Pemkot Tangsel Mampu Benahi Masalah Sampah, Ancaman Pidana Lingkungan Masih Prematur

jpnn.com
5 jam lalu
Cover Berita

jpnn.com, TANGERANG SELATAN - Krisis penumpukan sampah di Tangerang Selatan (Tangsel) kini memasuki babak baru yang mengarah pada potensi eskalasi hukum serius.

Meski Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang Selatan telah menggulirkan berbagai langkah mitigasi, bayang-bayang jerat pidana lingkungan hidup dinilai belum sepenuhnya sirna bagi para pengambil kebijakan.

BACA JUGA: Soal Krisis Sampah di Tangsel, Benyamin Davnie: Ini Beban Moral Bagi Saya

Menteri Lingkungan Hidup sebelumnya memberikan sinyal keras mengenai potensi hukuman penjara hingga 4 tahun bagi kepala daerah jika terbukti lalai.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Hukum Fajar Trio menilai bahwa penegakan hukum pidana dalam kasus lingkungan merupakan mekanisme yang kompleks dan memerlukan pembuktian yang sangat ketat.

BACA JUGA: 500 Ton Sampah Tangsel Dikirim ke Serang Untuk Proyek PSEL

"Penegakan pidana mensyaratkan adanya unsur kesalahan, baik berupa kesengajaan maupun kelalaian (culpa). Oleh karena itu, penilaian hukum harus melihat konteks waktu, pola kebijakan, dan sejauh mana respons pemerintah terhadap krisis tersebut.Jadi potensi terjadinya pidana masih prematur," ujar Fajar Trio dalam keterangannya, Selasa (30/12/2025).

Meski demikian, Fajar menjelaskan upaya Wali Kota Benyamin Davnie dalam melakukan langkah korektif, seperti pengalihan sampah ke luar daerah dan perbaikan infrastruktur penahan sampah secara signifikan mampu menurunkan risiko pidana, khususnya terkait Pasal 99 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

BACA JUGA: Pemkot Tangsel Pastikan Solusi Konkret terkait Penutupan TPA Cipeucang

Langkah-langkah tersebut dinilai melemahkan tuduhan kelalaian pasif atau pembiaran total.

Namun, Fajar memberikan catatan kritis bahwa tindakan yang diambil di tengah krisis tidak serta-merta menghapus rekam jejak kebijakan sebelumnya.

"Langkah korektif yang terlambat tidak selalu menghapus kelalaian yang telah terjadi sebelumnya. Jika dapat dibuktikan bahwa kondisi over capacity ini sudah diprediksi bertahun-tahun namun peringatan teknis diabaikan, maka unsur kelalaian struktural historis masih dapat diperdebatkan secara hukum," jelasnya.

Dalam diskursus hukum lingkungan, pidana diposisikan sebagai ultimum remedium atau upaya terakhir.

Fajar berpendapat jika upaya Pemkot dilakukan secara konsisten, transparan, dan terdokumentasi, maka penyelesaian melalui sanksi administratif dan koreksi kebijakan jauh lebih tepat dibandingkan langkah kriminalisasi.

Namun, dia menegaskan bahwa "pintu" pidana tidak sepenuhnya tertutup, terutama jika ditemukan bukti-bukti adanya pelanggaran integritas dalam pengelolaan TPA.

"Pidana tetap relevan apabila ditemukan manipulasi dokumen lingkungan, pembiaran yang disengaja pada periode sebelumnya, atau kegagalan serius dalam menjalankan standar minimum TPA yang mengakibatkan dampak kesehatan berat bagi warga," tutur Fajar.

Terkait potensi jerat pidana personal bagi Wali Kota Benyamin Davnie, Fajar menilai posisi kepala daerah memiliki batasan tanggung jawab yang jelas. Secara doktrinal, seorang Wali Kota tidak otomatis bertanggung jawab secara pidana atas kegagalan teknis di lapangan.

"Harus dibuktikan adanya pengetahuan langsung, kebijakan atau non-kebijakan yang keliru, serta pengabaian kewajiban hukum secara sadar. Selama kepala daerah dapat membuktikan adanya tindakan yang patut (due diligence) dan langkah perbaikan (corrective action), maka jerat pidana cenderung lemah secara hukum," katanya.

Menurutnya, risiko pidana justru lebih kuat membayangi level teknis dan operasional.

Fajar Trio menyimpulkan bahwa polemik TPA Cipeucang lebih tepat dipandang sebagai kegagalan tata kelola lingkungan sistemik yang menuntut perbaikan mendasar, bukan sekadar peristiwa kriminal tunggal.

"Posisi hukum paling kuat saat ini adalah penegakan administratif. Namun, hukum pidana akan tetap menjadi 'bayangan' yang relevan apabila proses perbaikan yang dilakukan Pemkot saat ini berhenti atau hanya bersifat simbolik di tengah kerusakan lingkungan yang terus berlanjut," katanya. (rhs/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Keji Bripda Seili Sebelum Membunuh Mahasiswi ULM


Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Menjelang Nataru, Menteri ESDM Tinjau Kesiapan Energi di Integrated Terminal Jakarta
• 9 jam lalujpnn.com
thumb
Kemenko PM Pulangkan 27 Warga Jateng-Banten Terdampak Bencana di Aceh
• 7 jam lalukompas.com
thumb
Kaleidoskop Aceh 2025: Dari Konflik Wilayah hingga Banjir Besar
• 22 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Menteri Pendidikan Siapkan 3 Skenario Kurikulum Semester Genap 2026 untuk Sumatra-Aceh
• 6 jam lalubisnis.com
thumb
KP2MI dan Pemkab Deli Serdang Teken MoU Pekerja Migran
• 18 jam lalubisnis.com
Berhasil disimpan.