Pilkada Melalui DPRD, Pengamat: Solusinya Bukan Mencabut Hak Rakyat, Tapi Memperbaiki Sistem

fajar.co.id
14 jam lalu
Cover Berita

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Gagasan agar kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota kembali dipilih DPRD mulai menguat. Dukungan dari sebagian elite politik, termasuk dari Partai Gerindra dan Golkar membuat isu ini menjadi bahan perbincangan publik. Pertanyaan yang kemudian muncul: apakah cara ini benar-benar solusi bagi demokrasi lokal, atau justru ancaman bagi hak rakyat?

Pengamat Kebijakan Publik dan Politik, Ras MD menyebut sejak pilkada langsung diberlakukan, masyarakat Indonesia termasuk di Sulawesi Selatan merasakan perubahan besar.

Rakyat ikut menentukan siapa pemimpin di daerahnya. Di Makassar, Gowa, Luwu, hingga Toraja, warga belajar bahwa suara mereka berpengaruh terhadap arah kebijakan pemerintah: jalan dibangun, bantuan disalurkan, sekolah berdiri, dan pelayanan publik membaik.

“Jika mekanisme ini diubah dan dikembalikan kepada DPRD, maka pengalaman politik itu bisa kembali hilang. Rakyat yang selama ini merasa menjadi bagian dari proses, akan kembali menjadi sekadar penonton. Inilah yang saya sebut sebagai erosi kedaulatan publik,” tegasnya melalui keterangan tertulis, Selasa (30/12).

Betul, kata Ras, pilkada langsung memang membutuhkan anggaran besar. Pemprov dan kabupaten/kota harus menyediakan dana miliaran rupiah melalui hibah APBD untuk penyelenggara. Di sisi kandidat, biaya kampanye juga tidak kecil.

Tetapi Ras menegaskan, demokrasi bukan sekadar soal mahal atau murah. Demokrasi adalah investasi sosial jangka panjang. Jika efisiensi dijadikan alasan untuk menarik hak rakyat memilih, maka kita sedang memilih solusi cepat yang justru berisiko melukai demokrasi itu sendiri.

Ras MD

“Solusinya bukan mencabut hak rakyat, melainkan memperbaiki sistem: pembatasan biaya kampanye, audit dana politik yang lebih ketat, transparansi pendanaan, serta digitalisasi tahapan pilkada agar biaya logistik berkurang,” paparnya.

Menurutnya, ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD, ruang kompetisi politik menjadi sempit dan sangat elitis. Kekuasaan berpindah ke meja perundingan politik antar elite. Proses seperti ini rentan terhadap lobi, kompromi kepentingan, dan transaksi politik yang sulit dikontrol publik.

“Jika skema seperti ini diterapkan di Sulsel, kita bisa membayangkan bagaimana peta kekuatan politik di DPRD Makassar, Gowa, hingga Luwu menjadi faktor utama bukan lagi aspirasi warga. Kepala daerah berpotensi lebih loyal kepada elite yang mengangkatnya, dibanding kepada masyarakat sebagai pemilik mandat,” ujar Ras.

Pemimpin yang terpilih oleh rakyat memiliki legitimasi sosial yang kuat. Ia lahir dari partisipasi masyarakat. Inilah modal moralnya untuk memimpin.

Sebaliknya, jika kepala daerah terpilih lewat forum DPRD, legitimasi publiknya akan lebih rapuh. Warga dapat merasa: “Kami tidak memilihnya. Ia tidak mewakili kami.” Jika ini terjadi, dukungan masyarakat terhadap program pemerintah akan melemah. Pada titik ini, efisiensi yang diperoleh tidak sebanding dengan harga yang harus dibayar.

Jika problem pilkada ada pada biaya politik dan gesekan sosial, maka jawabannya adalah reformasi kebijakan:

Pertama, memperketat pengeluaran kampanye.

Kedua, menegakkan transparansi pendanaan politik.

Ketiga, menyeleksi calon berbasis kapasitas, bukan popularitas instan.

Keempat, memperkuat kaderisasi partai agar calon tidak hanya muncul lima tahun sekali.

Demokrasi yang diperbaiki adalah demokrasi yang tumbuh. Tetapi demokrasi yang dipangkas adalah demokrasi yang kehilangan makna.

“Pilkada bukan sekadar memilih pemimpin; ia adalah ruang rakyat merasakan kedaulatan. Menyerahkan pemilihan kepada DPRD, betapapun alasan efisiensi digunakan, tetap merupakan langkah yang berpotensi mereduksi hak dasar warga sebagai pemilik kedaulatan. Demokrasi yang mahal dapat diperbaiki, tetapi demokrasi yang hilang sulit dikembalikan,” pungkasnya.

Sulawesi Selatan sedang berada dalam fase penting pembangunan daerah. Di tengah berbagai tantangan, ekonomi, pelayanan publik, dan stabilitas sosial justru partisipasi rakyatlah yang perlu diperkuat, bukan dikurangi.

Partai Gerindra mendukung usulan kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Sekjen DPP Partai Gerindra, Sugiono menyebut, pilkada dengan skema dupilih DPRD bisa lebih efisien dari sisi anggaran dibandingkan pilkada langsung di mana rakyat memilih langsung kepala daerahnya, mulai dari proses atau waktu penjaringan kandidat, mekanisme, anggaran dan ongkos politik hingga pemilihan terlaksana.

Gerindra menganggap pemilihan kepala daerah melalui DPRD tidak menghilangkan esensi demokrasi, karena calon dipilih oleh anggota legislatif yang merupakan pilihan rakyat dalam pemilihan umum. Bahkan, pemilihan kepala daerah oleh DPRD bisa diawasi langsung oleh masyarakat dengan lebih ketat.

Tak sampai disitu, Partai besutan Prabowo Subianto itu menilai bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga turut mengurangi potensi polarisasi yang kerap memecah belah masyarakat.

Namun kata Sugiono, mekanisme perlu dibahas dan dikaji mendalam dengan melibatkan semua unsur dan elemen dalam menentukan mekanisme terbaik. (Pram/fajar)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Sosialisasi Program dan Manfaat BPJS Ketenagakerjaan Bagi Tenaga Pendidik Himpaudi Magetan
• 12 jam lalurealita.co
thumb
Gelar Tes Urine di Rutan, KPK Pastikan 73 Tahanan Bersih dari Narkoba
• 9 jam lalusuara.com
thumb
BRI Gelar Trauma Healing untuk Anak-anak Terdampak Bencana Banjir Sumatera
• 15 jam lalukumparan.com
thumb
Foto: Suasana Duka Selimuti Persemayaman Romo FX Mudji di Kapel Kolese Kanisius
• 10 jam lalukumparan.com
thumb
MA Tangani 38.147 Perkara Sepanjang 2025
• 8 jam laluokezone.com
Berhasil disimpan.