Arah Perdagangan 2026: Ekspor RI Diuji di Tengah Tarif Trump

bisnis.com
6 jam lalu
Cover Berita

Bisnis.com, JAKARTA — Arah perdagangan Indonesia diperkirakan menghadapi ujian besar pada 2026, seiring dengan penerapan tarif resiprokal dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Kebijakan proteksionisme AS dinilai berisiko menekan kinerja ekspor, memperlambat pertumbuhan perdagangan, dan mempersempit surplus dagang Indonesia.

Sinyal perlambatan sejatinya mulai terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Meski sempat tumbuh sejak September 2025 di level US$24,67 miliar, nilai ekspor Indonesia pada Oktober 2025 tercatat sebesar US$24,23 miliar atau turun 2,31% dibandingkan Oktober 2024. Ekspor nonmigas juga melemah 0,51% menjadi US$23,34 miliar.

Secara kumulatif, ekspor Indonesia sepanjang Januari—Oktober 2025 masih tumbuh 6,96% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, dari US$218,82 miliar menjadi US$234,04 miliar.

googletag.cmd.push(function() { googletag.display("div-gpt-ad-parallax"); });

Kinerja ekspor ditopang oleh ekspor nonmigas yang naik 8,42% dari US$205,79 miliar menjadi US$223,12 miliar, sementara ekspor migas justru merosot 16,11% dari US$13,02 miliar menjadi US$10,92 miliar.

BPS mengungkapkan penurunan ekspor migas dipicu oleh anjloknya ekspor minyak mentah sebesar 30,31% menjadi US$1,26 miliar, ekspor hasil minyak turun 7,05% menjadi US$3,54 miliar, serta ekspor gas alam yang melemah 17,29% menjadi US$6,11 miliar.

Baca Juga

  • Grafik Pergerakan IHSG Hari Ini (30/12) Saat Perdagangan Terakhir 2025 di BEI
  • Deretan Perjanjian Perdagangan Internasional Indonesia dan Negara Lain Hingga 2025
  • PGJO Dirikan Dua Anak Usaha Baru di Sektor Perdagangan Energi & Logam Nikel

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai kinerja perdagangan Indonesia pada 2026 masih akan tumbuh, namun dengan laju yang lebih lambat. Menurutnya, baik impor maupun ekspor diperkirakan meningkat, meski surplus perdagangan akan lebih rendah dibandingkan 2025.

Dari sisi komoditas, motor ekspor Indonesia dinilai belum banyak berubah, yakni batubara, minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPOP), nikel, dan tembaga.

Ilustrasi aktivitas ekspor-impor

Namun, Wijayanto menekankan tantangan struktural masih menjadi penghambat utama. Menurutnya, diversifikasi produk dan daya saing ekspor Indonesia masih lemah, sehingga berbagai perjanjian dagang bebas (FTA) belum dimanfaatkan optimal.

Di sisi lain, negara tujuan utama ekspor seperti China, India, Malaysia, dan AS justru diperkirakan tumbuh landai atau melemah, yang akan menekan volume impor mereka.

Wijayanto juga memandang, tekanan juga datang dari tren harga komoditas unggulan. Dalam beberapa bulan terakhir, harga batubara, CPO, dan nikel cenderung menurun. Menurutnya, kombinasi penurunan harga dan volume ini dinilai menjadi kendala serius bagi upaya peningkatan ekspor.

Dalam hal risiko global, Wijayanto menyebut diversifikasi pasar dan produk merupakan kunci, meski implementasinya masih jauh dari ideal.

“Kita sangat lemah dalam melakukan peningkatan diversifikasi dan daya saing produk, 60%—65% ekspor kita adalah commodities atau commodities related products, di mana 4 ekspor utama, batubara, CPO, nikel, dan tembaga mewakili lebih dari 40% ekspor,” kata Wijayanto kepada Bisnis, Senin (29/12/2025).

Wijayanto menambahkan, pemerintah perlu melakukan perbaikan kepastian hukum dan penyederhanaan regulasi.

Terlebih, dia menyebut, dunia usaha bukan lagi menghadapi ketidakpastian iklim usaha, melainkan sudah masuk kategori ketakutan berusaha. Kondisi ini membuat dunia usaha hanya wait and see. “Ini buruk bagi penerimaan negara, pertumbuhan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja,” tambahnya.

Efek Ganda Tarif Trump

Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal memandang kebijakan Trump berpotensi menimbulkan dampak berlapis terhadap perdagangan Indonesia pada 2026.

“Kami melihat perdagangan di 2026 ini memang akan ada gangguan dari faktor eksternal yang epicentrum-nya tentu saja yang utama adalah dari Amerika dengan kebijakan Trump,” kata Faisal kepada Bisnis.

Faisal memperkirakan pertumbuhan ekspor akan lebih lambat dibandingkan 2025 dan tahun-tahun sebelumnya. Dia juga menilai, dampak langsung atau first round effect berasal dari kenaikan tarif resiprokal AS yang akan menghambat ekspor Indonesia ke pasar Negeri Paman Sam. Pada saat yang sama, Indonesia berpotensi diminta melonggarkan impor dari AS.

Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden AS Donald Trump

Namun, Faisal menyoroti adanya second round effect yang tak kalah signifikan, yakni potensi lonjakan impor dari negara lain, terutama China, yang kesulitan menembus pasar AS akibat kebijakan tarif. Kondisi ini, sambung dia, berisiko mendorong impor Indonesia meningkat, sementara ekspor melambat, sehingga surplus perdagangan pada 2026 diproyeksikan menyempit.

Meski demikian, Core menilai dampak kebijakan Trump mungkin tidak akan terlalu drastis karena berpotensi menghadapi hambatan internal di AS sendiri, seperti kenaikan harga dan tekanan inflasi yang bisa menekan konsumsi domestik.

Dari sisi prospek sektor, Faisal menekankan pentingnya mendorong ekspor manufaktur bernilai tambah menengah dan tinggi. Harga komoditas energi seperti batubara dan CPO cenderung melemah, sementara kebijakan hilirisasi juga menahan laju ekspor produk pertanian dan perkebunan.

“Sebagian pelambatan ekspor itu juga karena merupakan konsekuensi kebijakan hilirisasi, yang walaupun mungkin tidak akan terjadi larangan ekspor sebagaimana terjadi di nikel,” tuturnya.

Faisal menambahkan, diversifikasi pasar ke negara-negara nontradisional semakin mendesak. Meski pasar China masih menyimpan peluang seiring kebijakan mereka yang mendorong konsumsi domestik, lemahnya konsumsi di dalam negeri China tetap menjadi tantangan.

“Ini bisa jadi peluang tapi hambatannya adalah kita tahu dari konsumsi domestik China sendiri sekarang masih lemah, sehingga mereka membutuhkan juga stimulus-stimulus untuk mendorong konsumsinya,” sambungnya.

Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Koordinator Kadin Indonesia Erwin Aksa menilai perdagangan Indonesia pada 2026 masih positif, meski jauh lebih menantang.

Menurut Kadin, ekspor diproyeksikan tumbuh moderat seiring normalisasi harga komoditas global, sementara impor meningkat untuk menopang kebutuhan industri, pangan, dan energi domestik.

Pekerja mengangkut beras

Erwin memandang, pemerintah perlu menggeser fokus dari sekadar mengejar surplus menuju kualitas neraca perdagangan yang berkelanjutan. Dia memproyeksi sektor hilirisasi mineral, manufaktur berorientasi ekspor, agribisnis dan pangan olahan, serta produk berbasis ekonomi hijau akan menjadi motor utama ekspor ke depan.

Di sisi kebijakan, dunia usaha menilai kepastian regulasi, insentif ekspor bernilai tambah, penurunan biaya logistik dan energi, serta percepatan perjanjian dagang menjadi kunci menjaga daya saing.

Di samping itu, Erwin menyebut, diversifikasi pasar ke Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin juga krusial untuk meredam risiko eskalasi tarif dari AS.

“Jika terjadi eskalasi kebijakan tarif, termasuk dari AS, diversifikasi ini menjadi tameng utama agar kinerja ekspor Indonesia tetap resilien,” kata Erwin kepada Bisnis.

Dia menambahkan, kolaborasi erat antara pemerintah dan dunia usaha menjadi kunci agar perdagangan Indonesia tidak hanya tumbuh, namun juga tangguh dan inklusif.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pasca Natal, Rusia Lancarkan Serangan Udara Besar-besaran
• 13 jam laluerabaru.net
thumb
Jelang Pergantian Tahun, 1.244 Polisi Disiagakan di Makassar
• 1 jam lalufajar.co.id
thumb
Putusan Progresif MK 2025: Soal Jabatan Polisi hingga Hak Cipta Musisi
• 11 jam lalukompas.com
thumb
Nvidia Resmi Beli Saham Intel Senilai US$5 Miliar
• 17 jam laluwartaekonomi.co.id
thumb
Kapolri Pamer Tingkat Kepercayaan Publik Meningkat: Modal Penting buat Polri
• 9 jam laluidntimes.com
Berhasil disimpan.