korupsi sepanjang 2025 yang masih banyak menyeret oknum hakim, jaksa, dan polisi menunjukkan bahwa instrumen penegak hukum Indonesia masih sangat korup. Kondisi tersebut menciptakan paradoks di mana pemberantasan korupsi tidak mungkin berjalan efektif jika alat penegak hukumnya sendiri masih bermasalah.
“Sehingga ya tidak mungkin dapat melakukan pemberantasan korupsi dengan alat yang korup gitu ya. Tidak mungkin Indonesia bebas dari korupsi kalau institusi penegak hukumnya korup seperti sekarang ini,” tuturnya.
Tanpa memberikan efek jera terhadap koruptor, maka praktik lancung ini akan masih terjadi serta secara masif di seluruh cabang kekuasaan negara, mulai dari tingkat pusat, daerah, hingga ke level desa. Praktik ini akan selalu melibatkan berbagai aktor, mulai dari pejabat negara, birokrat, pengusaha, hingga aparat penegak hukum itu sendiri.
Padahal, korupsi masih yang masih terjadi itu akan berdampak dalam menghambat Indonesia untuk menjadi negara maju dan bersih. Tanpa pemberantasan korupsi yang serius, pembangunan berkualitas, penarikan investasi asing, dan proses industrialisasi dinilai sulit tercapai.
“Yang ada adalah Indonesia semakin rusak, semakin timpang, ya, semakin banyak terjadi bencana misalnya, karena sumber daya alam kita rusak, hutan kita rusak, ya itu juga akibat dari korupsi,” ujar Zaenur.
Menurut Zaenur, lemahnya regulasi saat ini membuat Indonesia masih dibelenggu oleh kasus-kasus korupsi. Hal ini ditandai dengan lambannya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Bahkan, revisi Undang-Undang KPK pada 2019 juga membuat lembaga antirasuah itu tidak lagi sekuat sebelumnya. Kondisi tersebut kian berpengaruh pada kinerja pemberantasan korupsi.
“Jadi menurut saya titik kuncinya untuk memulai pemberantasan korupsi yang efektif itu pertama, reformasi dulu institusi penegak hukumnya sampai mereka sudah tidak terlalu korup, sudah berkurang korupsinya. Itu yang pertama,” katanya.
Setelah mereformasi lembaga penegak hukum, negara harus membuat regulasi yang mendukung pemberantas korupsi.
“Yang kedua, negara harus membuat regulasi, membuat legislasi yang mendukung pemberantasan korupsi. Sahkan RUU Perampasan Aset, revisi UU Tipikor saat ini, dan sahkan juga RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal,” ujar Zaenur.




